Opini

Potret Immawati: Catatan Pasca Musyda XX IMM Jawa Tengah

Mahfudh Ali Haidar*

Beberapa hari yang lalu, IMM Jawa Tengah telah menyelenggarakan Musyawarah Daerahnya yang ke-20. Tentu pertama-tama saya ucapkan selamat. Namun, bagi saya Musyda IMM Jateng kemarin itu masih menyisakan tanda tanya. Saya cukup kaget ketika mengetahui bahwa tak satu pun IMMawati IMM Jateng yang menjadi Formatur Terpilih. Bahkan setelah saya amati lebih lanjut, kalau tidak salah juga tidak ada satu pun IMMawati yang terdaftar sebagai Calon Formatur dan begitu pula untuk Calon Ketua Umum. Hal ini menimbulkan perdebatan di benak saya, karena bagi saya ini sesuatu yang serius. Ironi, karena tahun ini Jawa Tengah terutama Surakarta akan menjadi tuan rumah Muktamar ‘Aisyiyah.

Pertanyaan pertama muncul, mengapa tidak ada satu pun IMMawati yang menjadi Formatur? Mungkinkah karena tidak ada satu pun IMMawati yang mau berorbitasi ke DPD? Rasa-rasanya kok tidak mungkin, pikir saya masa iya dari seluruh Cabang yang ada kok tidak ada satu pun yang bersedia. Kalau pun itu benar, maka kenapa sampai tidak ada satu pun IMMawati yang mau berorbitasi ke DPD?

Barangkali ada IMMawati yang mau berorbitasi dan ini cuma soal hitung-hitungan pragmatisnya saja. Biasanya calon yang populis akan memiliki peluang terpilih lebih besar. Lantas pertanyaannya, apa iya tidak ada IMMawati yang populis? Atau ini soal kualitas? Saat Sidang Formatur, para Formatur Terpilih dituntut untuk saling berdebat dan pandai-pandai lobbying. Lalu, apa iya tidak ada IMMawati yang jago berdebat dan lobbying? Saya rasa tidak juga, ada kan IMMawati yang hobby pegang megaphone?

Ah, mungkin bukan karena itu semua, bisa jadi juga mungkin karena memang tidak ada IMMawati Kader Madya di IMM Jateng. Lalu mengapa bisa sampai tidak ada IMMawati Kader Madya? Kalau ini yang terjadi, seharusnya hal ini jadi tamparan keras sih bagi Cabang-cabang yang tidak secara rutin menyelenggarakan DAM.

Saya sendiri pernah punya pengalaman menjadi fasilitator upgrading PC IMM Kota Surakarta selama 3 periode berturut-turut ke belakang. Pada upgrading tersebut saya diminta bicara soal Keorganisasian dan Perkaderan. Khusus soal perkaderan, sebenarnya saya berpesan agar PC IMM Kota Surakarta menjadikan DAM sebagai prioritas dan menyelenggarakannya di Semester Ganjil. Namun dari ketiganya, menurut saya tak satu pun yang menjadikan DAM sebagai prioritas.

Baca juga :  Bias Narasi TDj: Catatan untuk Kompas dan Tempo

Kalau lihat kalender tiga periode ke belakang, kita akan tahu bahwa Pimpinan Cabang justru lebih berprioritas pada LID, Schonapol, SoT, Diksuswati, PM3, LAMO, dll. Akhirnya DAM pun tidak terlaksana, atau syukur-syukur terlaksana seminggu sebelum Musycab. Hmm.. Saya pun bingung, ini sebenarnya yang Perkaderan Utama tuh yang mana? Lantas yang Perkaderan Pendukung tuh yang mana? Jangan-jangan selama ini DAM tuh cuma Perkaderan Pendukung saja.

Yah, begitulah kebanyakan Cabang-cabang kita. Konsep perkaderan tingkat Cabang, tidak se-clear konsep perkaderan tingkat Komisariat yang tersusun jelas. Hal ini berlaku linear ke tingkat Daerah dan Pusat, misalnya saat kita bicara soal DAP. Kadang-kadang saya pun bingung, apa sih hasil dari workshop-workshop perkaderan kita itu? Sebatas pengamatan saya, sejauh ini yang terbilang rutin menyelenggarakan DAM adalah Cabang-cabang di DIY.

