Opini

Muhammadiyah Krisis Ustadz dan Kiai (?)

Muhammadiyah Krisis Ustadz dan Kiai (?)

Oleh : Afan Fuadi

Sibuk bertanya mana ustadz dan Kiai Muhammadiyah di kampung-kampung, tapi lupa memikirkan bagaimana nasib hidupnya.

Krisis ustadz dan kiai Muhammadiyah selalu menjadi perbincangan yang cukup menyita perhatian. Tidak sedikit, pegiat struktural muhammadiyah telah sadar dan mengeluhkan masalah ini. Lebih-lebih di kawasan perkampungan dan akar rumput. Banyak masjid muhammadiyah yang terlanjur di isi oleh “orang lain”, dengan alasan tidak ada kader. Sedangkan, pondok pesantren, universitas dan muhammadiyah boarding school, sudah banyak tersebar dan menjamur sekian tahun lalu. Seharusnya, kebutuhan jumlah SDM tidak menjadi problem, mengingat jamaah Muhammadiyah yang belum sebanyak NU. Lalu, apa solusinya? Secuil pengalamanku di salah satu kampung, mungkin bisa menjadi refleksi. Sebagai disclaimer, kampung ini merupakan “lahan kering”, tidak ada salam tempel bagi ustadz dan kiai lokal. Jangankan salam tempel tiap selesai kajian, THR satu kali dalam setahun saja, tidak ada.

Menjadi ustadz dan kiai di kampung, jelas bukan perkara gampang. Setidaknya ada dua hal yang dipikirkan. Pertama, kebutuhan sehari-hari tercukupi. Kedua, menunaikan tugas mulia, berdakwah dan momong jama’ah. Jika kebutuhan sehari-hari sudah ditopang oleh pekerjaan dan gaji yang mapan. Saya kira, momong jama’ah tidak lagi menjadi problem. Namun, jika kebutuhan sehari-hari masih susah payah tercukupi dan upah gaji masih jauh di bawah umr, “ngerumat” jama’ah justru menjadi momok yang teramat menakutkan.

Struktural Muhammadiyah setempat, biasa memberi amanah sebanyak tiga hingga empat kali mengisi kajian tiap minggu. Adakalanya kajian Nasyiatul Aisyiyah, Aisyiyah, Pemuda, Pengajian Jama’ah dan Kajian Rutin Pekanan di Masjid. Bahkan tidak jarang, menjadi badal ketika mubalig lain berhalangan. Aktivitas dakwah yang demikian padat, jelas menyita banyak waktu, tenaga dan pikiran. Dan ingat, tidak ada salam tempel. Sedangkan gaji pekerjaan, jauh di bawah UMR. Ini baru memikirkan kebutuhan mandiri, belum lagi jika sudah berkeluarga.

Baca juga :  Merenungkan 5 Pertanyaan Kritis Buya Ahmad Syafi’I Ma’arif pada Muktamar ke-48

Kendala dalam berdakwah jelas sangat beragam. Pernah kesulitan transportasi karena tidak ada uang untuk sekedar beli bensin. Pernah ganti sparepart dan menghabiskan sekian ratus ribu. Pernah juga kesulitan bayar biaya berobat di Dokter Spesialis. Dan lain-lain. Hingga pernah berfikir, “menjadi kuli bangunan, jelas lebih profitable daripada jadi ustadz atau kiai”.

Disitulah saya mulai berpikir, bahwa nasib seorang ustadz dan kiai kampung memang tidak begitu dipikirkan. Baik oleh jamaah, maupun struktural Muhammadiyah itu sendiri. Bahkan ada satu kejadian yang sangat menyayat hati, ketika melihat seorang kiai, pimpinan pesantren, pendidik lokal di kampung itu, justru ikut mengantri beras miskin bersama warga. Apa memang ini nasib bagi ustadz dan kiai?

