Oleh : Syahirul Alem – Pustakawan SMP Muhammadiyah 1 Kudus
Turunnya Al-Qur’an adalah sebagai mukjizat Nabi Muhammad SAW pada seluruh umat manusia. Al-Quran diturunkan sebagai rahmat pada alam semesta dengan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Sebagai khalifah membutuhkan seperangkat pengetahuan untuk mengelola bumi ini supaya tetap seimbang dan bermanfaat bagi kehidupan anak cucu. Dalam Al-quran surat Al-Baqoroh disebutkan Al-Qur’an adalah hudan linnas. Sebagai petunjuk merupakan peta jalan untuk membimbing dan mengarahkan manusia menuju kebaikan hidup.
Pertama kali Al-Qur’an turun di muka bumi di terima Nabi Muhammad SAW pada bulan Suci Ramadhan sebagai pertanda Alquran merupakan kitab suci yang akan terus terjaga kesuciannya layaknya bulan Suci Ramadhan. Tidak akan pernah tangan-tangan usil yang mampu merubah redaksi Al-qur;an satu hurufpun. Ayat yang pertama kali turun di muka bumi ini adalah Iqro’ artinya bacalah. Ungkapan bacalah dalam konteks saat ini, bisa dipahami sebagai dialektika bagaimana membaca berbagai gejolak lingkungan dengan pesan-pesan Al-quran terkait dengan suatu peristiwa.
Kerusakan lingkungan yang makin parah sudah dihadapan manusia baik itu kerusakan dalam skala global seperti mencairnya es di kutub, makin terbukanya atmosfer bumi, turunnya permukaan daratan akibat pemanfaatan sumber-sumber air mineral secara perlebihan. Juga kerusakan dalam skala mikro seperti longsornya tanah, bedahnya tanggul sungai dan sebagainya, di mana musibah dalam skala apapun telah berdampak begitu besar kerugiannya. Oleh sebab itu penting sekali menumbuhkan sikap ekologi spiritual sebagai upaya untuk menjaga lingkungan supaya tetap eksis dan sehat kembali. Ekologi spiritual di sini merupakan implementasi nilai-nilai keimanan yang diwujudkan dalam bentuk ikhtiar untuk menjaga dan merawat alam semesta yang diamanatkan pada manusia sebagai khalifah di muka bumi.
Bencana demi bencana yang terjadi secara kasat mata merupakan ulah tangan manusia yang salah urus dalam mengelola lingkungan. Sumber-sumber mata air di dalam kerak bumi yang di eksploitasi sedemikian rupa telah berdampak makin menciutnya permukaan daratan. Ekologi spiritual bukan berarti menumbuhkan semangat baru dinamisme ataupun animisme yang justru makin menjauhkan nilai-nilai keimanan, ataupun menjadikan tumbal sesaji dalam bentuk hewan untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan dalih kearifan lokal. Ekologi spiritual tumbuh dari semangat ayat-ayat Al-Qur’an dalam menjaga keseimbangan ekologi. Alquran secara intens mengingatkan berbagai kerusakan di lautan maupun daratan akibat ulah manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar-Rum ayat 41.
Artinya: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Surat Ar-rum ayat 41).”
Prinsip dari ekologi spiritual adalah selalu mengajak individu ataupun sekelompok umat manusia senantiasa menjadikan lingkungan sebagai bagian dari implementasi nilai-nilai keimanan.
Nuzulul Qur’an akan selalu menjadi pengingat akan amanah lingkungan yang diserahkan pada manusia sebagai khalifah di muka bumi ini. Kenapa momentum Nuzulul Qur’an kali ini harus dikaitkan secara spesifik dengan isu-isu lingkungan karena berbagai problem pelik dari kehidupan ini yang asal narasinya berawal dari tata kelola lingkungan yang amburadul.
Merajalelanya kemiskinan saat ini, awal mulanya dari kerusakan lingkungan seperti makin langka dan mahalnya kebutuhan dasar seperti beras yang terus naik. Sawah dan irigasinya telah berubah drastis akibat makin berkurangnya lahan persawahan yang akhirnya menjadi lingkungan perumahan sehingga mengurangi produksi beras. Selain itu lahan yang ada masih dihadapkan pada problem mahalnya pupuk, sehingga hasil panen tidak sebanding jumlah penduduk Indonesia. Termasuk juga berbagai tanaman yang mendukung ketahanan pangan seperti cabe bawang maupun lombok selalu dihadapkan pada peralihan musim yang tidak menentu, sehingga memunculkan hama yang sulit untuk dimusnahkan.
Peringatan malam Nuzulul Qur’an di masjid-masjid sebagai bentuk rasa syukur yang dimanifestasikan dalam bentuk keimanan terhadap kitab suci Al-Qur’an. Nilai-nilai keimanan tersebut bisa diimplementasikan secara spesifik dalam bentuk menjaga keseimbangan ekologi. Ekologi disini bisa juga dalam bentuk keseimbangan lingkungan sosial dan juga menjaga keasrian panorama alamnya sebagai bagian dari rutinitas kehidupan. Alam hadir untuk memberi sumber penghidupan pada manusia dan mahluk lainnya. Sebagaimana Allah SWT menurunkan air hujan ini untuk menghindarkan bumi dari kekeringan. Namun air hujan yang turun justru menjadi malapetaka yang menyebabkan banjir yang menenggelamkan rumah-rumah penduduk di sekitarnya.
Satu hal yang sangat menarik adalah sosok Almarhum Mbah Maridjan yang mengingatkan sering batuknya merapi karena ulah tangan manusia, sosok Mbah Maridjan bisa dikatakan mempunyai kesalehan lingkungan, kesederhanaannya itu merupakan bagian dari jati diri kehidupannya untuk melestarikan alam sekitar merapi, sehingga ketika larva gunung merapi meluncur Mbah Maridjan duduk sambil bersujud menghadap sang khalik. Sosok manusia seperti Mbah Marijan tepat lahir di lingkungan sekitar kita yang negerinya dikatakan sebagai paru-paru dunia. Bagaimana mungkin negara yang dipandang sebagai bagian dari paru-paru dunia justru mengalami berbagai bencana. Oleh karena itu sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim adalah kesempatan bagaimana menjadikan wahyu Al-Qur’an ini sebagai sumber pegangan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Ayat-ayat tentang keseimbangan lingkungan terus dikaji dalam bentuk sebuah kajian lingkungan secara intensif sehingga menumbuhkan kesadaran bahwa alam ini berhak untuk hidup dan di hargai.
Sejarah pernah mencatat banjir bandang zaman Nabi Nuh yang meluluhlantahkan lingkungan akibat ulah manusia yang tidak percaya ajaran-ajaran wahyu yang disampaikan Nabi Nuh AS sehingga Allah SWT menurunkan banjir bandang yang menewaskan manusia yang selalu bersikap dholim. Allah swt perintahkan Nuh membuat kapal dan memasukkan hewan saling berpasangan dan juga pepohonan dari berbagai jenis sebagaimana di jelaskan dalam Surat Hud ayat 40. Dari ayat tersebut dapat diambil hikmahnya ketika Allah swt menghukum umat manusia karena kekufurannya. Allah swt masih mengasihani hambanya yang beriman yaitu dengan memerintahkan berbagai jenis hewan dan tumbuhan tetap hidup untuk kebaikan alam dan sekitarnya.
Ekologi spiritual penting diimplemantisakan sebagaimana Nabi Nuh AS mengisi kapalnya dengan muatan berbagai hewan dan pepohonan tanpa memandang jenis hewan tersebut karena hewan tersebut juga layak hidup di ekosistemnya. Sumber pangan baik protein, karbohidrat dan mineral untuk menjaga tubuh manusia juga berasal dari lingkungan alam. Namun kini sumber makanan yang natural justru tersisih oleh makanan yang serba cepat saji, Dominasi zat-zat kimia dalam makanan yang diproduksi secara continue menjadikan manusia acuh tak acuh terhadap sumber makanan natural yang lebih alami.
Wahyu yang pertama kali turun sebagai pertanda Nuzulul Qur’an adalah surat Al-Alaq, yang menyuruh manusia untuk membaca dan menyebut nama Allah SWT sebagai sang pencipta. Artinya segala pengetahuan hidup di mulai dari membaca yaitu membaca yang tujuaan nya untuk mengagungkan asma Allah SWT. Dalam konteks ekologi bahwasannya membaca disini juga merupakan bagian iktiar untuk selalu waspada terhadap gejala erosi lingkungan dengan senantisa mempelajari penyebabnya sebagai upaya untuk menjaga lingkungan supaya tetap ramah dan memberi efek manfaat. Bila musim penghujan adalah hujan yang menumbuhan segala tumbuhan akibat kekeringan demikian juga apabila musim kering bukan kekeringan yang berkepanjangan yang membuat manusia susah mendapat air bersih. Masih terlintas dibenak kita bagaimana saat musim kemarau sumber air menjadi kering yang mengakaibatkan air harus di beli dengan uang yang tidak sedikit. Saat ini di saat musim penghujan justru banjir dimana-mana sampai-sampai menutup jalan utama nasional jalur pantura Kudus-Demak.
Tinggal manusianya apakah merasa nyaman hidup dalam ketidaknormalan lingkungan akibah ulah manusia itu sendiri. Maka dari itu memperingati momentum Nuzulul Qur’an mari bangkitkan semangat untuk senantiasa menjaga keharmonisan lingkungan. Di mulai dari diri sendiri untuk menjaga bagaimana lingkungan ini senantiasa asri.
Kelestarian lingkungan bukan lagi menjadi misi cerdas para penggiat lingkungan tapi juga seluruh elemen masyarakat dengan memanfaatkan momentum Nuzulul Qur’an dan juga bulan suci Ramadhan, sebagai sarana untuk menggugah hati setiap insan manusia supaya terangkat derajatnya menjadi manusia yang bertaqwa di sisinya. Sebaik-baik manusia yang beruntung hidup di dunia dan akhirat. Semoga momentum Nuzulul Qur’an sebagai pesan-pesan wahyu tentang kelestarian lingkungan bisa dicerna sebagai pondasi dalam menggiatkan kesalehan lingkungan sebagai wujud ekologi spiritual. Karena darurat lingkungan membutuhkan ketaletanan dalam bentuk kesalehan spiritual sebagaimana wahyu Allah swt tentang alam dan sekitarnya.