Oleh : Achmad Hilal Madjdi
“ Dan berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai………….”
Ketika aku berebut mainan dengan kakak, di masa kecilku, bapak mendatangi kami sambil membawa sebuah sapu lidi. Diambilnya beberapa lidi dan dipatahkannya, maka patahlah lidi-lidi itu. Dan kemudian giliran lidi-lidi lainnya yang masih terikat menjadi sapu juga dicoba dipatahkannya, tapi tidak bisa. “ Nah, kalian ingin menjadi yang mana ?”, Tanya beliau sambil tersenyum. Lidi, atau sapu lidi ?
Hikayat sapu lidi sebenarnya telah lama menjadi salah satu kekayaan falsafah bangsa kita. Ia sering dianalogkan dengan kesendirian, perpecahan, kebersamaan dan persatuan; dan tak begitu sulit untuk dipahami dan diamalkan. Uniknya, cerita tentang lidi dan sapu lidi ini masih saja tetap kontekstual, dan mungkin agak sulit dicari gantinya, meskipun jaman telah berubah dari waktu- ke waktu.
Dalam menyongsong pergerakan persyarikatan Muhammadiyah di abad ke dua ini, kisah lidi dan sapu lidi inipun masih sangat layak untuk dijadikan bahan renungan apabila kita ingin melakukan evaluasi dan refleksi diri. Kita ingin yang mana, lidi atau sapu lidi ?
Benarkah kita Lidi ?
Kita tentu harus bersyukur dengan persembahan syukur yang tak terhingga karena perkembangan persyarikatan sampai saat ini benar- benar membanggakan. Kiprah warga Muhammadiyah dalam meninggikan panji-panji Islam melalui panji-panji persyarikatan Muhammadiyah dirasakan sangat membumi dan memenuhi hajat hidup orang banyak, apapun dan siapapun mereka. Tetapi jangan lupa pula, Muhammadiyah pernah diibaratkan oleh salah satu sesepuh kita sebagai gajah bengkak.
Pengibaratan ini jelas bukan sebagai sesuatu yang menyenangkan. Gajah bengkak adalah gajah yang sedang sakit. Tubuhnya besar tapi tak energies. Kipasan telinganya tak lagi indah, jalannya tak lagi elegan, dan lambaian belalainya tidak juga menawan. Tubuhnya yang tidak lagi simetris ini biasanya juga dirubung lalat-lalat kotor yang menjijikkan dan tak pernah bisa diusir oleh kibasan telinga, belalai dan ekor sang gajah. Gajah bengkak, dalam kamus kemanusiaan, mempunyai makna sinonim manusia sakit dan dirundung malang.
Benarkah persyarikatan kita tergambarkan seperti itu ? Mari kita coba ‘melihat’ sekeliling kita. Muhammadiyah bergerak begitu cepat dan masyarakatpun menuai manfaat. Pendidikan digelar mulai dari TK sampai Perguruan Tinggi. Kita juga punya Balai Pengobatan, dan Rumah Sakit yang telah menjadi ”ikon” sarana kesehatan masyarakat apabila mereka sakit. Dan di setiap kota/ kabupaten ada BKIA yang telah menjadi buah tutur yang sangat baik dan menjadi ‘ikon’ bagi ibu-ibu yang mau ‘babaran’ (melahirkan). Ada juga panti asuhan yatim piatu putra dan putri yang menjadi cermin yang sangat jernih tentang kedermawanan warga Muhammadiyah. Tapi benarkah kita telah terbuhul seperti sapu lidi , atau masih lidi ?
Menurut cerita para sesepuh, SD Muhammadiyah di kota saya dibangun oleh warga Muhammadiyah (yang saaat itu secara kuantitatif belum banyak) dari berbagai kalangan, baik yang biasa maupun yang kaya, awam maupun sarjana, dengan sangat guyub. Mereka yang tak punya harta datang dengan tenaga, berbekal cangkul dan perlatan lainnya. Yang telah mengeluarkan uang tak mau duduk bersilang tangan. Mereka ikut mengaduk pasir dan semen, mencetak loster (angin-angin), memasang usuk, reng dan genteng. Tak lupa pula mereka membawa kopi, teh, pisang goreng, nasi dan segala lauk pauknya. Ada ruh jihad dengan aura keihlasan di sana. Aura yang dicita-citakan K.H.A.Dahlan, yaitu menghidup-hidupi Muhammadiyah.
Cerita heroik itu membuat saya semakin hanyut dalam imaji indahnya bermuhammadiyah pada masa itu ketika cerita berlanjut pada ruhnya yang sebenarnya. Yaitu bahwa mereka berkiprah, berpeluh berkeringat tanpa pernah berhitung tentang peran dan posisi mereka nanti setelah gedung sekolah itu jadi. Ada yang tak lagi punya anak usia SD, karena semua anaknya sudah beranjak dewasa dan bekerja. Ada yang tak punya anak sama sekali, karena memang telah berpuluh tahun berkeluarga belum juga dikaruniai anak oleh Yang Maha Kuasa. Dan ada pula yang anak-anaknya sudah menimba ilmu di pondok pesantren. Mereka disatukan oleh satu niat untuk berjuang di jalan Allah, meninggikan Agama Allah dengan mendirikan Sekolah Dasar.
Mari Membuat Sapu Lidi
Cerita di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya kita ini bagaikan sapu lidi dan bahkan terbut dari baja.Ternyata tak ada asa yang tak tergapai, selagi kita memancang niat dan membangun kerangka kerja yang sesuai dengan fitrah manusia itu sendiri. Tak ada pasir atau air yang tak bisa diwadahi, selagi tempayan atau bak yang disiapkan tak berlubang. Dan tak ada beban yang tak bisa dipikulkan, selagi kekuatan disiapkan bersama-sama, saling bahu membahu. Tulang yang berserakan masih bisa dirangkai kembali.
Marilah kita merundukkan kepala sejenak, membaca, membaca dengan nama Tuhan, menengok hati. Jendela jiwa yang kita miliki ini tak boleh tertutupi dengan kepalsuan-kepalsuan. Di sana tak boleh bersemayam prasangka negatif, refrensi-refrensi sesat, dan pengalaman pahit masa lalu. Ia harus kita jauhkan dari prinsip hidup yang tidak benar, cara pandang yang salah, dan kepentingan-kepentingan pribadi maupun golongan yang sering menggiring kita untuk menjadi opportunis, pengkhianat, dan bahkan munafiq. Allah SWT telah mengingatkan kita agar kita tidak seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasiq (Al Hasyr:19).
Kefasikan, adalah sifat culas yang pernah menjadi biang keruntuhan jaman keemasan Islam. Ia pula yang merobek-robek persatuan dan kesatuan ummat. Oleh karena itu, tak ada lain yang harus dilakukan kecuali membasmi virus yang lebih kecil dari virus ini. Sebab jalan lurus telah dibentangkan Rasulullah SAW dan pintu taubat dibuka setiap saat oleh Allah SWT. Lidi-lidi yang berserakan harus segera dibuhul erat menjadi sapu.
Langkah paling mendasar yang harus segera dilakukan adalah menjauhkan diri dari prasangka buruk dan berbuat ghibah sekuat tenaga. Ibnu Al-Atsir dalam kitab An-Nihayah mengatakan bahwa ghibah adalah menceritakan keburukan orang lain tanpa sepengetahuan orang tersebut, walaupun keburukan itu benar-benar ada pada dirinya. Lebih jauh lagi An-Nawawi dalam kitab Al-Adzkar menyebut ghibah sebagai segala cerita tentang keadaan seseorang, baik berwujud keadaan jasmani, keadaan dirinya, keduniaannya, ahlaq, harta, istri/suami,anak-anak, aktivitas wajahnya, dan lain-lainnya yang diceritakan secara lesan, tertulis, maupun dengan isyarat/kode-kode. Dan lebih tegas lagi Allah menyebut ghibah sebagai perbuatan memakan bangkai saudaranya yang telah mati, jijik dan menjijikkan (Al Hujarat:12).
Lalu, jika ada saudara kita yang menurut kita telah melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan main, apa yaqng harus kita lakukan ? Jawabnya sebenarnya sangat sederhana dan mudah dilakukan, ingatkanlah dia dengan hikmah dan bijaksana secara langsung, jika hati ini ada iman. Jika tak mampu, sapalah dengan tidak langsung. Dan jika ternyata tak kuasa, diamlah dengan hati yang tak bersetuju dengan perbuatannya, meskipun yang terakhir ini termasuk dakwah yang paling sederhana (serendah-rendah iman).
Yang kedua, kita terima lidi-lidi yang ada dengan apa adanya. Mungkin ada lidi yang kecil, sedang dan besar. Barangkali ada juga lidi yang panjang, sedang dan pendek. Bisa jadi ada lidi yang merasa tidak terkait dengan lidi-lidi yang ada di Kudus, karena ia telah diurus orang Jakarta. Atau lihatlah ada lidi yang kelihatan gemulai, karena ia ada di tangan ibu-ibu. Dan ada juga lidi yang begitu besar, tegar dan membawa aura kebugaran dan kesigapan, karena ia dipegang anak-anak muda. Tapi itulah realitas hidup, karena memang tak ada dua hal yang bisa sama persis. Biarkan penglihatan, pendengaran dan hati kita menerima perbedaan itu dengan arif. Itulah sebenarnya kekayaan Illahi yang diperuntukkan kita semua untuk kemudian kita pertanggungjawabkan kelak kepadaNYA di yaumil akhir.
Dan yang ketiga, sudah barang tentu, mencari tali yang kuat untuk membuhul lidi-lidi itu menjadi sapu lidi yang kuat. Artinya kita memerlukan kepemimpinan yang baik. Tapi marilah kita ingat bahwa setiap diri adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawabannya kelak. Manajemen kepemimpinan dalam persyarikatan kita adalah kolegial system, yang bermakna kebersmaan dan keterpaduan, berat sama dipikul, ringan sama dijinjing.
Kolegial system juga mengandung makna perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan tindak lanjut (Plan, Do, Check, Action) yang harus dilakukan secara cermat. Dalam konteks ini, perencanaan dengan membuat skala prioritas merupakan langkah cerdas untuk mengakomodasi semua kekuatan yang ada. Sekedar contoh kecil, kalau memang ibu-ibu Aisyiyah sudah lebih siap dengan Rumah Sakit Ibu dan Anaknya, maka tidak ada salahnya jika program ini yang diusung bersama-sama dalam kurun waktu tertentu, disusul dengan program yang lain.
Tidaklah sama suatu pergerakan yang berkolaborasi (bersama-sama) dengan yang dilakukan sendiri-sendiri. Dan tidaklah sama, dana yang terkumpul dari berbagai elemen dan kekuatan dengan yang terkumpul dari sekedar satu gugus kerja. Dan pasti tidaklah sama, orang-orang yang berjuang untuk kehidupan akherat dengan orang-orang yang berjuang hanya untuk kepentingan dunia saja. Barangsiapa menghendaki kehidupan akherat dan berusaha ke arah itu dengan sungguh-sungguh dan dia beriman, maka mereka itu adalah orang-orang yang usahanya dibalas dengan baik (Al-Isra’: 19).
Semua itu hanya bisa terwujud jika kita saling bersilaturrahmi, tukar pikiran, saling curhat dan menebar kasih sayang, perhatian, pertolongan, bantuan, cinta dan kebaikan, sehingga langkah-langkah sinergis itu bisa dilakukan. Percayalah bahwa memang sebenarnya tak ada yang perlu dirisaukan. Sebab jika kita berniat membaktikan diri di persyarikatan Muhammadiyah untuk menolong agama Allah, niscaya Dia akan menolong dan mengukuhkan kedudukan kita (Muhammad:7). Yakinlah bahwa jika kita berjuang dengan membangun sinergi dengan berbekal sabar dan takwa (untuk mencari keridloan Allah), maka Allah benar-benar akan menunjukkan kepada kita jalan-jalanNYA (Al-Ankabut: 69).