Muriamu.id, Kudus – Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai pertandingan antara Arema melawan Persebaya, Sabtu, 01 Oktober 2022 mengakibatkan jatuhnya korban jiwa. Ada berbagai versi mengenai jumlah korban, namun yang jelas ratusan nyawa melayang. Hal ini menimbulkan duka mendalam tak hanya bagi insan sepakbola Indonesia, namun juga seluruh rakyat Indonesia.
Pertandingan Arema melawan Persebaya sendiri dimainkan malam hari dan berakhir dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya. Hal ini menimbulkan rasa kecewa sebagian suporter hingga masuk ke lapangan seusai pertandingan. Dalam situasi yang dianggap menjurus anarkis, polisi kemudian menghalau suporter salah satunya dengan gas air mata untuk mengendalikan keadaan.
Alih-alih menjadi tenang, situasi justru semakin kacau dan para suporter panik berhamburan keluar stadion. Adanya ratusan korban diduga diakibatkan karena berdesakan sehingga kekurangan oksigen dan terkepung gas air mata. Diduga ada pelanggaran SOP dalam penanganan kerusuhan di dalam stadion.
Menanggapi hal itu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Prof Abdul Mu’ti melalu akun media sosialnya menyampaikan rasa duka cita kepada seluruh korban dan keluarga yang ditinggalkan.
“إنا لله وإنا إليه راجعون.
Duka cita yang sangat mendalam atas tragedi sepakbola di Stadion Kanjuruhan, Malang.
Tulis Mu’ti di akun twitternya.
Mu’ti juga menyebut bahwa Tragedi Kanjuruhan harua menjadi evaluasi bagi PSSI dan semua pihak terkait dengan pelaksanaan Liga 1 dan manajemen sepakbola nasional.
Merespon cuitan Prof Mu’ti, salah satu netizen dengan akun @Mad_Rudin mengomentari bahwa dengan adanya ratusan korban jiwa, pernyataan dan solusi tersebut dianggap terlalu lembut.
“Njenengan layak marah Mas!!!” tulisnya.
Tragedi Kemanusiaan
Sementara itu, Abdur Rohim Ghazali, direktur Maarif Institute, menyebut bahwa tragedi yang terjadi di stadion Kanjuruhan adalah tragedi kemanusiaan.
“Bukan hanya terburuk dalam sejarah sepakbola Indonesia, bahkan yang terburuk kedua di dunia setelah tragedi Estadio Nacional (National Stadium), di Lima, Peru, 24 Mei 1964 yang menewaskan 328 orang. Tragedi Kanjuruhan jauh lebih buruk dari tragedi Hillsborough, Sheffield, Inggris, 15 April 1989 yang menewaskan 96 orang dan disebut-sebut sebagai sejarah terkelam dalam sejarah sepakbola Eropa.” tulisnya.
“Agar kerusuhan di lapangan sepakbola tidak terjadi lagi, diperlukan langkah-langkah yang tepat, misalnya dengan pemberian sanksi berat terhadap klub, suporter, dan penyelenggara kompetisi yang terlibat dalam kerusuhan. Sanksi berat diperlukan untuk membuat efek jera bagi semua pihak yang terlibat, dan bisa menjadi pelajaran penting bagi stakeholder sepakbola yang lain.” Tambahnya.
Kontributor: Sam Elqudsy
Redaktur: Sam