oleh : Wildan Sule Man
Barangkali sunggingan Tawa saudara akan muncul menghiasi wajah saat mencermati dialog “fiktif” antara seorang teknisi pesawat terbang dengan orang awam dikampungnya saat mudik lebaran. Dengan bangganya sang teknisi bercerita memamerkan buah karya terakhirnya berupa pesawat yang bisa mendarat di bulan yang kabarnya telah viral itu. “Apakah saudara bangga dengan prestasi yang diukir oleh salah satu penduduk kampung ini yaitu kesuksesan membuat pesawat yang bisa mendarat di bulan?” , tanya sang teknisi kepada teman teman kampungnya.
Semua terdiam, namun ada salah satu pemuda yang tiba tiba berbicara dalam forum itu, “maaf mas, sepertinya sudah ada negara yang berhasil membuat pesawat yang mampu mendarat dibulan seperti yang “sampean” buat, kami mungkin akan bangga jika negara kita lewat karya “sampean” berhasil membuat pesawat yang sanggup mendarat di matahari”. Mendengar yang disampaikan pemuda kampung itu sang teknisi terkejut dan iapun menjelaskannya. ” Mendarat di matahari itu tak mungkin, sebab Matahari itu panasnya berjuta juta derajat celcius.
Baru mendekat sekian juta kilometer saja dari matahari pesawatnya sudah meleleh ….”. Belum selesai sang teknisi berbicara, Pemuda kampung yang awam itu menyela. “Kalau cuma begitu saja mudah mas”. ” loh. Mudah Gimana?. Sang Teknisi kaget. “Jikalau takut pesawatnya meleleh karena panas, berangkatnya habis maghrib saja. Kan sudah dingin”. Penjelasan pemuda kampung itu membuat sang teknisi setengah tertawa plus setengah “ndongkul”.
Tawa merupakan tanda kegembiraan, ada banyak kemungkinan orang yang ada tawa diwajahnya, bisa karena melihat hal yang lucu, membaca cerita jenaka, bisa pula sedang memandang hal hal konyol, tapi intinya ia tertawa karena ada hal atau obyek yang membikin mereka tertawa.
Tawa ternyata memiliki kerelatifan tergantung dari sudut yang melihatnya. Kita contohkan antara orang kota dan orang desa, banyak orang kota yang suka menertawakan orang desa. Sebaliknya tidak sedikit pula orang desa yang tak bisa menahan geli melihat tingkah orang kota. Biasanya orang kota menertawakan keluguan orang desa, sementara orang desa menertawakan keberlebih lebihannya orang kota, melihat pengantin desa berpakaian, boleh jadi orang kota menertawakannya, tetapi orang desa juga geli setengah mati melihat kemewahan pesta pernikahan orang kota yang berhari hari lamannya yang ternyata hanya berumur bulanan saja.
Mudah memang menertawai obyek lain diluar kita. Namun pernahkah saudara menertawai diri sendiri?, atau dengan pertanyaan lain mampukah kita merasa geli dengan apa apa yang telah diperbuat dalam hidup ini?. Apakah kita sempat menertawai kita sendiri ketika melarang anak anak kita merokok, sedang kita sendiri perokok berat?, Apakah kita sempat menertawakan kita sendiri karena merasa lucu, saat anak kita disuruh suruh berangkat kemasjid untuk melaksanakan sholat jamaah, sedangkan kita sendiri sebagai orang tuanya hanya duduk duduk sambil mengusap usap gawai?. Apakah kita sebagai seorang guru merasa geli dan menertawai sendiri, dikala selalu menganjurkan anak membaca buku dengan rajin, sedang kita sendiri melihat huruf huruf kecil dibuku seketika rasa ngantuk menyerang?.
Wal Akhiran. Kata orang, “Tertawalah sebelum tertawa dilarang”, tertawalah supaya hati merasa gembira, syukur syukur mampu menertawai sendiri sendiri, siapa tahu dengan hal itu bisa menjadi formula perbaikan diri, kemudian akan menjalani hayat dengan lebih hati hati, dan yang penting mendapatkan sebuah oleh oleh hidup yakni kearifan. Wallahu a’lam Bishowab.