Oleh: Riza A. Novanto, M.Pd – Pemerhati Pendidikan, Dosen STIKes Muhammadiyah Tegal
Beberapa pekan terakhir, kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Indonesia telah menjadi topik hangat. Kenaikan biaya ini memunculkan pertanyaan penting: siapa sebenarnya yang berhak atas pendidikan tinggi? Dengan biaya kuliah yang terus meningkat, banyak keluarga merasakan tekanan finansial yang besar, sementara pemerintah dan institusi pendidikan tampaknya tidak mempertimbangkan dampak kebijakan ini terhadap akses pendidikan tinggi. UKT awalnya dimaksudkan untuk menyederhanakan pembayaran biaya kuliah, sehingga mahasiswa hanya perlu membayar satu jumlah tetap setiap semester. Namun, dalam praktiknya, UKT mengalami kenaikan yang signifikan. Data dari berbagai universitas ternama di Indonesia menunjukkan bahwa kenaikan UKT bisa mencapai lebih dari 50% dalam beberapa tahun terakhir. Hal ini tentu menambah beban bagi keluarga yang sudah menghadapi berbagai kebutuhan hidup.
Pernyataan dari Kemendikbudristek bahwa kuliah adalah kebutuhan tersier seolah menempatkan pendidikan tinggi di luar kebutuhan pokok seperti pangan, papan, dan sandang. Pernyataan ini mengabaikan fakta bahwa pendidikan tinggi adalah investasi penting untuk masa depan generasi muda dan kemajuan bangsa secara keseluruhan. Menganggap pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier berarti mengabaikan pentingnya sumber daya manusia yang berkualitas dalam memajukan Indonesia.
Dampak UKT Mahal
Dampak ekonomi dari kenaikan UKT sangat signifikan. Banyak keluarga harus mengurangi pengeluaran lain untuk membiayai kuliah anak-anak mereka. Tak jarang, mahasiswa harus bekerja paruh waktu untuk menutupi biaya kuliah yang tinggi, yang dapat menguras energi dan mengganggu fokus serta prestasi akademis mereka. Beberapa mahasiswa bahkan harus berhenti kuliah karena tidak mampu membayar UKT, yang berarti kehilangan kesempatan untuk masa depan yang lebih baik. Selain dampak ekonomi, kenaikan UKT juga mempersempit akses pendidikan tinggi. Mahasiswa dari keluarga berpenghasilan rendah semakin sulit melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, menciptakan kesenjangan sosial yang semakin lebar. Hanya mereka yang berasal dari keluarga mampu yang dapat menikmati pendidikan tinggi, padahal pendidikan seharusnya menjadi hak setiap warga negara tanpa memandang latar belakang ekonomi.
Pertanyaannya, apakah kenaikan UKT sebanding dengan peningkatan kualitas pendidikan? Banyak mahasiswa mengeluh bahwa meskipun UKT naik, fasilitas kampus dan kualitas pengajaran tidak meningkat secara signifikan. Ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi dan penggunaan dana UKT. Apakah dana tersebut benar-benar digunakan untuk meningkatkan kualitas pendidikan, ataukah ada penyalahgunaan dalam pengelolaannya?
Jika melihat kebijakan pendidikan di negara-negara maju, banyak dari mereka menyediakan pendidikan tinggi gratis atau dengan biaya sangat terjangkau. Mereka memahami bahwa investasi dalam pendidikan adalah kunci masa depan yang lebih baik. Pemerintah harus memberikan subsidi yang cukup agar pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat. Selain itu, diperlukan skema pembayaran fleksibel, seperti cicilan atau beasiswa, untuk meringankan beban mahasiswa dan keluarganya.
Muhammadiyah Mencerahkan
Kebijakan tersebut jelas berbeda dengan yang diterapkan oleh perguruan tinggi Muhammadiyah, yang berfokus pada menyediakan akses pendidikan tinggi yang lebih terjangkau dan inklusif bagi semua lapisan masyarakat. Perguruan tinggi Muhammadiyah dikenal dengan biaya pendidikan yang lebih rendah serta berbagai program beasiswa yang ditawarkan kepada mahasiswa berprestasi dan kurang mampu. Mereka berupaya agar pendidikan tinggi dapat diakses oleh seluruh masyarakat, termasuk mereka yang memiliki latar belakang ekonomi yang kurang beruntung. Dengan demikian, perguruan tinggi Muhammadiyah berperan penting dalam mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan setara.
Sebagai solusi, pemerintah perlu meninjau kembali kebijakan UKT dan mengendalikan kenaikannya. Transparansi dalam penggunaan dana UKT harus ditingkatkan, sehingga mahasiswa dan masyarakat dapat melihat dengan jelas bagaimana uang mereka digunakan. Universitas juga harus lebih aktif mencari sumber pendanaan alternatif, seperti kerja sama dengan sektor swasta dan lembaga nirlaba, untuk mengurangi ketergantungan pada UKT. Masyarakat memiliki peran penting dalam mengadvokasi perubahan. Kampanye kesadaran mengenai pentingnya akses pendidikan tinggi yang terjangkau harus digalakkan. Partisipasi dalam diskusi kebijakan dan penekanan pada pentingnya transparansi dan akuntabilitas dapat membantu menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil.
Pendidikan adalah hak, bukan privilese. Kenaikan UKT yang ugal-ugalan hanya akan memperlebar kesenjangan sosial dan menghambat kemajuan bangsa. Diperlukan tindakan nyata dari pemerintah, universitas, dan masyarakat untuk memastikan bahwa pendidikan tinggi dapat diakses oleh semua, bukan hanya oleh mereka yang mampu membayar mahal. Masa depan Indonesia tergantung pada kualitas pendidikan yang kita berikan kepada generasi mudanya. Jadi, pendidikan milik siapa? Seharusnya, pendidikan milik semua.