IMM adah bentuk manifestasi mahasiswa Muhammadiyah untuk menghidupkan iklim kritis dalam menghadapi persoalan kehidupan yang kompleks ini. Untuk itu, apa yang menjadi cita-cita bersama tentunya membutuhkan sumber daya manusia yang mumpuni.
Kader sebagai sumber daya utama harus memiliki potensi unggul dan juga teguh dalam ideologi. Bagaimana mungkin seorang kader dapat berjalan tanpa adanya landasan berpikir dan arah tujuan yang jelas, kalau sebelumnya tidak dibekali oleh kebutuhan dasar ini.
Persoalan besar yang sebelumnya kita hadapi yakni Pandemi Covid-19, telah mengacaukan laju kaderasasi. Hal ini membuat gap atau jurang yang menghambat regenerasi kepemimpinan.
Meskipun solusi telah ditawarkan dengan mengoptimalkan teknologi melalui diselenggarakannya berbagai macam kegiatan secara daring, pastinya rasa dan nilai yang diperoleh pun tidak seperti kegiatan luring.
Bagaimanapun juga keadaan yang mendesak kita menggunakan teknologi, mau tidak mau harus bisa mengoptimalisasi sarana yang ada.
Program perkaderan, mulai dari Darul Arqam Dasar, Madya, hingga perkaderan penunjang yang diwarnai local wisdom masing-masing daerah semestinya mampu memberikan rasa nyaman bagi peserta. Banyak diantara kader baru yang merasa ekspetasinya tidak terpenuhi ketika mengikuti ajang perkaderan.
Bukan hanya itu, nilai yang dibawa juga harus memiliki subtansi dan esensi yang terstandardisasi sesuai SPI.
Namun, yang mungkin tidak kita sadari adalah ketika penerapan SPI di lapangan, apakah kader muda maupun tua betul – betul membutuhkan SPI ini?
Dalam berorganisasi, terutama sekelas organisasi perkaderan, sudah barang tentu membutuhkan pedoman. Tanpa landasan yang jelas, mana mungkin organisasi tersebut akan jalan, apalagi sejalan sesuai koridor?
IMM bukan sekadar organisasi yang hanya menjalankan event, webinar, atau kegiatan lain yang sebatas pada pelaksanaan sementara, tapi IMM adalah organisasi yang bertujuan mendidik, merawat, hingga “menjadikan” kader sebagai orang yang berguna di tatanan masyarakat.
Ini semua tidak dapat tercapai ketika pedoman yang menjadi landasan fundamental diabaikan begitu saja. Landasan yang dimaksud adalah harus selaras dengan landasan induknya, yaitu Muhammadiyah.
Peran Instruktur Dasar
Peran instruktur dasar nampaknya menjadi sorotan utama dalam persoalan perkaderan. Bagaimana tidak, mereka memiliki posisi yang strategis bertemu kader baru. Mau tidak mau, mereka harus memberikan kesan yang mendalam supaya kader tidak lepas ketika di tengah jalan. Selain itu, pimpinan komisariat harus mampu menjaga kader baru agar tidak jenuh dalam ikatan.
Ketika para instruktur dan pimpinan komisariat ini telah memahami subtansi filosofis dari SPI, pastinya dalam menentukan langkah akan mengenai sasaran.
Setelah paham dari apa yang menjadi landasan, maka penentuan sikap, pengambilan keputusan, hingga mampu bersikap kritis dalam menghadapi persoalan akan mudah diselesaikan.
Restarting Revitalitation
Dunia pasca pandemi dapat kita analogikan dengan bentuk instal ulang atau restarting apa yang telah dilalui dari perjalanan panjang perkaderan bagi para kader IMM. Kemudian yang menjadi misi bersama adalah menjadikan figur dalam tubuh struktur di setiap tingkatan merupakan keniscayaan yang berimplikasi pada penguatan ikatan.
Figur yang mampu merefleksikan apa yang terjadi sebelum pandemi. Figur yang dapat mengolah masalah, memiliki semangat liberatif, dan membawa visi keadilan distributif untuk menjadikan IMM sebagai kader yang berkeadaban.
Kemampuan mengolah masalah sejatinya adalah kebutuhan wajib bagi setiap kader. Di mana ini menjadikan pijakan sebelum melangkah lebih jauh. Dari pengelolaan masalah akan dapat ditemukan strategi yang efektif untuk bergerak membangun perubahan.
Kemampuan mengolah masalah juga sepatutnya dibarengi dengan semangat liberatif, yakni kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu yang menghambat pergerakan. Ini adalah kunci untuk merumuskan strategi apa yang tepat dalam bergerak menuju tujuan.
Kemudian yang lebih utama adalah keadilan distributif. Keadilan dalam konteks ini adalah bagimana seorang figur mampu membawa subtansi yang dapat memberikan keadilan bagi pihak-pihak yang berkaitan dalam persoalan kebijakan.
Keadilan memang tidak harus selalu sama, namun keadilan adalah proporsi yang ideal. Proporsi atas isi dan lingkungan harus menjadi pertimbangan pimpinan untuk menjadikan kebijakan adalah solusi terbaik bagi kader-kader dan pimpinan dibawahnya.
Creative Minority
Solusi yang ditawarkan tersebut menggiring kita pada pertanyaan bagaimana cara kita membangun gerakan supaya yang berada pada tataran akar rumput juga dapat terkena dampaknya.
Melalui creative minority agaknya mampu mengajak dan merawat elemen-elemen yang sulit dijangkau tersebut. Creative minority memiliki bargaining position yang cukup mumpuni ketika dihadapkan pada suatu bentuk extra ordinary case.
Bagaimana tidak, sekelompok orang dengan visi misi yang sefrekuensi dan memiliki etos yang tinggi pastinya apa yang menjadi keresahan akan dialami oleh setiap individu kelompok tersebut. Dari situ mereka mampu membuat gerakan yang saling melengkapi dan saling dukung untuk membuat suatu rumusan kebijakan dan strategi yang ampuh untuk menyelesaikan keresahan tersebut.
Ketika sekelompok ini dapat menjawab persoalan yang menjadi masalah publik, maka akan memeroleh legitimasi dan elektabilitas dari masyarakat banyak yang kemudian mereka juga akan tergabung dalam kelompok ini, sehingga untuk menjawab permasalahan pun akan semakin mudah diselesaikan.
Creative minority yang semakin besar bukan lagi disebut demikian, namun akan menjadi sebuah kelompok besar. Tapi kemudian kelompok besar ini pun akan terbentuk creative minority baru dan seterusnya untuk menjawab permasalahan yang baru juga. Pada akhirnya ini membentuk suatu konsep equilibrium atau keseimbangan untuk menjaga keharmonisan.
Sebagaimana hadist nabi mengatakan “kullukum roin, wa kullukum mas’ulun ala riayatikum” menegaskan kita bahwa setiap manusia adalah pemimpin. Pemimpin di manapun tempatnya, sesuai dengan bidang yang diminatinya, bahkan setiap potensi yang dimilikinya dan tentunya akan dimintai pertanggungjawaban.
Dari sini kita berusaha evaluasi dan mencoba menginovasi apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya ditinggalkan.
Penulis: Thomi Setiawan/Instruktur Madya Jawa Tengah