Oleh : A. Hilal Madjdi (Ketua PDM Kudus)
*Catatan Musywil Muhammadiyah Jateng periode Muktamar 48
Salah satu fenomena menarik dalam perhelatan akbar Muhammadiyah Jawa Tengah (baca Musywil) adalah ekspresi syukur dan gembira semua anggota musyawarah dan calon pimpinan begitu digital quoting system mengumumkan hasil pemilihan pimpinan. Suatu euphoria tidak lumrah dalam suatu even sekaliber Muywil yang kemudian diacungi “thousand of tumbs” oleh khalayak luas.
Saya sendiri sebagai salah satu dari 39 calon langsung mengucapkan hamdalah dan sujud syukur membaca hasil yang secara cepat terinformasikan kepada publik. Berbahagia dan bersyukur atas dua hal, yaitu atas terpilihnya pimpinan baru dan atas tidak terpilihnya saya pribadi sebagai pimpinan.
Adakah yang aneh ? Samasekali tidak ada. Namun ada suatu dinamika perilaku sangat filosifis dan njawani yang mengemuka dalam even para aktivis organisasi yang beraliran purifikasi al Islam ini, yang bisa dan perlu dicontoh dalam even-even musyawarah Muhammadiyah berikutnya.
Lamun Siro Banter Aja Nglancangi
Sesanti jawa yang pertama kali “diugemi” para purifikator yang nadir di Tegal adalah “lamun siro banter aja nglancangi”. Bermakna menghormati atau menghargai pihak lain yang sama-sama berada dalam barisan organisasi amar ma’ruf nahi munkar ini.
Semua jagoan 39 saling mempersilakan satu sama lainnya untuk maju karena saling merasa yang lain lebih layak dan lebih baik daripada dirinya. Saya sendiri selalu mendorong dan menyodorkan kang Asep (salah satu calon dari eks.kar.Pati) untuk maju karena saya pandang beliau lebih muda dan lebih luas jangkauannya, dan demikian pula sebaliknya.
Masih terpilihnya 5 bintang periode sebelumnya merupakan salah satu indikasi kuat juga, bahwa generasi penerus tidak ingin “nglancangi” meskipun mereka bisa berlari secepat leoprad dan bermanuver segesit singa.
Lamun Siro Mundhi Aja Mateni
Tak bisa disangkal, setiap kandidat pasti memiliki rekam jejak plus dan minus dalam persyarikatan. Sisi negatif tentu lebih mudah disorot pihak lain. Ini bisa dimaknai bahwa pihak lain yang memegang rekam jejak negatif dari kandidat telah memegang kartu truf (mundhi keris) yang bisa saja ditikamkan pada saat menjelang pemilihan atau selama pemilihan.
Namun yang terbangun adalah justru guyonan, kangen-kangenan dan gojlog-gojlogan penuh dengan gelak tawa. Tak satupun ada yang menghunus keris. Tak ada saling ancam dan baku hantam, apalagi lempar kursi.
Nampaknya catatan plus dan minus setiap kandidat hanyalah suatu referensi sederhana untuk memilih dengan pola pikir sederhana. Sebab kehebatan partisipatori di Muhammadiyah sesungguhnya ada pada peran masing-masing individu dalam persyarikatan. Itulah sebabnya mengapa nama mbah H Roemani dikenal dan dikenang secara monumental oleh masyarakat, termasuk masyarakat di luar persyarikatan.
Menang Tanpa Ngasorake
Teriak takbir dan tahmid yang dikumandangkan oleh semua musyawirin dan warga persyarikatan atas terpilihnya 13 pimpinan Wilayah menunjukkan tidak ada pemenang dan tidak ada pecundang. Tentu setelah Musywil tidak akan pernah ada barisan sakit hati atau mutung.
Namun sejatinya tetaplah ada pemenang untuk kepentingan teknis perhitungan. Yang tidak ada adalah pihak yang merasa dikalahkan karena yang tidak masuk 13 pimpinan juga ikut dengan lantang mengumandangkan takbir dan tahmid, bahkan bersujud syukur.
Tak ada yang jumawa, tak ada yang asor. Semua bergembira dan bersukaria sembari memuji keberkahan ilahi. Jadi, siapa yang bilang “wong Muhammadiyah ora njawani” ?