Nuruz Zaman*
“Muhammadiyah dan bangsa Indonesia berduka. Telah wafat Buya Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB di RS PKU Muhammadiyah Gamping.” Membaca kalimat tersebut, sontak hati saya berdesir. Mengalami kehilangan yang teramat dalam pada orang yang “bukan” keluarga dekat, dan tak pernah sekalipun saya berjumpa.
Buya Syafii, salah satu tokoh Muhammadiyah yang paling saya kagumi. Memang, tak pernah sekalipun saya berjumpa dengan beliau. Tapi pikiran dan tulisannya benar-benar tajam menghunjam dalam hati. Lewat orang-orang yang memang dekat dengannya secara pribadi, saya menemukan keteguhan, kegigihan dan pelajaran hidup dari Sang Guru Bangsa.
Pria kelahiran Sumpur Kudus yang sebentar lagi berulang tahun ke 87 ini (beliau kelahiran 31 Mei 1935) menjadi nahkoda persyarikatan Muhammadiyah di masa krusial. Saat Muhammadiyah hampir tercebur ke politik praktis, mengirimkan “kader terbaik” sebagai calon presiden. Buya tampil di garda depan menjaga marwah persyarikatan, tetap berada di garis lurus khittah perjuangan.
Sebagi pribadi, Buya sangat lurus, teguh pendirian dan mandiri. Beliau tak ragu mempertahankan pendapatnya meski kadangkala berseberangan dengan pendapat kebanyakan. Tak segan mengkritik siapapun bahkan meski itu seorang Presiden. Hingga usianya yang dapat dikatakan lanjut, buya tidak memiliki asisten. Satu dua orang yang saya kenal dekat dengan beliau, lebih pantas disebut sebagai kader kinthilan.
Dan pada hari Jumat, 27 Mei 2022 pukul 10.15 WIB, Buya berpulang. Seluruh Indonesia berduka, media sosial riuh rendah dengan ucapan duka cita. Semua bersedih kehilangan Buya. Muhammadiyah melepasnya dengan khidmat dan sederhana, cukup dengan untaian doa semoga Buya diterima amal ibadahnya, diampuni kesalahannya, dilapangkan di kuburnya dan ditempatkan di jannatin naim. Bahkan karangan bunga saja dihimbau untuk tidak dikirimkan.
Namun tidak salah apabila warga Muhammadiyah dan seluruh umat Islam menggelar salat gaib untuk mengantar dan mendoakan beliau, melepas kepergiannya dengan penghormatan terbaik yang kita bisa.
Demikianlah seorang tokoh besar itu seharusnya berpulang: saat kita melepas dengan tangis, Buya berpulang dengan senyum.
*Pemerhati media sosial