Opini

Wasit

oleh : Wildan Sule Man*

Apa jadinya jika suatu pertandingan tidak ada seorang wasit yang memimpin? Ada kemungkinan pertandingan berlangsung tak tertib, mungkin pula para pemain semaunya sendiri dalam bertanding, dan bahkan mungkin pula bisa muncul resiko terbesar yaitu “chaos”.

Kita mengerti supaya hukum atau aturan main berjalan efektif maka dalam setiap pertandingan diperlukan “instrumen personal” yang bernama wasit. Wasit yang tegas, adil sekaligus bijaksana adalah harapan setiap pemain dan penonton serta berbagai pihak.

Begitu pula hakim disuatu masyarakat, bila ia mampu menunjukkan performa kewibawaan hukum, ia akan menjadi hakim kebanggaan warganya, seperti yang pernah saya saksikan pada serial televisi yang berjudul “Judge Bao”, serial yang mengkisahkan seorang hakim yang adil dan bijaksana di jaman China kuno. Keberadaan hakim Bao mampu mewujudkan wibawa hukum dimata warganya, siapapun yang salah dan dari kalangan apapun serta dari status apapun akan dia tindak tanpa pandang bulu. Semua merasa diayomi oleh sang hakim itu.

Kata wasit yang saya mengerti berasal dari bahasa arab “wasata” yang kurang lebih artinya berada di tengah-tengah. Dan kebetulan pagi hingga siang tadi saya punya pengalaman tentang wasit. mari kita simak ulasannya.

Berperan menjadi wasit dalam sebuah pertandingan di arena olah raga, sama seperti hakim yang sedang memimpin jalannya persidangan di pengadilan, ia harus memiliki kecakapan dalam memerankan tugasnya, seperti adil, arif, bijaksana dan berposisi di tengah dan tak berat sebelah, sebab jika keputusannya berat sebelah tentu saja sang wasit telah menciderai nilai nilai keadilan.

Pagi itu anak anak kelas enam yang bertugas sebagai panitia lomba agustusan di Madrasah, meminta kepada saya berkenan untuk menjadi wasit pertandingan sepak bola, turnamen sederhana yang diikuti oleh lima kelas besar yakni kelas 5a, 5b, 6a, 6b dan 6c. Tanpa berfikir panjang sayapun bersedia mengemban amanah dari murid murid saya itu. Tugas saya tidak sukar tapi memerlukan komitmen tinggi, saya hanya membawa peluit, kartu kuning plus kartu merah yang terbuat dari kertas bufallo, berupaya memimpin secara sportif, bahkan wajah ini saya wibawa wibawakan, supaya para pemain bisa ikut tenggelam dalam suasana permainan yang “sakral”, walau sebenarnya ke-amatir-an pertandingan masih terlihat disana sini, seperti menggunakan bola plastik, tidak semua pemain memakai sepatu, satu tim hanya tujuh orang, bermain di “arena” halaman madrasah yang tidak luas, gawang menggunakan dua tong sampah.

Tapi saya sebagai guru mereka, tetap memberikan apresiasi besar atas kerja kerja kelompok yang mereka perjuangkan. Yang terpenting mereka tetap gembira dan tetap sportif dalam mengisi HUT kemerdekaan RI walau dalam suasana sederhana.

Pertandingan pertama segera dimulai, saya berdiri di tengah lapangan memastikan kesiapan dua tim yang akan bertanding, wejangan untuk berhati hati serta sportif dalam bermain juga telah saya sampaikan, bersalam salaman pun tak lupa dilakukan.

Peluit panjang berbunyi, bola mulai dimainkan, kaki kaki mungil mulai beraksi mengolah bola, ada yang tampak terampil ada pula yang asal tendang, yang terpenting hari itu semua bergembira. Pertandingan berjalan dalam ritme taat peraturan dan tertib hukum, bila peluit berbunyi sebab terjadi pelanggaran, spontan mereka menghentikan pertandingan sesaat dan si pelanggar siap menerima konsekwensinya.

Saya bersyukur “supremasi hukum” di arena sepak bola anak madrasah ibtidaiyah itu berjalan cukup “ideal”, semoga energi positif ini menular dalam hidup bernegara yakni tegaknya supremasi hukum. Yang salah ditindak tegas, yang benar dimenangkan, menghidup hidupkan kebenaran, menegak negakkan kewibawaan.

Wal Akhiran, semoga tugas saya sebagai wasit pagi hingga siang tadi, walau sekedar “amatiran”, setidaknya hal itu sebagai media belajar bersama siswa dalam berlaku adil dan bijaksana, demi generasi masa depan, yang harapannya kelak mereka menjadi insan yang sadar sekaligus taat pada hukum, Wallahu A’lam bishowab.

*Penulis Amatir.

Baca juga :  Sebuah Otokritik bagi Persyarikatan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *