Oleh M. Khusnul Khuluq
Hidup harus punya pegangan. Itulah prinsip hidup. Prinsip hidup ini bisa bermacam-macam asalnya. Bagi seorang yang religius, mungkin nilai-nilai agama dapat menjadi falsafah, meski rumusannya dibuat sendiri. Bagi seorang sekuler, logika-logika yang masuk akan juga dapat menjadi falsafah hidup.
Sebagai pendiri gerakan yang sangat dinamis, K.H. Ahmad Dahlan juga punya falsafah hidup. Falsafah ini oleh orang-orang Muhammadiyah dikenal sebagai Falsafah Hidup K.H. Ahmad Dahlan. Isinya tentu poin-poin penting yang dapat menjadi pedoman kita dalam kehidupan ini.
Sebagai sebuah ajaran yang baik, Falsafah Hidup K.H. Ahmad Dahlan dapat mejadi pedoman bukan hanya bagi orang-orang Muhammadiyah. Tapi bagi siapa saja yang ingin menjalani hidup dengan baik. Artikel ini hendak sedikit menguraikan falsafah hidup K.H. Ahmad Dahlan.
Ada beberapa hal yang bisa disarikan dari falsafah hidup Ahmad Dahlan. Beberapa falsafah tersebut saling berkaitan satu sama lain. Pertama bahwa hidup adalah sebuah pertaruhan. Apakah nanti setelah mati akan mendapatkan bahagia atau sebaliknya. Ini falsafah pertama.
Ahmad Dahlan sadar betul bahwa manusia hanya hidup satu kali di dunia ini. Dan dia juga sadar bahwa akan ada kehidupan setelah mati nanti. Kehidupan setelah mati itu berkaitan/terhubung dengan kehidupan di dunia. Konsep amal, dalam pikiran Ahmad Dahlan menghubungkan kehidupan dunia dan kehidupan akhirat. Karena itu, tentu yang dianjurkan adalah amal saleh sebanyak mungkin selama di dunia. Agar nanti di kehidupan akhirat mendapat bahagia. Bukan sebaliknya.
Lalu bagaimana amal saleh itu dilakukan? Itu tertuang dalam pelajaran kedua. Ahmad Dahlan menganjurkan bahwa amal saleh itu selain dilakukan secara individu, juga perlu dilakukan secara organisasi.
Apa yang dianjurkan oleh Ahmad Dahlan justru berangkat dari fakta sebaliknya. Yaitu sebagaimana disebutkan dalam pelajaran kedua. Bahwa “Manusia suka bekerja sendiri-sendiri.” Karena itu, penting untuk bekerja secara kolektif/organisatoris.
Pelajaran ketiga, Ahmad Dahlan menganjurkan kita untuk menghindari kebenaran ilusif. Kebenaran ilusif adalah sesuatu yang dianggap benar karena sudah menjadi kebiasaan. Ini sebagaimana agenda awal berdirinya Muhammadiyah, yaitu memerangi TBC.
Pada waktu itu, TBC dianggap benar karena sudah biasa dilakukan. Sehingga sulit merubah kebiasaan itu. Karena itu, kita harus mampu membedakan kebenaran sejati dengan kebenaran ilusif itu.
Pertanyaannya, bagaimana kebenaran yang sejati dan bukan ilusif? Jawabannya dengan akal. Itu disebutkan dalam pelajaran/falsafah yang keempat. Pelajaran empat, berisi tentang anjuran menggunakan akal untuk mencari kebenaran sejati.
Disebutkan bahwa, “Manusia harus mempergunakan pikirannya untuk mengoreksi soal itikad dan kepercayaannya, tujuan hidup dan tingkah lakunya, mencari kebenaran yang sejati. Karena kalau hidup di dunia hanya sekali ini sampai sesat, akibatnya akan celaka, dan sengsara selama-lamanya.”
Lalu, bagaimana kebenaran itu ditemukan? Itu disebutkan dalam pelajaran kelima. Yang berbicara tentang bagaimana menemukan kebenaran sejati. Proses itu dilakukan dengan pencarian panjang dengan mengkaji, membaca, berdiskusi, membandingkan, dan seterusnya. yang artinya, akal menjadi instrumen penting untuk menemukan kebenaran sejati itu. Menemukan kebenaran sejati dengan akal. Disebutkan bahwa:
“Setelah manusia mendengarkan pelajaran-pelajaran fatwa yang bermacam-macam, membaca beberapa tumpuk buku, dan sesudah memperbincangkan, memikir-mikir, menimbang-nimbang, membanding-banding kesana-kemari, barulah mereka itu dapat memperoleh keputusan, memperoleh barang yang benar yang sesungguh-sungguhnya. Dengan akal pikirannya sendiri dapat mengetahui dan menetapkan, inilah perbuatan yang benar.”
Kebenaran yang sudah ditemukan itu, kemudian dipegang tegus supaya tidak terombang-ambing. Ini masih termasuk dalam pelajaran kelima, yaitu memegang tegus prinsip kebenaran supaya tidak terombang-ambing. Bahkan Ahmad Dahlan menyebut orang yang tidak berpegang tegus itu dengan istilah “seperti makhluk yang tidak berakal.”
Disebutkan bahwa, “Banyak kekhawatiran itu yang akhirnya tidak berani mengerjakan barang yang benar, kemudian hidupnya seperti makhluk yang tidak berakal, hidup asal hidup, tidak menempati kebenaran.” Tidak berpegang teguh pada juga disebabkan karena kekhawatiran akan kehilangan apa yang mereka miliki.
Dari situ, seseorang telah mencapai suatu titik di mana seseorang telah selesai dengan dirinya sendiri. Artinya, dia telah mampu menemukan kebenaran hakiki dan mampu memegang teguh kebenaran itu.
Saya melihat Ahmad Dahlan dalam pelajaran keenam bicara tentang etika kepemimpinan. Di mana dalam konteks politik, pemimpin harus secara totalitas menjaga integritas dalam melayani yang dipimpin.
Disebutkan, “Malah pemimpin-pemimpin itu biasanya hanya mempermainkan, memperalat manusia yang bodoh-bodoh dan lemah.” Ini adalah satu contoh/gambaran pemimpi yang tidak berintegritas.
Terakhir, ketujuh. Ahmad Dahlan mendorong untuk memperbaiki kualitas dengan belajar ilmu dan melakukan amal saleh secara bertahap. Bagi saya, ilmu bukan hanya pengetahuan tentang agama. Namun segala ilmu yang bermanfaat.
Dan amal saleh sangat penting untuk meningkatkan kualitas kehidupan baik untuk skala individu maupun komunitas/umat. Sebagaimana sedekah atau zakat akan membantu mengurangi kesenjangan sosial.
Ilmu dan amal saleh juga selalu disandingkan di dalam Alquran. Ilmu dan amal saleh yang menjadi satu pake ini menunjukkan bahwa selain keduanya peting, juga tidak bisa dipisahkan. Itulah runtutan falsafah hidup seorang muslim menurut Ahmad Dahlan.
Apa yang diajarkan Ahmad Dahlan ini tentu bukan harga mati. Namun, ini mengandung nilai yang dalam dan komprehensif. yang kiranya dapat menjadi panduan kita dalam menjalani kehidupan ini. []
Oleh M. Khusnul Khuluq. Mahasiswa Prodi Hukum Islam Program Doktor, Universitas Islam Indonesia.