Menengok Tetangga

Sebagai sebuah refleksi, di tulisan ini saya mengajak para pembaca mari kita menengok tetangga, misalnya KOHATI HMI dan KOPRI PMII. Terlepas dari problem-problem internal organisasi, hal yang tak kalah menarik dibahas waktu berlangsungnya Kongres HMI adalah bagian Munas KOHATI (Munaskoh). Tahun lalu di Surabaya misalnya, kita bisa melihat bagaimana kader-kader KOHATI saling berdebat satu sama lain. Bahkan sempat juga ada insiden pengambilan palu sidang. Mereka saling berdebat, tak mudah mengalah sampai argumentasinya benar-benar diakomodir oleh Presidium Sidang. Begitu pula saat Kongres PMII, kader KOPRI PMII beradu makalah dan gagasan dalam diskusi-diskusi panel untuk memperebutkan kursi Ketum KOPRI PB PMII.

Pada internal Muhammadiyah sendiri, tentu kita tahu betapa meriahnya penyelenggaraan musyawarah ‘Aisyiyah-Nasyiatul ‘Aisyiyah dari mulai Muktamar hingga Musyran di daerah-daerah. Kita juga bisa melihat bagaimana ulama-ulama ‘Aisyiyah turut berkontribusi dalam setiap Munas-munas Tarjih Muhammadiyah. Berbekal literatur jurnal dan Hadits yang cukup, beliau-beliau menyusun pedoman fikih bagi warga Persyarikatan. Sebut saja Fikih Difabel hasil dari Munas Tarjih Muhammadiyah tahun 2020 yang tim penyusunnya diketuai oleh Prof. Alimatul Qibtiyah (Ketua LPP PP ‘Aisyiyah, anggota MTT PP Muhammadiyah).

Hal seperti di atas, nampaknya jarang kita dengar di IMM. Terakhir kali saya mendengar peristiwa semacam ini di IMM adalah tahun 2012. Lebih tepatnya adalah saat Musykom IMM FKIP UMS, dimana IMMawati Suci Nor Afifah, IMMawan Budi Hastono, IMMawan Adhitya Yoga Pratama dan IMMawan Harnanto Prasgiyardi beradu argumen dalam debat Calon Ketua Umum PK IMM FKIP UMS. Waktu itu yang dikukuhkan Musykom sebagai Ketum PK IMM FKIP UMS periode 2012-2013 adalah IMMawati Suci. Setelah periode itu, pemilihan Ketum ditentukan oleh Formatur Terpilih hingga tahun 2018.

Baca juga :  BPIP Harus Dibubarkan

Satu-satunya Ketum PC IMM perempuan yang bisa saya ingat adalah IMMawati Masita, yakni Ketum PC IMM AR Fakhruddin periode kemarin. Seingat saya, saya juga belum pernah ketemu ada Ketum PC IMM di Jawa Tengah yang IMMawati. Kalau HMI dan PMII, saya ingat ada Yunda Dini Arfiani Ketum PC HMI Sukoharjo mahasiswa FKIP UMS angkatan 2010 seangkatan dengan IMMawati Suci. Sementara itu, PC PMII Kota Surakarta sudah dua kali berturut-turut ini Ketua Umumnya seorang perempuan, ada Sahabati Najih dan Sahabati Putri. Benar-benar tabu nampaknya hal ini di IMM.

Korps IMMawati

Saya menilai, problem IMM ini tak cukup diselesaikan dengan cara kultural belaka, harus ada intervensi secara struktural. Kalau kita amati, ada benang merah yang jelas antara KOHATI HMI, KOPRI PMII, dan ‘Aisyiyah. Apakah itu? Ketiganya adalah lembaga yang sama-sama bersifat khusus dan otonom dari badannya yang utama. Eksistensi KOHATI HMI dan KOPRI PMII secara eksplisit tercantum dalam AD/ART masing-masing (AD/ART HMI dan AD/ART PMII). Sehingga bisa dibilang bahwa KOHATI HMI dan KOPRI PMII adalah lembaga yang “wajib” ada di setiap jenjang struktural. Pembubaran kedua lembaga itu secara nasional pun harus melalui Kongres (dengan jalan menghapuskan pasal terkait yang ada di AD/ART). Kedudukan mereka berbeda dari lembaga-lembaga lain, serta saling co-eksisten dengan badan utamanya yakni HMI dan PMII.

‘Aisyiyah pun juga demikian. Qoidah Organisasi Otonom Muhammadiyah membagi Ortom Muhammadiyah menjadi 2 jenis, yakni Ortom Khusus dan Ortom Umum (Pasal 3 Ayat 1 dan 2). Ortom Khusus Muhammadiyah adalah ‘Aisyiyah, sementara Ortom Umum adalah selain ‘Aisyiyah. Jelas bahwa ‘Aisyiyah pun juga memiliki posisi yang berbeda dari Ortom-ortom lain Muhammadiyah. Baik KOHATI HMI, KOPRI PMII, ataupun ‘Aisyiyah juga memiliki mekanisme permusyawaratannya sendiri untuk menentukan garis-garis organisasi serta memilih Ketumnya sendiri.

Struktur IMM tidak begitu, IMM nyaris tidak punya lembaga. IMM hanyalah terdiri dari Bidang-bidang yang pada dasarnya masih terbilang satu tubuh. Ini menyebabkan Bidang IMMawati berposisi setara dengan Bidang-bidang lain di IMM, sehingga tak memiliki kewenangan khusus. Apalagi biasanya struktur Bidang juga hanya ditopang oleh 3 komponen, yakni Ketua, Sekretaris dan Anggota. Secara fungsional, hal ini sama sekali tidak efektif jika dibandingkan dengan struktur Lembaga yang mampu membentuk Divisi-divisi di bawahnya.

Baca juga :  Perdalam Wawasan Riset: Kader RPK IMM Malaysia Kunjungi ISEAS Singapura

Oleh karena itu pada Musycab IMM Kota Surakarta tahun 2016, untuk pertama kalinya ada wacana pengadaan kembali Korps IMMawati serta penghapusan Bidang IMMawati di Komisi C. Penghapusan itu dimaksudkan agar posisi Bidang IMMawati digantikan oleh Korps IMMawati sebagai Lembaga Otonom yang langsung bertanggungjawab kepada Pimpinan Umum. Saya masih ingat hal ini karena kebetulan saya sendiri yang bertugas sebagai Badan Pekerja Komisi C, serta kebetulan juga ada demisioner Ketum IMMawan Adhitya Yoga Pratama sebagai salah satu anggota Komisi C kala itu.

Kalau hal tersebut disepakati, maka berlaku integral Bidang IMMawati Pimpinan Komisariat pun juga akan digantikan Korps IMMawati. Akhirnya peserta Sidang Komisi C justru memilih untuk tetap mengadakan Bidang IMMawati sekaligus juga mengadakan Korps IMMawati. Namun posisi Korps IMMawati bukan sebagai Lembaga Otonom, melainkan sebatas Lembaga Semi Otonom di bawah Bidang IMMawati. Anggota Komisi C beranggapan kalau butuh step untuk mencapai penggantian itu. Mereka berharap agar proses penggantian ini dilanjutkan pada Musycab-musycab berikutnya, ntah kapan bisa berhasil. Seperti yang kita tahu, hal itu tak pernah terwujud hingga sekarang, ya karena peserta Musycabnya sudah berganti orang.

Terakhir, untuk itu saya mendorong agar wacana di atas dihidupkan kembali. Menggantikan Bidang IMMawati dengan Korps IMMawati yang berposisi sebagai Lembaga Otonom bersifat khusus. Kemudian juga menyelaraskan sistem perkaderan IMMawatinya, misalnya syarat menjadi calon Ketua Korps IMMawati tingkat Cabang selain harus DAM juga harus sudah Diksuswati. Seperti Ketua KOHATI HMI tingkat Cabang yang harus LK II sekaligus LKK (Latihan Khusus KOHATI), dan Ketua KOPRI PMII yang sudah harus SKK (Sekolah Kader KOPRI).

Kajian-kajian gender harus bersifat aplikatif, maka solusinya adalah melakukan intervensi struktural. Saya percaya pendekatan struktural-fungsional ini sedikit banyak akan mengurai kebuntuan IMMawati. Selamat menyelenggarakan Diksuswati bagi PC IMM Kota Surakarta, jangan lupa DAM-nya. Wallahu a’lam.


*Mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *