Opini

Dari Sayur Pare hingga Yaumil Hisab

Heri Iskandar*

Gara-gara salah nyemplungin racikan waktu bantu istri lagi masak, saya kena marah sama istri. Sambil goreng pare yang di potong tipis setengah lingkaran, dengan dibalur tepung krispi, saya diminta masukin potongan sayur labu dan beberapa racikan untuk sayur asem yang sudah mendidih di atas rebusan di panci.

Sambil melamun semua potongan racikan yang berada di atas talenan saya masukan, termasuk potongan pare yang mau buat tumis itu.

Seketika saya disemprot sama istri, itu pare kenapa ikut dimasukin kedalam panci? Dan akhirnya kompor dimatikan dan diambil semua yang ada di panci untuk di racik lagi. Emang ada sayur pare?

Betul ya, tadi bantu masaknya sambil ngelamun, pare kan di tumis atau di krispi, kalau di sayur mau jadi apa rasanya? Puahitt.

Untung ada pengajian ahad pagi, selamatlah nasib saya sepanjang hari itu.

Sesampai di aula, pengajian baru dimulai, untunglah saya tidak telat datangnya. Cari kursi lalu niat dalam hati cari ilmu mendengarkan kajian, Alhamdulillah pagi ahad pon itu adalah pengajian tabligh yang biasa menghadirkan mubaligh dari luar kota atau dari PWM atau PP Muhammadiyah.

Pagi itu sungguh luar biasa tema dan isi yang disampaikan, oleh beliau Bpk Fathurrahman Lc, M.Si, Ketua Majlis Tabligh PP Muhammadiyah.

Baca juga :  Apa perbedaan Tanwir dan Muktamar ?

Membahas tentang pendidikan keluarga dan pendidikan masyarakat serta hukum negara yang sekarang dapat diputar balikan, dimana yang benar dapat menjadi salah dan sebaliknya yang salah dapat dibenarkan.

Diantaranya adalah mengulas fenomena terkini tentang fashion week yang digandrungi para kaum milenial yang sekarang banyak diadopsi dikota-kota lain di Indonesia, berawal dari seputar SCBD (Sudirman Central Bussiness District) di daerah Jakarta Selatan.

Semula adalah ajang pamer fashion di tengah jalan raya di jalur penyeberangan, karena banyaknya antusias dan animo masyarakat yang datang dan menyaksikan kemudian ramailah kawasan ini. Cekrek foto, shoot kemudian action, simpan setelah itu dijadikan status, atau apalah yang penting diupload di media sosialnya.

Trending bagus dan viral kemudian mendunia. Instan dan terkenal.

Ternyata fenomena ini pula dimanfaatkan kaum tulang lunak alias elgebete, atau kaum laknat penyuka sesama jenis, ikut show jepret, di shoot dan viral. Instan bukan?

Kalau ditanya cirinya apa? Lihat gaya fashionnya, dan bendera yang sering dibawanya yang menjadi simbol mereka “pelangi.”

Padahal pelangi itu adalah lagu indah ketika melihat beberapa warna yang berpendar di langit setelah hujan reda, dan Imajinasi kita waktu kecil dengan nyanyian indah, sekarang malah dijadikan simbol mereka.

Baca juga :  Sebuah Otokritik bagi Persyarikatan

Bahasan lainnya adalah soal dunia pendidikan, yang sekarang lebih mementingkan isi dari pada nilai hakiki manusia yaitu soal keimanan dan ketaqwaan. Dengan konsep pendidikan yang ada sekarang nilai-nilai ruhiyah itu luntur, dan anak sulit memahami nilai agama apabila kita tidak mengajarkan tambahan ilmu agama. Kebanyakan sekolah orientasinya adalah menjadi anak berprestasi, bagaimana nasib masa depannya?

Sebelum kita disidang di Yaumil Hisab karena diminta pertanggungjawaban untuk anak kita, maka anak kita nanti akan bercerita terlebih dahulu bagaimana orang tuanya mendidiknya, andaikan anak itu menjawab saya sudah dididik dengan baik oleh orang tua maka selamatlah kita, namun apabila anak itu mengatakan saya tidak pernah diberikan pendidikan agama oleh orang tua saya, maka pernyataan anak itu sudah menjadi bukti untuk hisab kita, sungguh semua mahluk akan diminta pertanggungjawabannya.

Sama halnya sekarang kita yang diamanahi sebagai pimpinan, tokoh, ataupun teladan di masyarakat, ataupun menjadi pimpinan keluarga, ketika dihadapkan di depan meja hisab kelak sebagai pertaruhan amal. Sudahkah kita memberikan dan mengajak kepada kebaikan, ataukah kita hanya membisu melihat kemunkaran?

Baca juga :  Dilema Musisi Muda

Kelak nanti semua dihitung, dan rahmat Allah sangat luas, maka carilah rahmat-Nya di manapun dan kapanpun berada.

Hanya dua benteng sekarang ini yang dapat menjadi sandaran terakhir bagi kita dan anak kita, yaitu ruang pendidikan dalam rumah tangga kita dan Masjid sebagai pusat sentral pendidikan masyarakat.

Apabila anak dan generasi di dalam rumah dididik uswah hasanah dengan mengendepankan nilai ruhiyah untuk meningkatkan keimanan dan ketaqwaanya dan Masjid sebagai pusat syiar dan dakwah dalam mendidik masyarakat untuk selalu melakukan kebaikan dan mengajarkan nilai-nilai agama maka dua benteng ini yang akan menyelamatkan kita untuk saat ini dan masa depan generasi anak-anak kita nanti.

Seperti halnya pare tadi, pahit rasanya kalau kita makan namun bermacam-macam manfaat yang akan kita dapat, kebiasan baik yang belum kita lakukan mulailah sdikit demi sedikit, ya tadi kaya makan pare pahit, tapi kalau kebiasan baik sudah terbiasa lambat laun kemanfaatan itu kembali kepada kita.

Sesekali makan pare, namun jangan berlebihan juga, pahitnya itu sehat dan bermanfaat untuk tubuh kita.

*Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Bae

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *