Oleh : H. Nunu Anugrah P, S.Pd.,S.T.,M.Pd. Ketua PC Muhammadiyah (PCM) Pabuaran Kab. Cirebon
Di setiap menjelang perhelatan Muktamar, penulis teringat kenangan menjadi penggembira Muktamar Muhammadiyah ke-42 di Yogyakarta tahun 1990. Waktu itu penulis hadir ke kota gudeg, ketika kelas 3 SMP. Kami siswa/i SMP Muhammadiyah Ciledug Kab. Cirebon berangkat menuju Yogyakarta menggunakan Kereta Api (dua gerbong) dari stasiun pemberangkatan Ciledug Kab. Cirebon jam 14.00 dan tiba di Stasiun Lempuyangan-Yogyakarta sekitar pukul 22.00 WIB.
Kami semua (sekitar 160 an) menginap di ruang kelas SMA Muhammadiyah Prambanan, dan selanjutnya keesokan harinya menuju Stadion Mandala Krida untuk menyaksikan pembukaan Muktamar, walaupun kami hanya berada di luar, tapi itulah pengalaman yang sangat berkesan.
Tentu banyak cerita dan kesan ketika perjalanan naik kereta api dari Ciledug ke Lempuyangan, ketika memginap di SMA Muhammadiyah dan ketika berada di Yogyakarta yang tidak dapat kami tulis di sini.
Penulis merasa bersyukur dapat mengenyam pendidikan di sekolah Muhammadiyah, sehingga ketika kelas 3 SMP bisa menyaksikan Muktamar Muhammadiyah yang ke-42.
Di Muktamar ini lah Pak AR (K.H. AR Fachrudin) menolak dicalonkan kembali menjadi Ketua Umum PP Muhammadiyah setelah mengemban amanat sebagai Ketua Umum PP selama 22 tahun (terlama sepanjang sejarah persyarikatan).
Di Muktamar ke-42 ini lah terpilih K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 1990-1995. Pak AR lah yang memberi tauladan, sebagai ulama sepuh dan kharismatik memberi kesempatan kepada tokoh yang lebih muda untuk memimpin organisasi Muhammadiyah.
Dan terbukti tokoh yang tampil menggantikan Pak AR adalah K.H. Ahmad Azhar Basyir, M.A. seorang ulama lulusan Univ. Al-Azhar Kairo seorang fuqoha (ahli fiqih) yang mengajar di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Di samping seorang fuqoha Kyai Ahmad Azhar Basyir juga seorang ahli filsafat yang mengajar mata kuliah Filsafat Agama di Universitas Gadjah Mada. Kyai Azhar Basyir lah satu-satu nya ulama yang mewakili Indonesia di lembaga ulama Organisasi Konferensi Islam (OKI).
Pak AR telah memberi teladan dengan tidak bersedia memimpin Muhammadiyah dan memberi kesempatan figur lain untuk tampil.
Sekarang penulis merenung, andai saja Pak Harto (Presiden Suharto) mau mencontoh sikap Pak AR, dengan tidak bersedia dipilih kembali pada Sidang Umum MPR 1993 atau 1998, dan memberi kesempatan kepada tokoh lain untuk memimpin bangaa ini, mungkin Pak Harto tidak akan didemo oleh ribuan rakyat dan mahasiswa pada bulan Mei 1998.
Wallahu a’lam