Penulis: Miftakhul Himawan
(Kabid RPK PC IMM Kudus 2022-2023)
Beragam diskursus tentang persoalan di tubuh IMM sering kali kita dengar pada akhir-akhir ini. Seribu catatan kritik pun dilontarkan pada masing-masing pimpinan baik dalam tatanan komisariat atau cabang. Melalui forum evaluasi besar yang diagendakan setiap tahun-nya tentu sudah selayaknya persoalan ini dapat teratasi, akan tetapi cukup disayangkan nyatanya persoalan ini masih belum teratasi secara maksimal, bahkan ada pula permasalahan lama yang masih mengakar ditubuh organisasi ini. Nampaknya bagi seorang pimpinan di IMM perlu kiranya untuk dapat berfikir secara radikal dan mendasar dalam melihat fenomena ini. Ditambah lagi kondisi perkaderan yang lambat dan pergerakan IMM yang masih stagnan menjadi tantangan yang tidak mudah terselesaikan bagi pimpinan kedepan.
Selain itu, pergolakan lain juga turut menghantui dibenak pemikiran kader IMM diranah komisariat. Persaingan yang cukup kuat dan tajam antar organisasi di akar rumput (grassroots) memberikan ancaman yang cukup nyata dalam mendapatkan kader. Ketika dalam hal ini saja kita masih lengah dan tidak memiliki keunggulan yang inovatif, maka yang terjadi adalah hilangnya eksistensi IMM sebagai organisasi perkaderan, hal tersebut dapat ditandai dengan menurunnya kuantitas kader IMM.
Menurut hemat penulis, salah satu aspek yang melatar belakangi permaslahan ini adalah adanya disorientasi mahasiswa sekarang, dimana banyak dari mahasiswa saat ini yang lebih memilih bergabung dengan komunitas-komunitas informal sebagai wadah mengembangkan hobi-hobinya. Hal ini tentu tidak salah, sebab jika kita melihat pada realitas sekarang, kebanyakan dari mereka merupakan generasi pasca milenial (generasi-Z) dan karakteristik dari generasi ini adalah memiliki sifat yang individualis dan pragmatis.
Tentu problem diatas menjadi tantangan tersendiri bagi IMM. Sebagai organisasi perkaderan agaknya IMM masih belum bisa memenuhi kebutuhan kader yang demikian rupa. Sehingga perlu kiranya kita melakukan peningkatan kualitas perkaderan yang nantinya ditujukan pada keseimbangan antara kebutuhan kuantitas dan kualitas kader.
Tak hanya pada aspek itu saja, posisi IMM sebagai gerakan sosial kemasyarakatan juga perlu kita pertanyakan. Berbagai persoalan di bangsa ini sering kali kita temukan pada platform media sosial. Akan tetapi keberpihakan IMM pada kaum mustadh’afin belakangan meredup dan jarang tampak. Jika mengacu pada argumen Charles Tilly mengenai modal untuk menjadi gerakan sosial adalah dengan adanya suara. Jika kita tafsirkan makna suara bisa dikatakan langsung atau tidak langsung. Suara langsung dapat berupa aksi atau terjun langsung kemasyarakat dan tidak langsung bisa berupa tulisan (propaganda) sebagai alat penyadaran publik. Namun baik keberpihakan IMM dalam hal suara langsung atau suara tidak langsung nampaknya masih jarang kita temukan bahkan meredup.
Melihat realitas yang demikian, penulis hanya ingin menekankan bahwasanya warna merah yang melekat pada diri IMM sejatinya adalah simbol, bahwa gerakan IMM adalah gerakan yang berpihak pada kaum mustadh’afin. Kesadaran akan hal demikian merupakan pilihan yang bijaksana bagi seorang akademisi Islam. Paham intelektualisme kader IMM harus diwujudkan sebagai gerakan kritis, independent dan sosialis dalam konteks membela kaum yang termarginalkan.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ali Syari’ati, bahwa misi suci kaum intelektual adalah mampu menerangi dan membangun masyarakat sehingga mampu memproduksi pribadi yang tangguh, kritis, independent dan memiliki kepekaan sosial yang tinggi. Oleh karena itu sebagai kader IMM kita tidak boleh meninggalkan tanggung jawab moral yang cukup besar ini, yaitu menciptakan tatanan masyarakat yang humanis dengan senantiasa berpihak pada kaum mustadh’afin.
Maka pada posisi yang demikian, IMM memiliki peran sentral yaitu sebagai penyalur lidah antara masyarakat kelas atas dan kelas bawah (social control). Hal ini yang menjadikan gerakan IMM sangat di nantikan kiprahnya. Sebagai organisasi yang independent tidak terafiliasi pada paratai politik manapun, tentu menjadikan gerakan IMM dapat terjalankan secara suci.
Namun dalam hemat penulis, sebab meredupnya keberpihakan IMM dengan kaum mustadh’afin salah satunya adalah hilangnya jati diri IMM sebagai organisasi yang bernafaskan Islam. Salah satu aspek yang melatar belakangi persoalan diatas adalah adanya keasalahan orientasi diawal gerakan, hal ini dapat dilihat dari pergeseran sebagian besar kader IMM sekarang yang tidak terlalu dekat dengan masjid. Padahal salah satu output kader tingkat dasar adalah menjadikan masjid sebagai interaksi sosial.
Tentu dalam kiprahnya sebagai gerakan sosial yang berbasiskan Islam IMM tidak seharusnya melupakan jati diri Islamiyah dalam perjuangannya sebagaimana pada sejarah yang pernah di contohkan oleh Rosulullah SAW pada saat dirinya memimpin di Madinah.
Melihat dari kondisi realitas diatas, IMM memiliki pekerjaan rumah yang tidak ringan. Dengan pekerjaan yang tidak ringan ini bukan berarti IMM harus menunggu dan larut dalam arus persoalan yang menimpanya. Sebagai seorang akademisi, kader IMM sudah sepatutnya memiliki terobosan dan melakukan pembaharuan (tajdid) gerakan secara fundamental di tiap level kepemimpinan.
Hal itu memang perlu disadari oleh seluruh kader-kader IMM, sebab jika individu yang berperan didalamnya tidak tergerakkan untuk mengentaskan persoalan diatas, maka sangat tidak mungkin eksistensi IMM sebagai organisasi perkaderan dan pergerakan tidak dapat membuktikan perannya di masyarakat.
Maka dalam hal ini penulis memberikan sedikit pandangan agar IMM dapat melakukan reposisi gerakan (movement repositioning) sebagaimana orientasi awalnya. Salah satu langkah yang penulis sajikan dalam mengentaskan stagnasi pergerakan dan perkaderan di IMM adalah dengan menjadikan masjid sebagai basis gerakan organisasi yang bernafaskan Islam dan melakukan reformulasi perkaderan di era Gen-Z.
Masjid Sebagai Basis Gerakan Dakwah IMM
Berbicara mengenai masjid secara bahasa masjid merupakan tempat untuk sujud. Sujud secara maknanya adalah aktivitas untuk mengakui keagungan Allah Swt dengan cara menghamba pada-Nya. Sujud juga dimaknai sikap tunduk terhadap aturan-aturan-Nya. Dalam sujud juga merupakan suatu bentuk penghormatan bahwa tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali hanya Allah Swt semata. Sedangkan menurut istilah masjid adalah suatu bangunan/tempat ibadah umat Islam yang didalamnya terdapat ibadah yang biasanya dikerjakan secara berjama’ah.
Ketika berbicara masjid, ada hal yang sangat menarik untuk diketahui oleh umat Islam salah satunya yaitu fungsi masjid. Fungsi masjid pada dasarnya merupakan tempat untuk beribadah, namun disisi lain fungsi masjid adalah sebagai pusat peradaban umat Islam. Hal ini dapat dilihat dari sejarah Nabi Muhammad Saw ketika terpilih menjadi pemimpin di kota Madinah. Pada waktu itu Nabi Muhammad Saw menjadikan masjid sebagai pusat ibadah, pusat bermusyawarah, pusat mengkaji ilmu, dan pusat sentral pemerintahan.
Tentu substansi peran dan fungsi masjid ini perlu dipahami secara mendalam oleh kader-kader IMM sekarang terutama dalam menjadikannya sebagai basis pergerakan organisasi. Masjid bukan hanya sekedar sarana menjalankan aktivitas ritual ibadah semata, tetapi merupakan suatu lembaga yang menjadi sarana pembinaan pribadi, keluarga, dan masyarakat muslim.
Dalam masa hidupnya, Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya secara rutin mengadakan pertemuan di masjid. Dalam pertemuan tersebut nabi Muhammad Saw tidak hanya bertemu secara fisik, melainkan mempertemukan hati dan pikiran, sehingga masjid menjadi wadah untuk mempererat ukhuwah skaligus mengikat erat hubungan sosial antar sesama umat muslim.
Nabi Muhammad SAW juga mempergunakan masjid sebagai tempat untuk menimba ilmu dalam memahami wahyu dari Allah Swt dan menyampaikannya pada umat muslim. Sehingga dari kegiatan tersebut melahirkan banyak tokoh-tokoh intelektual Islam yang kemudian mereka menyebarkan risalah Islamiyah kepada masyarakat luas. Ditambah juga, masjid dijadikan tempat untuk membina karakter agar memiliki akhlakul karimah dan menguatkan kualitas keimanan (Tauhid) kepada Allah SWT.
Selain itu, fungsi masjid pada masa Nabi Muhammad Saw juga dijadikan sebagai tempat penolong umat. Sebab, tak sedikit para sahabat pada masa itu yang membutuhkan bantuan sosial lantaran adanya tekanan dari orang-orang kafir. Sehingga untuk mengatasi hal demikian, Rosulullah Saw menjadikan masjid sebagai pusat kegiatan sosial, adapun bentuk-bentuk kegiatan sosial ini seperti pengumpulan zakat, infaq, dan shadaqah yang kemudian disalurkan kepada umat muslim yang membutuhkan. Alhasil dari kegiatan sosial tersebut masjid memiliki fungsi yang sangat besar bagi masyarakat luas dan dari itu pula banyak masyarakat yang menumbuhkan kecintaannya kepada masjid.
Maka dari urgensi fungsi dan peran masjid ini, sebagai kader IMM sudah selayaknya tidak membatasi diri untuk datang ke masjid. Datang ke masjid bukan hanya sekedar datang seperti halnya tamu, melainkan datang untuk memfungsikan masjid secara optimal seperti kegiatan dakwah dan pengembangan umat. Minimal mampu memfungsikan masjid yang ada dikampung halamannya masing-masing atau masjid dekat kampus/komisariat sebagai pusat institusi spiritual skaligus membentuk akhlak yang mulia.
Dengan demikian basis gerakan dakwah IMM melalui memakmurkan masjid dapat terbentuk secara nyata, terutama dalam mengaktualisasikan nilai Trilogi IMM yaitu keagamaan, kemahasiswaa dan kemasyarakatan. Sebagai organisasi gerakan Mahasiswa memang sudah sepantasnya IMM tidak membatasi diri dengan masyarakat dan sebagai organisasi yang bernafaskan Islam IMM tidak melupakan jati dirinya untuk dekat dengan masjid.
Oleh karena itu, dengan menjadikan masjid sebagai basis gerakan IMM, merupakan sebuah ikhtiar yang agung bagi gerakan mahasiswa berbasis Islam. Terutama dalam membangun masyarakat yang ideal, melalui memakmurkan masjid yang didasari atas ketaqwaan kepada Allah Swt dan meneladani Rosulullah Saw. Sebab perintah untuk memakmukan masjid juga dijelaskan dalam Qs. At-Taubah ayat 18 yang berbunyi:
اِنَّمَا يَعْمُرُ مَسٰجِدَ اللّٰهِ مَنْ اٰمَنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِ وَاَقَامَ الصَّلٰوةَ وَاٰتَى الزَّكٰوةَ وَلَمْ يَخْشَ اِلَّا اللّٰهَ ۗفَعَسٰٓى اُولٰۤىِٕكَ اَنْ يَّكُوْنُوْا مِنَ الْمُهْتَدِيْنَ
Artinya: Sesungguhnya yang memakmurkan masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta (tetap) melaksanakan salat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada apa pun) kecuali kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk.
Reformulasi Perkaderan di Era Gen-Z
Perkaderan merupakan proses pembelajaran yang dilakukan kader dalam kehidupan baik ketika masih ber-IMM atau ketika sudah diluar struktural IMM. Secara filosofis perkaderan di IMM merupakan bentuk perkaderan yang dilakukan oleh Rosulullah Saw yakni menanamkan nilai-nilai Islam secara kaffah dan merubah kesadaran sehingga timbul kesadaran al-syaksyiah faal fadli (habluminallah dan habluminnas).
Sejatinya esensi dari perkaderan yang ada di IMM adalah terpenuhinya kebutuhan intelektual, emosional dan spiritual kader. Secara substansial arah perkaderan yang ada di IMM bertujuan untuk menciptakan sumber daya manusia yang memiliki kapasitas akadmik yang memadai, sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan zaman yang berakhlakul karimah, dengan proyeksi sikap individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki komiten perjuangan dakwah amar ma’ruf nahi munkar.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa perkaderan merupakan hal yang sangat urgen dalam organisasi sebab perkaderan merupakan sarana pendidikan untuk menciptakan kader yang progresif. Namun agaknya kalau kita amati akhir-akhir ini perkaderan yang ada hanya dimaknai sebagai program ritualistik yang terbatas pada DAD, DAM atau perkaderan pendukung yang dibuat oleh cabang/komisariat. Tentu hal ini merupakan kesalahan besar, sebab tujuan sejati dari perkaderan adalah pemantapan ideologi dan menyiapkan pemimpin yang kompetitif di kemudian hari.
Maka dalam hal ini diperlukan penyadaran ulang bahwasanya perkaderan di IMM sejatinya diarahkan pada upaya transformasi ideologis dalam bentuk pembinaan dan pengembangan kualitas kader. Dalam tahapannya arah perkaderan diakumulasikan pada proses regenerasi kepemimpinan IMM disetiap level pimpinan baik komisariat, cabang, daerah atau pusat. Secara sederhananya seorang pimpinan di IMM memiliki kewajiban untuk mengupayakan terpenuhinya kebutuhan kader baik dalam hal ideologis maupun intelektual sebagai representasi dari substansial perkaderan.
Tentu proses pengkaderan yang demikian dapat terjalankan melalui pemaksimalan program kerja yang diarahkan pada peningkatan kualitas kader, maka sudah sepantasnya seorang pimpinan di IMM memiliki visi arah gerak yang terukur dan tepat sasaran. Sehingga esensi dari perkaderan dapat bejalan semestinya terutama dalam menjawab kebutuhan kader yang kian kompleks.
Selain melakukan reposisi dalam hal substansial dan esensial, perkaderan juga memerlukan dinamisasi dengan kebutuhan zaman. Dimana objek kita hari ini adalah masyarakat yang memiliki karakteristik yang berbeda, yaitu generasi Z. Generasi ini merupakan generasi yang lahir diantara tahun 1995 sampai dengan 2010. Pada umumnya generasi ini memiliki kecenderungan yang lebih pada dunia maya dan teknologi. Sehingga banyak yang berasumsi bahwa generasi ini lebih kreatif, cerdas, dan mudah beradaptasi. Disisi lain tak sedikit pula yang beranggapan generasi ini pragmatis, individualis, karbitan dan lain-lain.
Disamping itu kelahiran generasi Z pun disambut megah oleh perkembangan teknologi dan informasi yang begitu pesat. Sehingga menjadikan karakteristik kader sedikit berbeda dengan kader yang sebelum-belumnya. Tentu dari perkembangan teknologi dan informasi ini menjadikan kader generasi Z lebih mudah beradaptasi dengan zaman salah satunya beradaptasi dengan budaya hedonism dan pragmatism dari barat.
Sehingga dari kondisi yang demikian agaknya IMM mengalami sedikit kebingungan dalam menentukan model perkaderan yang sesuai. Hal ini yang kemudian menjadikan stagnasi pada perkaderan di IMM. Menurut hemat penulis upaya untuk mengatasi stagnasi perkaderan sejatinya sudah dilakukan akan tetapi hanya berdasarkan asusmsi/emosional individu. Dari sinilah kemudian perkaderan IMM belum mampu menjawab tantangan zaman. Tentu perkaderan IMM perlu melakukan transformasi guna menemukan strategi yang tepat agar meningkatkan kualitas perkaderan. Akan tetapi transformasi ini dapat menjadi sebuah keniscayaan apabila tidak adanya rumusan pengelola sumber daya manusia yang adaptif dan progresif yang berbasis riset (research). Sebab tanpa adanya riset, yang terjadi adalah hanya rumusan-rumusan yang berlandasakan asumsi belaka bukan data.
Dalam hal ini penulis hanya ingin menekankan, bahwasanya untuk menemukan metode perkaderan yang tepat sesuai dengan kebutuhan kader di era generasi Z diperlukan kajian ilmiah secara sistematis dan terarah, sehingga upaya mengentaskan stagnasi perkaderan dapat diformulasikan secara tepat dan akurat dalam rangka mendukung terciptanya perkaderan yang berkualiatas.
Dengan segala persoalan yang ada ini maka sebagai kader IMM sudah semestinya untuk bergegas berdiri, terutama dalam mengatasi segala problem-problem yang ada secara kolektif. Penulis menyadari bahwa tulisan ini memang belum sempurna. Akan tetapi dengan adanya aksentuasi ide dari apa yang penulis tuliskan ini semoga dapat memberikan afirmasi positif bagi laju perkaderan IMM kedepan, wabil khusus bagi perkaderan di IMM Kudus.
Billahi fi sabilil Haq fastabiqul Khoirot
“Perkaderan ibarat kita menanam tanaman, jika ada sebuah tanaman tidak mekar jangan langsung salahkan bibitnya, bisa jadi lingkungan disekitarnya tidak mendukung dia untuk bertumbuh, begitu juga dengan kader, apabila kualitas kader tidak dapat berkembang bisa jadi ada yang salah dari lingkungannya”.