Opini

Perspektif Muhammadiyah Terhadap Isu Agraria

Oleh : Ahmad Nurfaizin

Muhammadiyah adalah gerakan sosial dan Pendidikan yang berlandaskan Islam yang didirikan pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan di Kauman, Yogyakarta. Muhammadiyah sebagai Gerakan social telah memainkan peran penting dalam membentuk landasan bermasyarakat sosial, budaya, dan politik di Indonesia. Muhammadiyah memiliki sejarah panjang dalam memajukan pendidikan, kesejahteraan sosial, dan pengembangan masyarakat. Salah satu bidang penting yang kini menjadi fokus Muhammadiyah adalah bidang agraria. Bidang agraria di dalamnya terkandung sebuah, yaitu Hukum agraria, yang juga dikenal sebagai hukum pertanahan, berkaitan dengan aturan dan peraturan yang mengatur kepemilikan, penggunaan, dan pengalihan tanah.

hukum agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai agraria. Agraria ini meliputi bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya bahkan dalam batas-batas yang ditentukan, serta mengenai ruang angkasa ( dalam Boedi Harsono, op.cit, hal 8). Pemerintah Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk mereformasi hukum agraria, tetapi kemajuannya lambat, dan masalahnya tetap kompleks dan menantang.

Muhammadiyah, sebagai organisasi Islam, memiliki sebuah cara pandang yang unik terhadap masalah ini, yang didasarkan pada nilai-nilai agama dan sosialnya.
Permasalahan agraria yang ada di Insdonesia yang mana dalam dua tahun terakhir data yang di peroleh dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) terjadi pelaporan terkait sengketa agraria 1078 kasus dengan rincian 538 kasus terlapor pada tahun 2021 dan 540 kasus terlapor pada tahun 2022.

Kasus kasus tersebut terjadi beriringan dengan terjadinya pembangunan yang massif dalam beberapa tahun kebelakang yang kadang mengabaikan masalah HAM dari masyarakat sipil. Satu permasalahan yang sering terjadi adalah masalah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumberdaya agraria khususnya lahan yang menyangkut masalah penguasaan, kepemilikan, dan pengusahaan lahan.

Baca juga :  Dakwah Bil Hal dalam Organisasi Muhammadiyah

Kondisi tersebut telah menyebabkan ketimpangan pada pemanfaatan, diikuti perbedaan tingkat kesejahteraan antara masyarakat yang mempunyai akses dan yang tidak mempunyai akses terhadap sumber daya lahan, khususnya pada masyarakat agraris di daerah pedesaan yang mana diketahui bahwa Sebagian besar masyarakat bekerja di sector pertanian dan menurut data BPS 40 juta masyarakat Indonesia berkerja di sector pertanian yang tentu erat kaitannya dengan tanah.

permasalahan agraria diatas disebabkan oleh beberapa hal antaranya kurang memadainya peraturan terkait agraria serta kepentingan golongan golongan elit yang mana hal tersebut menjadi penyebab terjadinya permasalahan agraria di Indonesia yang mana seharusnya sumber sumber daya yang terkait hajat orang banyak harusnya dimiliki oleh negara yang di dalamnya ada sumber daya tanah serta air yang juga menjadi pokok permasalahan yang di atur dalam hal perundang undangan agraria.

Sumber daya alam tadi yang berupa tanah dan air tersebut harusnya dikelola oleh negara yang hasil akhirnya nanti dikembalikan kepada masyarakat agar kehidupan masyarakat bisa terjamin dan makmur bukan malah sunber daya tadi dimiliki oleh segelintir orang yang nantinya hanya menguntungkan bagi beberapa orang saja bukan untuk memenuhi hajat orang banyak.

Secara umum dalam islam juga sudah melakukan pengaturan terkait agraria seperti yang Nabi Muhammad SAW. mencontohkan dalam hal tata kelola agraria sejak zaman ketika Rasulullah Hidup dan tetap dilestarikan ddi zaman khulafaur rasyiddin. Mengenai perihal kepemilikan tanah, di dalam al-Quran tidak menjelaskannya secara eksplisit, namun hanya menetapkan hak manusia untuk mengelola, menanami dan memiliki hasil produksinya (Abdul Jalil, 2000: 43).

Baru kemudian di jelaskan di dalam fikih bahwa kepemilikan tanah tersebut diperoleh dari Istila, yakni penguasaan melalui perang, pembebasan, atau cara pendudukan lain tanpa kekerasan dan Kedua Istiqrar, yakni penguasaan melalui pewarisan secara turun temurun atau alih milik dari orang lain dengan jual beli, dan lain sebagainya (Tolchah Hasan,1994:87). Sehingga pada masa Rasulullah, prioritas utama atas kepemilikan sebidang tanah pada masa itu berada di tangan pemerintah, dan selanjutnya diperuntukkan untuk individual. Karenanya pemerintah dapat menghadiahkan, membatasi maupun menarik kepemilikan sebidang tanah dari seseorang sesuai dengan kemaslahatan masyarakat.

Baca juga :  Lagu Perjuangan dalam Ancaman Populisme

Hak-hak atas tanah fikih membaginya ke dalam dua macam; (1) Tanah yang dapat dimiliki oleh pribadi (haqqu al-tamlik), dan; (2) tanah-tanah yang diatur oleh pemerintah untuk kepentingan umum, yang disebut dengan al-Hima. Di masa Nabi Muhammad, terlaksana pula kebijakan pembagian tanah dari tanah terlantar, dan penetapan tanah untuk kepentingan umum. Semisal ketika Rasulullah saw membagikan tanah kepada Zubair RA. sebagaimana hadist yang disampaikan dari Asma’ binti Abu Bakar RA. bahwa Rasulullah SAW telah memberikan kapling tanah kepada Az-Zubair ra di Khaibar, yang di dalamnya terdapat pepohonan dan kebun kurma. Begitupun juga terhadap Abu Tsalabah al-Khusyani ra, Rasulullah saw memberikan tanah kepadanya dengan menyertakan pula surat pengkaplingan tanah.

Kebijakan pemberian tanah juga dilakukan Nabi Muhammad saw kepada orang-orang yang baru masuk Islam. Seperti yang dilakukan Rasulullah saw terhadap pemuka Bani Hanifah, Mujja’ah Al-Yamamah. Di samping membagikan tanah untuk kemudian menjadi hak milik pihak yang diberinya, Nabi Muhammad pun melakukan kebijakan terkait tanah larangan (Hima) untuk kepentingan umum. Rasulullah saw menetapkan hima atas air, padang rumput, dan api. Ketiganya itu merupakan sumber publik atau sumber penghidupan orang banyak, dimana setiap orang mempunyai hak terhadapnya.

Oleh karenanya, Rasulullah saw melarang melakukan privatisasi terhadap ketiganya, dengan alasan agar masyarakat banyak tidak terzalimi. Kebijakan pertanahan yang dilakukan oleh Rasulullah saw, dilanjutkan pula oleh para penerusnya, terutama para sahabat dan khalifah seperti; Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Utsman bin Affan ra, dan Ali bin Abi Thalib ra.

Baca juga :  Belajar dari Tim Besar yang Tumbang

Kisah diatas membuktikan bahwa dari zaman Rasulullah sudah menerapkan konsep bahwa sumber daya yang menyangkut hajat orang banyak di kuasai oleh negera demi kepentingan masyarakat secara umum sehingga sumber sumber daya tersebut bila di kuasai secara individu berpotensi dalam mendzalimi masyarakat lainnya.

Muhammadiyah sebagai gerakan sosial tentu tidak luput dalam menangani masalah agraria tersebut dengan berupaya menyusun fiqih agraria sebagai salah satu usaha dalam melakukan reformasi agraria secara berlandaskan islam. Fiqih Agraria berisi beberapa hal hal penting terkait permasalahan agraria yang ada di Indonesia. Fiqih Agraria ini berisi 6 pokok penting yang tergantung di dalamnya yaitu tauhid, akhalkul karimah, kemaslahatan, keadilan, kemanusian, serta musyawarah. enam prinsip tadi di gunakan oleh Muhammadiyah dalam menyikapi permasalahan terkait agraria yang di hasilkan dengan pendekatan pendekatan yang biasa di pakai oleh muhammafiyah yaiutu pendekatan bayani terkait sumber sumber nash nash yang terdapat di Al Qur’an dan as sunnah, Kemudian juga akan mengakamodir problem ini dengan pendekatan burhani. Yang ketiga adalah pendekatan irfani, dimana kita juga mengutamakan kepekaan nurani dalam mengatasi problem agraria.

Muhammadiyah memiliki harapan besar bahwa dengan adanya fiqih Agraria ini bisa menjadi rujukan umat islam terkait permasalahan agraria yang semakin banyak ini yang mana juga di harapakan bisa saling melengkapi dengan peraturan yang sudah di keluarkan oleh pemerintah sehingga bisa terselesaikan permasalahanterkait permasalahan agraria di wilayah Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *