oleh : Wildan Sule Man*
Wilujeng ahad saudara, semoga tetap semangat, sehat dan senantiasa dalam lindungan gusti Allah. Saya berharap pula, hari ini dan seterusnya saudara dalam keadaan gembira dan bahagia, bahagia yang mungkin karena putra putri saudara naik kelas setelah menempuh ujian kenaikan kelas. Bahagia sebab saudara naik pangkat karena prestasi kerja keras dan kerja cerdas, atau bahagia karena saudara naik gaji, Apalagi jika saudara seorang pegawai negeri, saya yakin anda akan senantiasa berbahagia berkat kata “naik” ini.
Ada Cerita bahwa dulu tatkala pegawai negeri bernama PNS, singkatan itu diplesetkan oleh ahli humor, bahwa gaji mereka PNS “Pasti Naiknya Sedikit”, walau sedikit yang penting naik, namun jangan khawatir naiknya gaji itu akan selalu konsisten sebab seiring berubahnya singkatan PNS menjadi ASN, apa itu?, yakni gaji mereka ASN “Akan Selalu Naik”. Kita doakan kepada para pegawai semoga itu bukan plesetan tapi kenyataan dimana gaji akan selalu naik, semoga tambah rejekinya, tambah barokahnya, rajin sedekahnya, dan jangan lupa segera daftar Haji. Melaksanakan rukun islam yang kelima ketanah suci Makah Al Mukaramah.
Masih membahasan tentang kata “naik” maka tak lepas dari ibadah haji, khusunya di Nusantara ini, kenapa ibadah haji lebih populer dengan sebutan “naik” haji. Jika kita mencoba meminjam bahasa budaya, mereka yang pergi haji khususnya haji Indonesia setidaknya memiliki tiga pengalaman yang berhubungan dengan “naik”. Apakah itu? mari kita coba mengulasnya.
“Naik” yang pertama, adalah pengalaman naik pesawat terbang, bisa kita bayangkan bagaimana calon haji yang dari desa serta petani kluthuk itu, yang belum pernah menginjak bandara apalagi naik pesawat terbang, bisa menikmati naik maskapai penerbangan internasional, satu kloter dengan para eksekutif dan pejabat yang sarat pengalaman, naik ke angkasa mengudara bersama menuju tanah suci, memenuhi panggilan Allah.
“Naik” yang kedua, adalah naik status sosialnya, tampak disana para jamaah haji usai dari tanah suci, simbul kehajiannya akan segera mereka pakai, yang akan diekspresikan melalui sebuah peci putih yang selalu dipakai dikepalanya, serta panggilan khasnya dengan sebutan pak Haji, Mas Kaji, Lik Kaji dan Kang Kaji. Namun perlu dicermati secara seksama, panggilan haji disamping sebagai panggilan status sosial. Ia akan mengingatkan kita untuk berlatih dan bersedia memiliki sifat “kaji”, yakni bila ingin “diajéni” atau disayangi, maka bersiaplah untuk selalu “ngajéni” atau menyayangi orang lain, sebab muara dari amal amal itu akan menghantarkan menjadi manusia yang “kajén” atau Insan yang sarat akan aneka apresiasi karena laku laku kebajikan.
“Naik” yang ketiga, yaitu naik kadar imannya, dan inilah rupanya nilai tertinggi dari ibadah Haji. Para jamaah haji diharap semakin kuat bangunan tauhidnya, bertambah kesabarannya, meningkat syukurnya, akseleratif amal sosialnya, plus keihlasannya, takwanya serta meningkat kesadaran sedekahnya, kesadaran sedekah yang bermakna kesalehan sosial ini mengajak para haji – bila meminjam bahasa ki Petruk dalam jagad wayang- dapat menyandang gelar “kaji kanthong bolong”, alias sosok haji yang saku pakaiannya sengaja dirancang berlobang alias bolong, agar uang yang ada disakunya akan sesegera mengalir keluar baik dalam bentuk infaq, zakat dan Sedekah.
Moga moga kita tergolong ke dalam kalangan yang mendapatkan “naik” dalam artian positif, sebab kita tak ingin mengalami “naik” dalam makna makna negatif. Pertanyaanya, lantas apa itu naik yang benilai negatif?, contoh sederhananya, akan naik tekanan darahnya sebab merasakan harga sembako yang semakin naik. Saya berharap saudara sekalian tekanan darahnya normal normal saja, dengan senantiasa optimis dan bersyukur, dan jangan lupa untuk me “Naik” kan lantunan lantunan doa ke langit atas, melaporkan segala masalah dan keluhkesah pada gusti Allah, asalkan ikhlas, Insya Allah, Dia akan memberikan jalan terbaik untuk hamba hamba-Nya. Wallahu a’lam bishowab. Semanten rumiyin, matur suwun.
Penulis Amatir. Guru MI Ma’arif Grabag 01.