Opini

Sejenak Lupa Muhammadiyah

Rifqi Gozali*

Sakit itu datang begitu cepat. Tidak butuh waktu lama hingga akhirnya saya terbaring di ruang operasi RS Roemani Muhammadiyah Kota Semarang.

“Sudah sampai begini ini sudah berapa lama?” begitu tanya dokter berbadan tegap setelah memeriksa benjolan di anus saya.

“Kalau merasakan sakit baru hari ini, dok. Kalau terasa ada benjolan dari kemarin,” saya menimpali sembari menahan rasa perih dan sakit yang amat sangat.

“Ini dioperasi ya. Benjolannya sudah keluar. Harus diangkat.” Saya balas dengan anggukan kepala.

Dokter memberikan pengantar agar saya mendapat layanan tindakan operasi di rumah sakit. Saya baca dalam kolom diagnosa pada lembar pengantar itu yang tertulis: internal haemorrhoids with other complications.

“Nanti jam 18.00 operasinya, Pak. Ini nanti siang makan dulu. Habis itu puasa sampai tindakan operasi,” kata seorang perawat muda.

Azan magrib bersahutan. Setelah suara azan mereda, dua orang perawat muda laki-laki dan perempuan menjemput saya. Botol infus dicopot dari gantungannya. Diletakkan di sebelah saya lengkap dengan selang infus yang masih terhubung di tangan kiri saya. Saya di atas bed didorong. Melintasi lorong. Lewat lift. Hingga akhirnya berujung di ruang operasi yang dinginnya sampai menusuk sum-sum. Orang-orang berbaju hijau lengkap dengan penutup kepala mengelilingi saya. Satu di antaranya ada yang mengajak ngobrol saya. Dia mengaku bernama Yusuf. Warga Gubug Kabupaten Grobogan.

Baca juga :  Refleksi 59 Tahun Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

Pukul 19.30 saya di atas bed didorong keluar dari ruang operasi. Perut ke bawah sampai ujung kaki saya rasanya hilang. Rupanya efek bius yang disuntikkan dokter anestesi di punggung saya saat di ruang operasi tadi. Rasanya lemas. Kantuk datang menyerang, tapi tidur tak pernah nyenyak.

Pengalaman ini mungkin tak akan pernah terlupakan. Selain sebagai pengalaman pertama saya dirawat di rumah sakit, ini juga pengalaman pertama saya menjalani operasi. Dan yang paling melekat, saya sebagai warga nahdiyin baik kultural maupun struktural, rumah sakit pertama yang merawat saya adalah rumah sakit milik “tetangga sebelah”. Hehe. Bukan berarti di daerah saya tidak ada rumah sakit NU. Tapi memang jangkauan jaraknya lebih jauh.

Bahkan ketika dokter berbadan tegap yang pertama merawat saya tadi menunjukkan mana saja pilihan rumah sakit yang siap menerima saya sebagai pasien hemoroid, seketika itu juga saya memilih RS Roemani Muhammadiyah Kota Semarang. Beberapa rumah sakit lain yang ada dalam pilihan tadi saya abaikan.

Baca juga :  Guruku Tercinta

Pilihan kenapa saya memilih RS Roemani Muhammadiyah meluncur begitu saja. Dalam benak saya, rumah sakit tersebut memiliki pelayanan perawatan yang baik. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada rumah sakit lain yang juga memiliki perawatan yang baik pula. Tetapi, alam bawah sadar saya menunjukkan ke RS Roemani. Kenapa demikian, karena hampir setiap keluarga besar saya ketika sakit, rumah sakit yang paling menjadi acuan untuk diakses layanan perawatannya yaitu RS Roemani.

Saya masih sangat ingat, ketika masih anak-anak pertama kali saya ke rumah sakit yakni di RS Roemani. Saat itu saya menjenguk nenek buyut saya yang sedang dirawat di sana.

Bagi saya ini menarik. Sebenarnya tidak hanya keluarga besar saya yang memilih rumah sakit di Kota Atlas yang dikelola oleh Persyarikatan Muhammadiyah. Beberapa warga di kampung saya juga memilihnya. Padahal, di kampung saya tidak satu pun dari mereka yang menjadi anggota maupun simpatisan Muhammadiyah. Bahkan cenderung sensitif dengan organisasi besutan KH Ahmad Dahlan tersebut. Musababnya hanya karena beberapa perbedaan belaka. Misalnya antara kunut dan tidak kunut. Kuantitas rakaat tarawih. Dan lain-lain. Sensitifitas ini acap kali saya dengar dulu waktu kecil. Saat ini sepertinya sudah mengendur.

Baca juga :  Penyikapan Perbedaan dan Penasbihan Identitas Kelompok Keagamaan

Di balik sensitifitas itu, sepertinya ada momentum kapan lupa Muhammadiyah? Yaitu ketika sakit. Saya, keluarga besar, dan beberapa warga yang tinggal di sekeliling saya sejenak lupa kalau rumah sakit yang menjadi rujukan adalah milik Muhammadiyah. Tanpa ada pertimbangan sedikit pun perihal perbedaan yang menjadi persoalan selama ini.

Pernah suatu ketika saya menyimak ceramah Pak Tafsir, Ketua Muhammadiyah Jawa Tengah. Dengan jenaka dia berkata, “Jadi ngerokok silakan, Muhammadiyah sudah siap dengan rumah sakitnya.” Perihal rokok memang sangat lekat dengan nahdiyin. Dan ormas dengan jumlah rumah sakit terbanyak adalah Muhammadiyah. Begitulah seharusnya hidup. Saling melengkapi. Situ yang punya rumah sakit, sini yang jadi pasien. Dengan begitu hidup menjadi lebih equilibrium.

*Nahdliyin muda berbahaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *