Oleh Dr. Utomo, M.Pd.
Di negeri ini, kreativitas tidak pernah mengenal batas. Segala sesuatu bisa dioplos, dicampur, dan dikombinasikan hingga menghasilkan sesuatu yang baru—entah itu lebih nikmat atau justru mematikan. Dari warung pinggir jalan hingga kursi-kursi kekuasaan, oplosan telah menjadi budaya yang mengakar kuat.
Mari kita mulai dari yang menyenangkan. Kreativitas kuliner kita patut diacungi jempol. Siapa yang tak kenal rujak soto? Perpaduan antara kesegaran rujak dan kuah gurih soto yang menciptakan rasa unik di lidah. Atau oplosan teh, di mana berbagai jenis daun teh diracik menjadi minuman yang harum dan menenangkan. Para ahli kuliner terus bereksperimen, menciptakan keajaiban rasa dari hasil pencampuran bahan-bahan yang sebelumnya dianggap tak mungkin disatukan.
Tapi tidak semua oplosan berakhir dengan nikmat. Ada oplosan mematikan yang mencabut nyawa tanpa ampun. Di sudut-sudut kota, minuman keras oplosan beredar luas. Alkohol murahan dicampur dengan methanol dan cairan pembersih, lalu dijual kepada mereka yang ingin mabuk dengan harga murah. Hasilnya? Ratusan nyawa melayang setiap tahun, meninggalkan tangis keluarga yang kehilangan orang tercinta.
Tak hanya itu, di negeri ini juga ada oplosan di ranah politik. Kabinet pemerintah pun tak luput dari budaya oplosan—kombinasi kepentingan lama dan baru dalam satu paket kebijakan. Menteri-menteri yang dulunya saling serang kini duduk berdampingan, bukan karena kesamaan visi, tetapi demi keseimbangan politik. Lebih parah lagi, terkadang ada oplosan antara koruptor dan agamawan, menciptakan wajah pemerintahan yang tampak suci di permukaan, tetapi busuk di dalam.
Dan jangan lupa tentang BBM oplosan, mahakarya yang menelan triliunan rupiah uang negara. Program subsidi yang awalnya dirancang untuk membantu rakyat kecil malah dioplos dengan kepentingan elite, bocor ke sana kemari, memperkaya segelintir orang. Sementara itu, rakyat yang harusnya menikmati harga BBM terjangkau justru tetap tercekik oleh biaya hidup yang makin mencekik.
Namun, tak hanya itu, ada pula oplosan investasi dan kepentingan pribadi. Proyek-proyek besar dengan janji investasi fantastis sering kali menjadi ladang bancakan segelintir orang. Investor asing diberi karpet merah, tetapi rakyat sendiri hanya kebagian debu jalanan. Infrastruktur yang dibangun bukan untuk kepentingan publik, melainkan untuk memperkaya segelintir elite dan kroninya. Di atas kertas, semua tampak mewah, tetapi di baliknya penuh dengan komisi gelap dan negosiasi di balik layar.
Yang lebih mencengangkan adalah oplosan fatwa dan legalisasi korupsi. Di negeri ini, kebenaran bisa disesuaikan dengan kepentingan. Fatwa bisa dicetak sesuai pesanan, disesuaikan dengan siapa yang membayar lebih. Dulu, korupsi dikutuk habis-habisan, tetapi kini ada yang menyebutnya “rezeki yang tidak disengaja.” Ada juga yang berfatwa bahwa mengkritik penguasa adalah dosa, tetapi menutup mata terhadap kezaliman adalah ibadah.
Sementara itu, aturan hukum pun bisa dioplos demi melanggengkan kepentingan. Yang korupsi ratusan miliar cukup dihukum ringan, bahkan kadang hanya direhabilitasi. Yang mencuri ayam demi bertahan hidup malah dihajar habis-habisan. Dalam negeri oplosan, hukum tak lagi menjadi panglima—melainkan hanya racikan kepentingan yang bisa diubah seenaknya.
Begitulah negeri ini, negeri di mana segala sesuatu bisa dioplos. Dari makanan hingga kebijakan, dari hiburan hingga pemerintahan. Memang benar-benar Negeri Oplosan.