Oleh : Afan Fuadi
Sekali lagi, menjadi ustadz dan kiai di kampung, tidak gampang. Gaji di bawah UMR, disambi aktivitas dagang harian untuk nambah pendapatan, belum lagi momong jama’ah. Suatu ketika, saya pernah, mendapat amanah jadi khatib idul adha. Struktural Pimpinan Muhammadiyah setempat menghubungi, “mas, idul adha besok, sampean yang mengisi ya. Imam sekaligus khatib”. Saya sengaja meliburkan diri selama tiga hari dari aktivitas jual beli yang saya tekuni untuk persiapan perform amanah itu dengan sebaik-baiknya.
Pukul 6 pagi, tanggal 10 Dzulhijah, shalat id akan dilaksanakan. Jama’ah mulai berdatangan. Satu persatu mulai mengisi dan merapikan shafnya. Jika dihitung, perkiraan jamaah yang hadir mungkin sekitar 500 hingga 700 orang bahkan lebih. Infak yang terkumpul saat itu, sebanyak sekian juta. Setelah amanah itu kutunaikan, tepat setelah aku turun dari mimbar, aku disambut dengan salaman hangat dari para tokoh Muhammadiyah setempat. “Selamat ya, masyaallah luar biasa, barakallu fiikum” dengan senyum manis, ramah dan grapyak, menunjukkan unggah-ungguh layaknya orang-orang kampung pada umumnya. Namun sekali lagi, tidak ada salam tempel. Tidak amplop. Tidak ada apresiasi sama sekali. Bahkan dipersilahkan untuk mampir menyantap hidangan opor, tidak ada. Alasannya sederhana, karena saya dianggap sebagai orang lokal, bukan ustadz dan kiai dari luar. Sekalipun aslinya saya juga pendatang.
Setelah beberapa hari, aku memberanikan diri, menghubungi struktural Muhammadiyah setempat. “pak, lain kali. Siapapun yang menjadi imam dan khatib shalat id. Baiknya dikasih bisyaroh meskipun tidak banyak.”. ia pun menjawab, “iya mas, seharusnya memang begitu kali ya? Soalnya di sini adatnya ya gitu. Kalau orang lokal yang mengisi, tidak ada anggaran bisyarohnya. Tapi kalau ambil dari luar, ada. Saya pun dulu ketika jadi khatib disini, tidak mendapat bisyaroh. Karena saya orang lokal”. Saya hanya terdiam, heran, tidak habis pikir. Apa memang begini, nasib ustadz dan kiai di kampung?
Struktural Muhammadiyah di kampung memang sering mengeluh kekurangan ustadz dan kiai. Termasuk kampung yang dahulu pernah saya singgahi. Jika melihat dan membaca kader-kader dari kampung itu, sebenarnya juga tidak kalah hebat dengan yang lain. Ada alumni LIPIA, yang justru memilih berkarir di luar daerahnya. Ada juga hafiz al-Qur’an, yang mendirikan pondok di daerah perkotaannya. Bahkan ada juga, seorang hafiz al-Qur’an, yang menjadi mudir di salah satu Pondok Tahfiz Karanganyar. Beliau justru lebih dikenal, daripada kampung tempat lahirnya itu.
Saya yakin, banyak orang-orang hebat, ustadz-ustadz hebat, dan kiai-kiai hebat Muhammadiyah, yang lahir dari kampung-kampung akar rumput semacam ini. Para tokoh dan struktural PP Muhammadiyah pun, banyak yang berasal dari akar rumput. Banyak pendiri pesantren-pesantren hebat di perkotaan, justru berasal dari ustadz dan kiai akar rumput. Bahkan banyak, dosen, rektor dan profesor yang juga lahir dari akar rumput. Jangan-jangan, kita bukan kekurangan ustadz dan kiai kampung. Tapi, justru kita sendiri, yang mengusir mereka dengan cara-cara kejam semacam itu.
“jadi Ulama itu seperti ustadz dan Kiai Fulan, mereka tidak mengharap amplop. Buktinya, mereka masih telaten momong jamaah meski sudah berpuluh-puluh tahun. Dan itu tanpa amplop!.” Bapak ibu yang saya hormati, itu bukan kebanggaan! Itu penghinaan! Itu kezaliman! Bagaimana mungkin, kita rela memberi uang pada manusia silver di perempatan jalan. Sedangkan, kita enggan memikirkan nasib ustadz dan kiai di kampungnya. Jangan-jangan kita ini munafik. Banyak menuntut waktu ustadznya, banyak menuntut tenaga dan pikiran ustadznya, namun menolak untuk mensejahterakan ustadz dan kiainya.
Dengan entengnya, bersembunyi dibalik slogan “hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah”. Dengan mudahnya berkata, “wong saya juga begitu” tapi lupa kalau nasib ustadz dan kiainya tidak seberuntung kamu. Dengan ringan, berkata “saya juga hidup pas-pasan. Gaji di bawah UMR, tapi saya tetap momong jamaah”, sedangkan dia lupa, jika anaknya dipersiapkan untuk jadi Pegawai, Dokter, ASN. Dia lupa, kalau tidak ada satupun anaknya yang ingin mengikuti jejak keulamaan di kampungnya.
Menguji keikhlasan ustadz dan kiai bukan lagi diukur dengan ada tidaknya amplop. Adanya amplop tidak berarti ustadz itu berdakwah dengan pamrih. Tidak ada amplop juga bukan berarti ustadz itu ikhlas. Keikhlasan adalah perihal hati, antara dia dengan Allah. Bahkan dalam satu kondisi, dengan adanya amplop, justru dapat menjaga keikhlasan ustadz dan kiai dalam berdakwah. Ini bukan tentang jual-beli agama, ini juga bukan tentang bisnisnya para ustadz dan kiai agar laris. Ustadz dan kiai yang benar-benar ulama, tidak akan pernah berfikir untuk menimbun kekayaan hingga setara Rafi Ahmad. Namun Ustadz dan kiai yang benar-benar ulama, tetaplah manusia, yang butuh makan, sandang, papan. Butuh nafkah untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan membeli popok untuk anak-anaknya. Butuh waktu, tenaga dan pikiran untuk momong jamaahnya. Yuk sejahterakan ustadz dan kiai di kampung. Jangan merasa kekurangan ustadz dan kiai. Jangan-jangan, kita sendiri yang sengaja menciptakan situasi itu. Yang bener aja? Rugi dong.