Oleh: Budi Hastono
Pengajian akbar yang diselenggarakan oleh Panitia Muktamar ke 48 dengan mengundang Ustadz kondang, ‘Dr. H. Adi Hidayat, Lc, MA’, pada Sabtu, 08 Oktober 2022 di gedung edutoriuam Ahmad dahlan UMS meriah dan menggembirakan. Dihadiri lebih dari 15.000-an jamaah suasana Edutorium begitu riuh ketika Ustad Adi Hidayat mengemukakan “Ada kader-kader Muhammadiyah yang berkiprah di bangsa dan negara, jadi Dubes, Jadi menteri, InsyaAllah harus ada jadi presiden dari kader Muhammadiyah, mesti ada!”.
Kalimat tersebut beliau sampaikan pada jam ke 2:08:01 hingga 2:08:12 pada tayangan live streaming youtube TV UMS dengan judul [LIVE] Tabligh Akbar Semarak Muktamar 48 Muhammadiyah ‘Aisyiyah. Pertanyaanya apakah mungkin Muhammadiyah memiliki represntasinya untuk menjadi pemimpin tertinggi negeri ini?. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah Muhammadiyah dengan nilai-nilai yang dimilikinya sudah mampu untuk menjadikan kadernya menjadi presiden?
Kiprah Manusia Muhammadiyah
Kita akan menyebut Ki Bagus Hadikusumo sebagai representasi Muhammadiyah sebagai kader bangsa, sebuah peran krusial pada masa kemerdekaan awal yang mana beliau menjadi representasi muslim untuk berunding menentukan kemana arah negara ini akan bergerak. Kita akan menyebut Prof. Amien Rais, yang menjadi salah satu motor bergeraknya demokrasi Indonesia dari orde baru menuju reformasi, yang mana beliau menjadi seorang ketua MPR di masanya.
Pun kita tak bisa meninggalkan nama Jenderal Besar Soedirman yang menjadi garda terdepan pertahanan pejuang Indonesia, jika kita mundur ke belakang nama Presiden Soekarnopun dapat kita beri irisan dengan Muhammadiyah atas keterlibatannya saat diasingkan dan beliau menjadi bagian dari pendidikan di Muhammadiyah.
Kita tidak bisa mengabsen satu per satu nama kader Muhammadiyah yang berkiprah menjadi kader bangsa dalam kontestasi politik baik di legeslatif, Yudikatif maupun Eksekutif, saya kira itu sudah mafhum dan begitu rupa banyaknya. Hanya, mungkinkah ada seseorang yang menjadi representasi Muhammadiyah dan akan menjadi presiden?
Muhammdiyah tidak berpolitik Praktis
Muhammadiyah secara lembaga memang menasbihkan untuk tidak ikut dalam arus politik praktis, sekalipun kader-kader Muhammadiyah diperkenankan menjadi bagian dari politik praktis itu. Hal tersebut kiranya menjadi alasan kader muhammadiyah banyak yang ogah bergerak dan berkecipung di dunia politik, karena warga muhammadiyah begitu senangnya berbagi dan menyembunyikan kebaikannya, tentunya berbalik dengan umumnya para kader partai politik yang membutuhkan kebaikannya untuk dilihat sebagai citra diri sebagai pendulang suara, ini hanya opini bukan fakta!
Muhammadiyah pernah menghasilkan Khittah Denpasar di tahun 2002, sebagai garis perjuangan yang tidak terpisahkan dari Khittah tahun 1971, yang memberi ruang bagi gerakan Islam ini untuk berkiprah dalam partisipasi kebangsaan tanpa terjebak pada politikpraktis.
Pada poin ke tujuh Khittah Denpasar disebutkan; (7) Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada setiap anggota Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara; (Berita resmi Muhammadiyah, hlm 194)
Diteruskan pernyataan pada poin ke delapan yang menyatakan bahwa; (8) Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah). keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar; dan (Berita resmi Muhammadiyah, hlm 194).
Dari kedua point Khittah Denpasar mengenai sikap politik dalam Muhammadiyah, kita simpulkan Muhammadiyah memberikan kebebasan kepada kader untuk berpolitik praktis, namun apa garansinya bahwa kader Muhamamdiyah yang berpolitik Praktis masih membawa misi dan kepentingan yang sejalan dengan Muhammadiyah?
Maka dari itu Muhammadiyah perlu menyiapkan kader-kadernya untuk memiliki kapasitas sebagai ahli politik yang ulung, bahkan mungkin Muhammadiyah harus membuat kelas-kelas kepemimpinan yang khusus menyiapkan kadernya agar memiliki pengetahuan, kemampuan, dan karakter agar mampu melalui rimba liar politik praktid dan menjadi politikus dengan gaya Muhammadiyah.
Presiden dari Muhammadiyah itu sulit!
Sulit membayangkan adanya presiden dari tubuh Muhammadiyah, jika kita mengenal hirarki kader dalam Muhammadiyah yakni simpatisan, anggota, kader, pimpinan. Maka, kita harus mulai memetakan dari hirarki ini siapa dari mereka yang mungkin mampu di jadikan sebagai Presiden, yang memiliki irisan kuat sebagai manusia Muhammadiyah.
Simpatisankah, anggota Muhammadiyahkan dengan tanda KTA nya, Kaderkah yang tentunya telah melalui berbagai fase perkaderan di Muhammadiyah, atau mereka yang menjadi Pinpinankah yang tentunya secara kapasitas standar organisasi mereka layak dan tepat menjadi seorang pemimpin. Siapa dan jenis manusia muhammadiyah yang mana? Mari kita coba bayangkan terlebih dahulu.
Kesulitan selanjutnya adalah bagaimana seorang Muhamamdiyah dapat dicalonkan menjadi Presiden? Tentunya aturan bakunya ada di undang-undang Pemilihan Presiden dan wakil presiden yang mana calon presiden harus diajukan oleh partai atau gabungan partai, bahkan lebih sulit lagi dengan minimal 20 persen kursi keanggotaan di DPR, sulit dan sangat sulit. Sebagai persyarikatan yang berbasis massa harusnya Muhammadiyah memiliki basis massa yang loyal, banyak dan dapat diperhitungkan, sayangnya basis massa ini belum memberikan kabar yang membahagiakan jika dilihat dari seberapa banyak kader Muhammadiyah yang saat ini duduk di legeslatif, jika di ranah legeslatif saya kita sering kalah, bayangkan jika masuk ke konstestasi calon presiden, sepertinya sulit!, sekali lagi sepertinya sulit.
Jadi membayangkan adanya Manusia Muhammadiyah yang menjadi presiden menjadi sangat anomali jika dilihat dari sikap resmi Muhammadiyah tentang politik praktis, minimnya kelas politik yang dibuat Muhammadiyah untuk menyiapkan kadernya masuk politik praktis, dan juga tentunya dilihat dari peraturan pencalonan presiden yang harus melalui partai politik. Atau mungkinkah ada sejumlah kader Muhammadiyah mengusahakan munculnya calon presiden dari jalur independent? Maka solusinya adalah Amandemen Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 yang menyebut bahwa, pasangan calon presiden/wapres diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilu. Sepertinya memang harus jihad konstitusi terlebih dahulu. Sulit, sulit, sulit!