Di satu kesempatan yang lain, ketika struktural Muhammadiyah mengadakan giat tablig akbar dan mendatangkan mubalig dari luar. Mereka justru tak segan, mengeluarkan jutaan rupiah, untuk bisyaroh mubalig itu. Mereka sambut dengan seremonial yang istimewa. Mereka rela nyah-nyoh dengan mubalig luar kota itu. Namun sekali lagi, mereka lupa dengan nasib mubalig lokalnya.

Saya kira, kita terlalu munafik jika berharap ada kiai yg mau ngopeni terhadap akar rumput. Sedangkan mereka belum mapan dan tidak dimapankan ketika di kampung. Apalagi jika masih muda, yg orientasinya lebih banyak untuk mencukupi dunianya terlebih dahulu. Meskipun ada satu, dua kiai yang mau ngopeni akar rumput dengan telaten meski lahan kering. Tapi itu bukanlah tradisi yg semestinya dibudayakan dan dijadikan pembenaran. Yang demikian, jelas harus dievaluasi.

Dahulu, di kampung saya juga ada seorang kiai. Ahli baca kitab kuning, hafal alfiyah di luar kepala. Pengayom jamaah selama sekian tahun. Tapi, untuk memenuhi kebutuhan beliau, justru jadi tukang jaga pabrik. Kehidupannya serba terbatas. Singkat cerita tidak ada satupun anaknya yang jadi kiai.

Baca juga :  Dari Sayur Pare hingga Yaumil Hisab

Ada juga seorang kiai, selain menjadi pengajar di madrasah, beliau mempuyai usaha warung makan. Beliau luangkan waktu untuk mencari kayu bakar. Singkat cerita, tidak ada dari anaknya yg jadi kiai.

Ada juga kiai kampung, tercukupi oleh bisnis yg ditekuninya, menjadi bos, juragan tanah dan sawah. Akan tetapi, lagi-lagi tidak ada satupun anaknya yang berminat menjadi kiai. Bisa jadi karena anaknya yang tidak minat, bisa jadi juga karena kiainya yang justru tidak merekomendasikan untuk jadi kiai. Karena tahu, “sisi gelap” di balik kiai kampung.

Ada juga suatu kampung, sangat kekurangan sosok kiai dan ustadz. Namun setelah memiliki kader potensial, nyatanya kader-kader itu tidak mau kembali ke kampungnya. Dan lebih memilih berkiprah di luar. Kenapa? Karena tahu, kuli bagunan lebih profitable daripada jadi kiai yang belum memiliki pekerjaan mapan.

Terkadang, masih ada PRM dan PCM yang mengeksploitasi kiai kampung dg dalih “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Sedangkan mereka lupa, kalau KH. Ahmad Dahlan pernah melelang hartanya utk kesejahteraan pendidik.

Jika ada yang menuduh, bahwa yang demikian adalah ustadz dan kiai amplop. Maka sebaiknya tanyakan pada diri sendiri. Kenapa tidak anda saja yang jadi ustadz dan kiai di kampung? Kenapa tidak anak-anak anda saja yang jadi ustadz dan kiai di kampung? Kenapa tidak para dosen dan profesor itu saja yang jadi kiai di kampung? Yuk. Sejahterakan kiai. PRM dan PCM tak perlu sibuk mencari kiai. Sibukkan saja, bagaimana kita memuliakan kiai. Bukankah, Q.S al-Mujadilah ayat 12 memerintahkan untuk itu?

Related posts
Opini

Bermanfaat dan Bahagia itu Menarik Rezeki

Oleh : Heri Iskandar Suatu hari saya singgah di Masjid keluarga yang dibuat oleh Simbah untuk…
Read more
Opini

Dua Macam Pengajian di Muhammadiyah

Oleh: H. Nunu Anugrah Perdana, S.Pd., S.T.,M.Pd.I. Sekretaris PDM Kab. Cirebon Pengajian selain…
Read more
Opini

Belajar dari Bola : Kader Naturalisasi Kenapa Tidak?

Oleh : Nurbani Yusuf Bukankah Prof Din berasal dari IPNU dan besar di Gontor sebelum kemudian…
Read more
Newsletter
Become a Trendsetter
Sign up for Davenport’s Daily Digest and get the best of Davenport, tailored for you.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *