Oleh: Muhammad Irhas Muflih, S.Pd/ Pengasuh Rumah Tahfidz Baitul Arqom, Boyolali
Nasehat adalah mengajak sesuatu kepada kebenaran, dan mencegah dari hal yang rusak (almausu’ah al kuwaitiyah 19:176). Ada hal yang harus diluruskan jika itu melenceng dari sendi agama. Tidak semua orang melakukan sesuatu dengan sempurna atau segala hal pasti ada celah dalam hal apapun. Missal fulan melakukan sesuatu yang salah, maka kewajiban seorang yang didekatnya mengajak kembali pada kebenaran. Namun jika belum sampai melakukan perbuatan salah, kewajiban kita adalah menahannya untuk melakukan. Sesuatu yang keliru tidak boleh dibiarkan. Kalau dibiarkan maka itu akan menjadi sesuatu yang lumrah.
Nasihat dikatakan juga sebagai keihlasan, kebenaran, pertimbangan dan perbuataan. Memberikan apapun dengan Ikhlas (al Mausu’ah Al Kuwaitiyah 26:279). Artinya diniatkan untuk Allah SWT, tidak ada niat lain ketika kita memberikan sesuatu kepada oranglain. Selain Ikhlas juga perlu memperhatikan yang hal yang disampaikan itu benar. Jika itu sesuatu yang salah bisa jadi merugikan orang yang kita nasehati, bahkan merugikat orang-orang sekitarnya. Kalua kiranya sesuatu yang akan disampaikan benar, maka hal selanjutnya adalah mempertimbangkan apa itu perlu disampaikan. Jangan sampai ketika menyampaikan si fulan dalam keadaan marah, maka hal disampaikan pun sia-sia. Atau disampai dengan menyinggung, tentu si pendengar enggan untuk menerimanya. Setelah ketiganya terpenuhi maka harus ada aksi, Langkah yang dilakukan setelah semuanya sudah disampakan dengan baik. Dalam hal ini tentunya tidak langsung dilakukan sepenuhnya. Jika ia orang awam maka kerjakan dari yang kecil dahulu.
Nasihat menjadi penting bagi siapa pun. Bahkan jika seseorang akan mengalami kerugian jika tidak pernah mendapatkan nasihat satu pun.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Demi masa, sesungguhnya manusia benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal salih, serta saling menasehati dalam kebenaran dan saling mensehati dalam kesabaran.
Sudah sangat jelas disampaikan dalam surat tersebut. Manusia pasti rugi. Siapa pun itu. Namun ada yang dikecualikan. Yaitu orang beriman, beramal salih dan nasehat menasehati baik dalam kebenaran dan kesabaran.
Nasehat selalu merujuk kepada sesuatu hal yang positif. Tidak dinamakan nasihat jikalau hal tersebut menunjukan pada keburukan dan kerusan. Kebenaran dan kesabaran merupakan dua kata positif. Tentunya melakukan kebenaran akan membuahkan hal yang baik bagi pelakunya. Dan jika sabar dalam hal kebenaran tersebut, maka cepat atau dalam jangka lama sesuatu yang baik pun akan juga dirasakan olehnya.
Agama adalah nasehat. Sering mendengar ayat tersebut. Al qur’an berisi nasehat, hadits demikian. Makanya pedoman utama umat Muslim adalah keduanya, al Qur’an dan al Hadist. Orang tua menasehat anaknya, guru menasehati muridnya, pelatih menasehati atlitnya. Makanya nasehat menjadi sesuatu kebutuhan bagi semuanya.
Namun sering hal kita sadar ketika sedang mendengarkan nasehat dalam suatu kajian, setelahnya kita melupakan semuanya yang disampaikan. Semua orang kata Ibnul Jauzi dalam menerima nasehat tidak dalam kondisi yang sama. Ada dua kondisi (Shaidul Khotir). Pertama, seperti cambukan. Sakitnya itu ketika dicambuk. Setelah cambukan selesai maka ia tidak merasakan lagi sakitnya dicambuk. Sakit itu masih ada tapi hilang perlahan. Kedua, mendengarkan dengan santai. Kelompok ini cenderung sadar ketika dinasehati, dan melapas segala hal yang berkaitan dengan kesibukan duniawi. Namun setelah ia kembali dengan kesibukannya, maka datang padanya kelalaian.
Semuanya merasakan hal yang sama, tapi ada yang bertekad kuat dengan nasehat yang telah diterimanya. Dikalangan sahabat pun demikian, seperti yang dirasakan sahabat Handzalah.
Dari Hanzhalah Al-Usayyidi. Beliau termasuk juru tulis Rasulullah saw. Hanzhalah mengatakan, “Abu Bakr menemuiku dan bertanya, “Apa kabarmu wahai Hanzhalah?” Hanzhalah menjawab “Hanzhalah telah berbuat kemunafikan.’ Abu Bakr menimpali, “Mahasuci Allah, apa yang engkau katakan?” Hanzhalah berkata, “Ketika kami berada di sisi Rasulullah lalu beliau mengingatkan kami akan Neraka dan Surga, maka seakan-akan kami melihat Neraka dan Surga dengan mata kepala. Namun jika kamı telah keluar dari Sisi Rasulullah pencaharian kami, maka kami banyak lalai.” kami pun mengurusi istri-istri, anak-anak, dan mata Abu Bakr mengatakan, “Demi Allah, sesungguhnya kami juga mengalami hal semacam ini.” Hanzhalah dan Abu Bakr beranjak pergi menemui Rasulullah: Hanzhalah telah berbuat kemunafikan, wahai Rasulullah.” Hanzhalah berkata, Rasulullah bertanya Mengapa demikian?” Hanzhalah berkata, “Wahai Rasulullah! Ketika kami berada di sisimu, engkau mengingatkan kami tentang Neraka dan Surga, sampai seakan-akan kami melihat dengan mata kepala. Namun, jika kami sudah keluar dari sisimu, kami pun mengurusi istri-istri, anak-anak, dan mata pencaharian kami, sehingga kami sering lalai.” Rasulullah bersabda, “Demi Dzat Yang jiwaku berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya keadaan kalian senantiasa seperti saat berada di sisiku dan selalu berdzikir, niscaya malaikat akan menjabat tangan kalian meskipun kalian sedang di atas ranjang-ranjang kalian dan di jalan-jalan kalian. Tetapi, wahai Hanzhalah, ada saatnya demikian (serius mengingat akhirat) dan ada saatnya demikian (santai dengan urusan dunia).”
Rasulullah menyabdakan hal itu tiga kali. (HR. Muslim: 2750)
- Al mausu’ah al fiqhiyah
الكتاب: الموسوعة الفقهية الكويتية
صادر عن: وزارة الأوقاف والشئون الإسلامية – الكويت
الطبعة الثانية، دارالسلاسل – الكويت
- Shoidul khothir, Ibnul Jauzi
الكتاب: صيد الخاطر
المؤلف: جمال الدين أبو الفرج عبد الرحمن بن علي بن محمد الجوزي (المتوفى: 597هـ)
الناشر: دار القلم – دمشق
الطبعة: الأولى
1425هـ – 2004م