Opini

Tulup dan Dandangan

Oleh: A. Hilal Madjdi

Tulup sebenarnya alat berburu yang cukup diandalkan oleh masyarakat primitive yang hidup dihutan. Senjata laras panjang terbuat dari bambu kecil ini oleh masyarakat pedalaman Kalimantan disebut sumpit. Kekuatan sumpit terletak pada daya dorong yang ditiupkan melalui salah satu ujung sumpit yang di dalamnya sudah diberi semacam anak panah kecil yang diolesi racun. Daya tiup yang kuat menjadikan anak panah itu bagai dilepaskan dari busur, menyasar dengan kencang pada buruan yang dibidik.

Teknik yang dipakai untuk menyumpit sama dengan yang dipakai untuk menulup. Bedanya, ketika kita menulup, yang kita masukkan ke dalam tulup adalah butir kacang hijau atau kedelai. Sasaran bidiknya adalah teman bermain tulup- tulupan. Sepintas, permainan ini seperti bermain perang- perangan dengan bersenjatakan tulup. Yang kena bidikan tentu tidak merasa sakit, tapi merasa malu dan pasti akan berusaha keras membalas, menebus rasa malu.

Fenomena semacam itu hanya bisa didapatkan pada saat ada perayaan “Dandangan” di Kudus. Perayaan ini digelar untuk menyambut datangnya bulan Ramadlan. Konon, setiap kali menjelang bulan Ramadlan, masyarakat muslim Kudus berkumpul di kawasan Menara Kudus untuk menunggu keputusan tentang awal bulan Ramadlan yang diumumkan Kang Jeng Sunan Kudus. Pengumuman dimulainya puasa ditandai dengan ditabuhnya kentong dan drumb besar (jidur). Prosesi menabuh kentong dan drumb besar itu dikenal dengan nama “dandangan”.    

Baca juga :  Wasit

Maka berkumpulnya massa dalam jumlah besar menyambut bunyi kentong dan jidur, lama- kelamaan ditangkap warga Kudus kulon yang memang berjiwa wira usaha untuk “mremo” (memanfaatkan kerumunan massa sebagai pasar). Sejak saat itu, kerumunan massa tidak sekedar menunggu pengumuman awal bulan Ramadlan sambil duduk- duduk dan berbincang. Kerumunan massa itu kemudian diwarnai dengan transaksi- transaksi bisnis, baik makanan maupun keperluan- keperluan kerumahtanggaan lainnya, termasuk mainan anak- anak.

Dalam beberapa catatan dan cerita para tetua kampung, dandangan kemudian dimanfaatkan masyarakat untuk keperluan yang multidiomensional. Perayaan menyongsong bulan Ramadlan ini lalu menjadi ajang silaturahmi, baik secara alamiah maupun “by design”.

Saya menggunakan istilah silaturahmi alamiah tidak dengan tujuan untuk membuat terminologi baru dengan tafsir baru pula. Istilah ini saya pergunakan semata- mata untuk memudahkan apa yang akan saya tuturkan, yaitu silaturahmi antar sesama tanpa tujuan khusus selain menyambung tali silaturahmi. Misal, Ketika ada saudara atau teman yang lama tak berjumpa, perayaan dandangan adalah waktu yang tepat untuk saling berkunjung sambil jalan-jalan atau berbelanja di kawasan menara.

Baca juga :  Sejarah dan Genre Sastra Muhammadiyah

Sementara silaturahmi “by design” adalah silaturahmi yang dirancang oleh pihak ke tiga (biasanya orang tua atau sanak keluarga), untuk memberi kesempatan kepada seorang perjaka dan gadis untuk melihat calon pasangan hidupnya. Dalam tradisi Kudus, silaturahmi ini disebut sebagai “nontoni” atau melihat dari jauh, karena memang pada momen itu keduanya tidak akan mendekat atau belum boleh mendekat.

Dulu (sampai sekarang juga masih berlangsung) dalam tradisi masyarakat Kudus kulon perihal perjodohan, suatu pernikahan diawali dengan beberapa tahapan. Pertama adalah “ndodog lawang” (ketuk pintu), ditandai dengan kedatangan kedua orang tua pihak laki-laki ke rumah keluarga pihak perempuan setelah sebelumnya memberitahu tujuan kedatangannya. Biasanya perempuan yang akan dipinang diminta orang tuanya untuk menghaturkan suguhan (minuman dan makanan), agar bisa dilihat lebih dekat oleh keluarga pihak laki-laki.

Jika laki- laki yang akan meminang belum ikut serta kedua orang tuanya dalam prosesi “ndodog lawang”, ia diberi kesempatan untuk “nontoni” gadis yang akan dipinangnya. Peristiwa “nontoni” ini biasanya dilaksanakan pada prosesi dandangan. Berbekal informasi tentang warna dan corak pakaian, tatanan rambut dan pendamping sang gadis, sang calon suami ini mencoba mencari dan kemudian mengamati calon istrinya dari kejauhan. Apabila calon suami ini merasa cocok dengan calon istrinya yang diamati dari jarak jauh itu, maka tahapan selanjutnya akan diproses sampai tahap pernikahan.

Baca juga :  BPIP Harus Dibubarkan

Mengapa prosesi itu terjadi ? Sebab pada masa itu remaja laki- laki banyak menghabiskan waktunya di pesantren- pesantren sehingga tidak kenal baik dengan gadis- gadis meskipun tetangganya sendiri, sehingga perlu diperkenalkan. Namun karena batasan – batasan syara’ yang begitu ketat dijaga masyarakat Kudus kulon, dandangan lantas menjadi media yang relatif baik untuk ta’aruf atau dita’arufkan.

Tapi pada masa kecil saya tidak pernah melihat prosesi yang cukup unik itu. Polah tingkah masa kecil saya pada waktu dandangan adalah jalan- jalan melihat bazar yang ramai atau bermain bersama teman- teman, naik bangunan Menara bagian pertama. Tangan kanan memegang senjata laras panjang “tulup”, sementara kantong celana penuh dengan kacang hijau. Lalu mengendap memburu lawan untuk ditulup.

Dulu, dandangan dan tulup adalah satu kesatuan peristiwa yang manis untuk dikenang. Entah sekarang………?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *