Oleh A. Hilal Madjdi*
Penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri maupun Idul Adha yang beberapa kali berbeda antara Pemerintah dengan beberapa Ormas Islam di Indonesia sebenarnya bukan merupakan sesuatu yg aneh. Tidak pula perlu diperdebatkan. Apalagi jika dilihat dari dasar ilmu yang digunakan, ilmu hisab yang juga dipakai oleh para pihak sebagai rujukan awal penentuan hilal awal bulan sampai pada perhitungan detail gerhana Bulan. Bahwa kemudian muara dari dasar ilmu tersebut menghasilkan luaran yang berbeda dalam penentuan (terutama awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha), itu disebabkan oleh munculnya perbedaan kriteria penetapan hilal yang memang sampai saat ini belum disepakati oleh para ahli.
Menariknya, khalayak dan ummat yang mengalami perbedaan itu tidak lagi meributkan luaran ilmu hisab itu dan menganggapnya sebagai salah satu sunnatullah yang justru memiliki muatan rahmad Sang Khalik.
Namun, sejalan dengan percaturan pemikiran keagamaan dan politik nasional maupun global, muncul pula gerakan sebagian pihak yang memanfaatkan rahmad perbedaan itu untuk membangun narasi-narasi yang bisa memecah belah ummat.
Dinarasikan Buzzer?
Istilah yang paling tepat dan populer untuk menggambarkan oknum yang membangun narasi perpecahan adalah “buzzer”. Suatu perilaku atau mungkin oleh sebagian pelakunya dijalankan sebagai suatu profesi yang dijalani secara sistematis, metodologis dan selalu dengan topik-topik terbarukan.
Dalam konteks profesionalisme, apa yang dilakukan para buzzer dari berbagai kalangan ini menguntungkan dirinya dan pihak yang mendukungnya serta merugikan pihak yang “diserang”. Untungnya, saat ini masyarakat sudah cerdas dan menyadari betul bahwa keberadaan buzzer ini berbahaya bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara dan harus segera dienyahkan dari bumi pertiwi tercinta (hasil survey Kompas).
Keinginan masyarakat untuk mengenyahkan para buzzer ini sesungguhnya tidak sulit. Identitas para buzzer dan “juragannya” ini bisa ditebak. Namun tidak mudah ditindaklanjut dalam ranah hukum karena data-data hukum mengenai siapa dan apa mereka tidak mudah diperoleh.
Begitu pula buzzer yang menarasikan perbedaan yang penuh rahmat menjadi perbedaan yang saling menghujat. Entah siapa dan apa mereka.
Identitas yang Ditahbiskan
Meskipun tidak jelas siapa dan apa identitas buzzer yang mencoba mengolah perbedaan penetapan awal Ramadlan, Idul Fitri dan Idul Adha dan mulai tidak pedulinya masyarakat terhadap “provokasi” mereka, namun dampak secara sosiologis tetap terasa secara “subconsciously” (bawah sadar). Kita bisa merasakan perilaku “subconscious” dalam ekspresi-ekspresi komunikasi di era medsos ini secara vulgar.
Yang dimaksud dengan dampak di sini bukan keteguhan masing-masing kelompok untuk mentaati penetapan dari masing-masing Pimpinan. Sebab ketaatan dan keteguhan itu memang harus dibangun.
Namun implementasi dari kesadaran atas “wajarnya” perbedaan itu belum diwujudkan dalam teks-teks yang secara diskursus melambangkan toleransi terhadap perbedaan itu. Bahkan beberapa kajian akademis tentang kriteria penetapan hilal terkadang terjebak pada narasi yang mendikotomikan secara hitam-putih dua paham yg berbeda.
Bahkan sampai pada hal yang sederhana pun, semisal meng-upload twibon ucapan selamat Ramadlan, Idul Fitri atau Idul Adha, tetap menunggu waktu sesuai hari raya yang dipilihnya. Artinya, yang berhari raya belakangan tidak mengucapkan selamat kepada saudara seimannya yang berhari raya duluan. Tentu secara tekstual hal itu tidak bermasalah, namun secara kontekstual hal itu menunjukkan penajaman atau penasbihan identitas kelompok. Padahal, terhadap teman-teman yang beragama nasrani, ucapan selamat natal terkadang telah disampaikan sehari atau dua hari sebelumnya.
Penyikapan terhadap perbedaan paham keagamaan, menurut hemat saya, masih belum menumbuhkembangkan toleransi inter ummat beragama. Bisa jadi ini seperti orang yang sakit demam, menggigil kedinginan, namun sesungguhnya suhu tubuhnya tidak dingin.
*Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus