Oleh Hendra Hari Wahyudi
Negeri ini memiliki banyak sekali kekayaan, mulai dari alam hingga potensi manusianya. Salah satunya pada olahraga, khususnya sepakbola. Di Indonesia, sepakbola menjadi salah satu olahraga paling banyak penggemarnya. Namun, sejarah mencatat Indonesia baru sekali dan menjadi negara Asia pertama yang masuk piala dunia meski dengan nama Hindia Belanda di tahun 1938.
Persepakbolaan tanah air pun mengalami berbagai dinamika, mulai dari pertandingan, penonton, hingga federasinya. Dari dualisme PSSI, hingga di banned oleh FIFA di tahun 2015. Terakhir, kabar duka dunia sepakbola datang dari Malang pada 1 Oktober 2022 lalu. 135 nyawa melayang pada Tragedi Kanjuruhan yang sampai sekarang pun masih menyisakan duka, serta dalam perjuangan menuntut keadilan.
Meski berbagai tragedi-tragedi sudah sebelumnya banyak merenggut nyawa di negeri ini karena sepakbola, tapi olahraga ini masih menarik dengan bumbu-bumbu rivalitas. Hal yang tentunya dapat meningkatkan tensi pertandingan, jumlah penjualan tiket laga, hingga rating penyiaran. Sekali lagi, sepakbola di tanah air menjadi harga diri bagi setiap pendukung fanatik dari sebuah klub. Sebagaimana kata Bill Shankly, sepakbola bukan hanya tentang hidup dan mati, tapi lebih dari itu.
Kita mencurahkan segalanya untuk mendukung tim kesayangan, melalui berbagai kreatifitas seperti koreografi. Dan supporter klub di Indonesia sudah dikenal dan terkenal akan aksinya. Kembali, demi menjaga asa dan memompa semangat tim kebanggaan agat tak jatuh ke dalam jurang (degradasi).
Begitulah keseruan dari sebuah kompetisi, saling berjuang mengalahkan lawan. Merebut poin dikandang ataupun saat tandang, agar dapat mengangkat trofi dan tidak terdegradasi. Tetapi, ketika suatu liga tanpa adanya degradasi dan liga dibawahnya tidak berjuang dan promosi ke liga utama. Maka liga itu tak ubahnya hanya sebuah laga-laga persahabatan antar klub desa atau kecamatan. Meski juara pun hanya sebatas ber-euforia, jadi raja tanpa ‘mahkota’. Miris.
Liga tanpa degradasi ibarat pacaran tanpa ketemuan, yo tidak ada rasa degdeg-kan lho ya! Karena apa? Dan kenapa semua ini terjadi? Tentunya adanya kepentingan-kepentingan mereka yang merasa penting, powernya keuangan. Dari ‘sepakbola gajah’ hingga akuisisi ataupun merger sampai merubah nama klub, saya sendiri sudah tidak ‘srek’. Okelah kalau para orang kaya itu membeli sebuah klub, tapi tolong jangan dibeli sejarahnya! Mereka punya sejarah panjang dalam mendirikan sebuah klub.
Dan sekarang, kompetisi kedua dan tiga dihentikan tanpa adanya alasan yang logis ataupun kejadian yang harus memaksa dihentikannya liga (force majeur). Alasan adanya permintaan, sarpras, serta izin dan keamanan. Rasanya kurang pas, kenapa? Karena ada ribuan pedagang yang bisa mencari nafkah di stadion, ratusan pemain yang terancam nganggur. Minimal itu.
Kebijakan yang rasanya kurang bijak, ditengah persepakbolaan kita butuh perbaikan infrastruktur, kualitas pemain, wasit, liga dan kesehatan federasi serta timnas berjibaku di AFF Cup yang akhirnya asa pupus lagi. Malah kompetisi berubah serasa laga amal yang dimana tim di liga bawahnya tak bertarget lolos ke liga utama. Gimana lolos ke liga utama wong klub diatasnya tanpa degradasi, dan liga kasta kedua berhenti.
*
Maka sepakbola di negeri ini yang dimana banyak mimpi yang bergantung disana, kini hanya tinggal kompetisi yang berisi laga tandang-kandang tanpa berjuang agar tidak masuk jurang dan turun kasta. Padahal atmosfirnya sudah baik seiring pandemi yang sudah usai, saatnya kembali ke tribun mengadu kreatifitas, melihat berbagai laga yang penuh rivalitas, kini tak ubahnya hanya liga persahabatan yang tak lebih menyerupai kompetisi antar RT. Suatu kemunduran ditengah modernisasi dan digitalisasi berbagai liga di dunia. Saatnya berbenah, saatnya berubah, kalau semuanya sehat maka sepakbola tanah air akan lebih meningkat.
Sepakbola untuk kita semua, bukan untuk politik, bukan pula tempat para elite beradu gensi. Sepakbola hiburan bagi rakyat, harga diri bagi para tifosi, dan kebanggaan bagi mereka yang mencintai. Kembalikan keindahan, keseruan, kemeriahan, dan kesehatan kompetisi. Berkali-kali berubah nama, berganti kepemimpinan federasi, tapi pemainnya tetap sama, maka tidak ada bedanya.
Maka, mohon kepada segenap pemangku kuasa dan kebijakan, jadikan sepakbola di negeri ini lebih baik dan menggembirakan. Bukan berakhir dengan duka, kontroversi, ataupun di politisasi. Tetapi rawatlah sepakbola dengan hati nurani, agar kami rakyat kecil dapat menikmati gegap gempita dan keseruannya. Bukan kerusuhannya, bukan pula kegaduhan elitnya. Kami hanya ingin liga yang sehat, sepakbola yang bermartabat. (*)