Oleh Nuruz Zaman – Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus
Ramadhan telah tiba. Bulan yang penuh rahmat dan ampunan, dimana semua kebajikan akan dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT. Di bulan ini kita dianjurkan memperbanyak membaca al Qu’ran dan beramal saleh. Karenanya, banyak yang memanfaatkan untuk bersedekah, berbagi takjil, menggelar buka puasa bersama dan berbagai amal kebajikan lainnya.
Puasa dimaknai sebagai pengendalian diri. Dilansir dari Muhammadiyah.or.id, Shiyam menurut bahasa: menahan diri dari sesuatu. Shiyam menurut istilah: menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual suami isteri dan segala yang membatalkan sejak dari terbit fajar hingga terbenam matahari dengan niat karena Allah.
Kepada diri sendiri, umat Islam diperintahkan mengendalikan hawa nafsu. Terhadap orang lain, kita dianjurkan untuk bersedekah dan berbagi.
Namun, tidak jarang puasa yang seharusnya menjadi sarana peningkatan kualitas diri dan penyucian jiwa justru menjadi ajang pemborosan. Alih-alih mendatangkan manfaat dan keberkahan, di bulan puasa kita justru menghadirkan kemudharatan.
Sahur dan buka puasa yang seharusnya dimanfaatkan untuk mengisi dan memulihkan energi selama berpuasa, justru menjadi ajang pemborosan dan perilaku berlebihan. Buka puasa dilakukan tidak hanya untuk memenuhi asupan gizi, namun lebih ke menuruti hawa nafsu dan memenuhi keinginan mulut.
Ada satu tradisi menarik di Indonesia saat Ramadhan, yakni berburu takjil untuk berbuka puasa. Para penjaja makanan tersebar di banyak tempat, menawarkan beragam jajanan yang menggugah selera.
Lantaran kondisi lapar dan haus, tak jarang para pemburu takjil ‘lapar mata’, membeli dalam jumlah banyak. Sayangnya saat disantap, tak jarang apa yang mereka borong tidak habis dan berujung menjadi sampah makanan.
Pada tahun 2023, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (kini Bernama Kementerian Lingkungan Hidup/ Badan Pengendalian Lingkungan Hidup) merilis bahwa timbulan sampah di bulan Ramadhan justru tercatat naik 20%, Sebagian besar dikarenakan jumlah sisa makanan dan sampah kemasan.
Sampah makanan adalah sampah organik yang dapat menghasilkan gas metan jika tidak dilakukan proses pengolahan dengan baik. Gas metan merupakan gas rumah kaca yang memiliki dampak pemanasan sekitar 30 kali gas karbon dioksida.
Permasalahan terjadi manakala sampah organik tercampur dengan sampah anorganik. Umumnya sisa makanan dimasukkan dalam kemasan plastik dan dibuang dalam keadaan tercampur, sehingga sampah organik tidak dapat terurai sepenuhnya.
Permasalahan bau, vektor penyakit dan sebagainya yang sering diasosiasikan dengan sampah terjadi karena tidak dilakukan pemilahan sebelum dibuang.
Di Kudus sendiri saat ini sedang terjadi darurat sampah. TPA Tanjungrejo tidak lagi mampu menampung sampah yang dihasilkan masyarakat Kudus. TPA ini dibangun pada tahun 1991 dengan umur perencanaan 25 tahun. TPA Tanjungrejo memiliki luas 5,6 hektare dan saat ini sudah melampaui umur perencanaannya.
Di sisi lain, timbulan sampah yang dihasilkan masyarakat terus meningkat, saat ini diperkirakan mencapai 150 ton per hari. Sebagian besar diantaranya adalah sampah organik yang seharusnya bisa ditangani di rumah masing-masing jika dilakukan pemilahan sejak awal.
Upaya sederhana yang dapat kita lakukan untuk mewujudkan Ramadhan Minim Sampah antara lain (1) Menyediakan menu sahur dan berbuka puasa tanpa berlebih-lebihan; (2) Membawa wadah sendiri saat membeli takjil, sehingga mengurangi sampah kemasan; (3) Menghindari kemasan sekali pakai saat membagikan takjil atau menyajikan menu buka puasa bersama; dan (4) Melakukan Gerakan sedekah sampah.
Bulan puasa adalah saat yang tepat untuk memulai gerakan kesadaran lingkungan dengan bertanggungjawab atas sampah yang dihasilkan. Mari kita mencegah, memilah, dan mengolah sampah sejak dari rumah. Selamat berpuasa!