Opini

Para Pencuri Puasa

Oleh Gus Zuhron

Nabi dulu pernah mengatakan bahwa seburuk-buruk pencuri adalah pencuri sholat, lalu para sahabat bertanya “ya Rasulullah apa yang dimaksud dengan itu..?” nabi menjawab “mereka sholat namun kehilangan tuma’ninahnya”. Sholatnya begitu cepat, bacaannya cepat, gerakannya cepat, pokoknya semua serba cepat sampai tidak bisa menikmati sholat yang sebenarnya. Sholat yang seyogyanya menjadi rekreasi spiritual berubah jadi ajang balap yang pemenangnya ditentukan oleh siapa yang tercepat mencapai finis.

Tidak cukup dengan mencuri sholat, ada lagi kelompok yang hobinya mencuri puasa. Para pencuri puasa ini biasanya ditandai dengan enam hal. Pertama, datangnya Ramadhan disikapi dengan perasaan beban dalam menjalankan puasa. Bukan malah bergembira namun sikap yang ditonjolkan adalah rasa keterpaksaan dalam menjalankan ibadah mulia ini. Orang semacam ini adalah mereka yang tidak pernah mampu menyentuh keindahan dan kemuliaan Ramadhan, tidak ubahnya dengan bulan lain yang telah berlalu sebelumnya. Bagi kelompok ini tidak ada bulan istimewa, adanya adalah bulan biasa yang harus disikapi secara biasa pula.

Baca juga :  Raja Midas di Era Modern

Kedua, hobi tidur saat puasa, jenis manusia yang berpegang pada hadits palsu “tidur saat puasa adalah ibadah”. Hadits ini jelas bertentangan dengan dalil lain yang menekankan produktivitas amal dikala Ramadhan. Tidur yang proporsional tentu tidak dilarang justru sangat dianjurkan, namun mengubah jam tayang menjadi kebanyakan tidur pertanda hobinya adalah mencuri pahala puasa. Ketiga, bikin gaduh. Salah satu yang dilarang nabi dalam sabdanya adalah menciptakan kegaduhan saat ramadhan tiba, menciptakan permusuhan dan bentuk aktivitas lain yang menjadikan suasana Ramadhan tidak diliputi kedamaian.

Keempat, berkata kotor dan dusta. Bagi sebagian orang berkata kotor itu seperti reflek yang secara otomatis muncul manakala menjumpai satu peristiwa dihadapannya yang tidak sesuai dengan alam pikirannya. Bukankah baginda nabi pernah bersabda “jika tidak bisa berkata baik maka diamlah”. dalam riwayat lain bahkan di katakan “barangsiapa tidak suka menghentikan perkataan dan perbuatan dusta, maka bagi Allah tiada gunanya ia meninggalkan makan dan minum.” Puasa namun tetap berkata kotor, puasa namun hobinya berdusta, yang semacam ini hanya akan menjumpai lapar dan haus namun tidak menghadirkan kebermanfaatan.

Baca juga :  Anggota UPP Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus, Selamat Bekerja!

Kelima, menyimpan dendam dan enggan memaafkan. Sikap ini jelas bertentanga dengan do’a yang senantiasa dilantukan اللَّهُمَّ إِنَّكَ عَفُوٌّ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Artinya, “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, dan Engkau suka memberi maaf, maka maafkan aku.” Hanya orang-orang yang berjiwa besar yang mampu memaafkan kesalahan orang lain. Hanya mereka yang bermental paripurna yang merasa tidak hanya orang lain yang bersalah namun dirinya sendiri juga menyimpan banyak kesalahan. Oleh karenanya perlu untuk koreksi dan mawas diri agar lahir jiwa pemaaf dan menghalau rasa dendam yang berkelanjutan.

Keenam, melakukan perbuatan yang sia-sia. Menghabiskan waktu bermain HP, main game, sibuk di medsos, hobi melihat status tetangga adalah bagian dari perbuatan yang sia-sia. HP dan laptop memang media pendukung dalam banyak aktivitas, namun jika proporsi penggunaanya tidak tepat bisa mendatangkan banyak kemudhorotan.

Baca juga :  Impian Kembar ke Negeri Sakura

Setiap Muslim yang masih diberi kesempatan untuk kembali bertemu dengan Ramadhan tandanya kebaikannya belum paripurna. Masih banyak sisi gelap, kosong, hampa dan terbengkalai dari kehidupannya yang belum termanfaatkan sepenuhnya untuk jalan kebaikan. Hal ini mestinya harus disadari bersama agar momentum mulia ini tidak sekedar berlalu dengan rutinitas. Bukankah dulu para sahabat 6 bulan sebelumnya terlah berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan dan berdoa 6 bulan setelah Ramadhan agar amalnya diterima.

Jika iman kita tidak setebal sahabat nabi, tidak ada jaminan masuk syurga, hisab masih menegangkan, timbangan amal masih menghawatirkan, sudah selayaknya menjadikan momentum Ramadhan untuk sesuatu yang lebih produktif dan bernilai kebaikan untuk bekal di hari kemudian. Kebiasaan menelantarkan Ramadhan untuk sesuatu yang tidak bermanfaat harus mulai diubah, agar visi hidup menjadi lebih bermakna. Apabila hal itu dapat dilakukan maka kita bukanlah golongan para pencuri puasa.

WASPADALAH….

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *