Hendra Hari Wahyudi*
Menyambung artikel “Muhammadiyah Milik Semua”, yang terbit di IBTimes.ID beberapa hari lalu, menyambut pula ‘pesta demokrasi’ Muhammadiyah di Surakarta yang sebentar lagi akan digelar, Muktamar. Ya, istilah ‘pesta demokrasi’ mungkin identik dengan Pemilihan Umum (Pemilu). Namun, moment Muktamar menjadi titik awal Muhammadiyah dalam menyusun strategi kedepan. Bisa jadi, dengan wajah-wajah baru yang mengisi kepemimpinan.
Muktamar menjadi titik awal perkembangan strategi dakwah sebuah organisasi, termasuk Muhammadiyah. Persyarikatan ini sudah amat besar, besar namanya, perannya, pun pula amal usahanya. Namun, beberapa hal perlu adanya perubahan dalam hal gerakan dan pergerakannya. Misal beberapa waktu lalu yang sudah saya bahas terkait kesejahteraan guru-guru Muhammadiyah. Bukan untuk mengulang, namun mungkin menambahi.
Pada pendidik di Amal Usaha Muhammadiyah (AUM), masih banyak yang berpendapatan dibawah kelayakan, bahkan adapula yang tidak sampai 100 ribu Rupiah dalam sebulan. Bayangkan, uang tersebut dibuat mencukupi kehidupan keluarganya tentunya tidak akan cukup. Eits, jangan terburu-buru mengatakan soal berjuang. Konteks perjuangan juga butuh asupan hidup yang layak dan mampu menghidupi anak istrinya. Berjuang ya berjuang, namun berjuang didalam organisasi yang katanya dan disebut-sebut sebagai ormas Islam terkaya didunia ini akan sangat miris jika yang memperjuangkannya dalam keadaan miskin.
Kembali, bukan soal ikhlas dan tidaknya. Saya yakin orang-orang yang berjuang di sebuah organisasi masih banyak yang tulus. Maka, arah perubahan yang mungkin bisa dijadikan pembahasan di arena Muktamar ke-48 nanti adalah Muhammadiyah mendata guru-guru Muhammadiyah yang memiliki pendapatan yang minim. Dalam hal ini bukan berstatus ASN, PNS, atau guru sertifikasi dan inpassing. Jika perlu, Muhammadiyah melalui Majelis Dikdasmen membuat suatu program peningkatan mutu yang nantinya ketika sudah selesai melaksanakan, mereka mendapatkan sertifikat.
Lalu, dari sertifikat tersebut mereka mendapatkan subsidi dana yang dimana dananya diambilkan dari zakat yang disalurkan melalui Lazismu. Kategori apa? Sabilillah. Bukan hanya bingkisan saja, namun sistem atau program yang kontinuitas. Khususnya bagi guru mata pelajaran (mapel) Kemuhammadiyahan (KMD) atau Al Islam dan Kemuhammadiyahan (AIK). Sudah hanya mengampu mapel muatan lokal (mulok), dan itu saja. Maka sudah dipastikan jam tatap mukanya dikelas cuma satu atau dua jam saja. Jadi, gerakan perubahan seharusnya lebih memikirkan hal kesejahteraan guru Muhammadiyah. Mereka mengabdi 5 tahun bahkan lebih, dengan honor yang sama ditengah harga kebutuhan yang makin tahun semakin naik.
Sehingga Muhammadiyah tidak menjadi organisasi yang besar secara nama, namun didalamnya terlihat keropos. Muhammadiyah tidak pula merambah internasional namun juga memperhatikan kehidupan anggota internal. Dan Muhammadiyah mampu melihat kebutuhan di era digital, mungkin dengan membuat struktural secara digital. Karena kebanyakan generasi Z hidupnya didunia maya, maka gerak dakwahnya kudu membuat hal yang baru. Semisal membuat Pimpinan Muhammadiyah di dunia digital, secara resmi dan diakui oleh Persyarikatan. Karena Muhammadiyah juga perlu mewaspadai hal-hal seperti peretasan, dimana negara saja sudah berhasil dibuat ketar-ketir oleh hacker Bjorka. Bayangkan ketika hacker juga menyerang Muhammadiyah, maka data AUM dan organisasi bisa saja berantakan bukan?
Sisi lain yang perlu jadi perhatian adalah isi dari AUM, maksudnya yakni para tenaga yang ada diutamakan adalah kader. Hampir setiap AUM yang membuka rekrutmen menempatkan posisi yang utama dalam syarat adalah soal kemampuan, wajar karena AUM ingin memberikan layanan terbaiknya. Namun, banyak sekali kader-kader yang potensial dan memiliki kapasitas dan kualitas yang tidak kalah. Semisal di sekolah atau rumah sakit, hampir banyak ditempati oleh orang yang bukan kader, bahkan bukan warga persyarikatan. Ini miris sekali, malah cenderung mereka menjadi ‘tamu’ ‘dirumahnya’ sendiri.
Data darimana? Secara data by name by address mungkin perlu diadakan pendataan. Bahkan mereka yang bukan warga Muhammadiyah begitu mudahnya bisa membuat KTAM (Kartu Tanda Anggota Muhammadiyah) demi lolos bekerja di AUM. Ada? Nampaknya ada dan semoga bukan tuduhan. Maka, mereka yang ingin memiliki KTAM harusnya mempunyai sertifikat perkaderan atau surat keterangan dari Ranting tempat domisili yang bersangkutan. Selama ini, suratnya pada form hanya tanda tangan dan stempel dari Cabang Muhammadiyah, akan lebih valid lagi ketika ditambahi surat keterangan atau pengantar dari PRM setempat sebagai syarat. Agar, mereka yang ingin menjadi bagian benar-benar merupakan warga Persyarikatan. Karena nampaknya masuk di Muhammadiyah sangat mudah, namun untuk administratifnya perlu kiranya diperketat. Meski dibeberapa AUM sering mengadakan kegiatan Baitul Arqom sebagai agenda meneguhkan karyawan dan tenaga dalam Bermuhammadiyah, namun rasanya hal itu perlu dilakukan.
Dari awal, mengenai pendidikan di Muhammadiyah, membuat AUM lebih Muhammadiyah. Membuat Muhammadiyah perlu mengembangkan arah dakwah yang lebih menyentuh. Agar tidak sering meresmikan AUM namun orang didalamnya tidak menghidupkan dakwah Muhammadiyah, kesejahteraannya jauh dari kata layak. Maka perlu adanya penyegaran didalamnya dengan memperkuat gerakan, memberikan kesempatan pada para kader-kader muda untuk menduduki kepemimpinan yang tentunya memiliki kapasitas, kualitas, integritas, dan inovatif.
Mengembangkan sebuah aplikasi yang dapat mengakses semua tentang Muhammadiyah, dari KTAM, lokasi AUM, artikel, berita, dan seluruhnya. Dan juga pendataan atau survei warga Muhammadiyah, agar kita tau berapa jumlahnya by name by address. Ditambah lagi, membuat sebuah lembaga pengaduan untuk dirinya sendiri. Semisal dalam sebuah AUM, Pimpinan (PRM, PCM, PDM, bahkan sampai PWM) ada sesuatu yang dirasa tidak sesuai, maka perlu mengadukan hal tersebut. Lalu kemana mengadu? Maka perlu sebagaimana usulan Mas Ahmad Mu’arif melalui akun Facebooknya. “Mungkinkah Muhammadiyah-‘Aisyiyah membentuk lembaga semacam ombusmen untuk menampung aduan kasus di jajaran pimpinan maupun AUM?”.
Semoga hal diatas dapat didengar meski mungkin tidak dijadikan topik dan bahan dalam Muktamar ke-48 esok. Namun, narasi yang banyak memerlukan banyak aksi. Eksekutor aksi tersebut ada pada para pembuat kebijakan, yakni Pimpinan, momennya tepat, saat Muktamar. Dibeberapa Muktamar yang lalu, Muhammadiyah banyak konsen ke permasalahan Bangsa. Harapan untuk Muktamar kali ini, bukan hanya itu, tetapi juga fokus terhadap dirinya sendiri, orang-orang, kader, guru, warga, serta amal usahanya. Bukan hanya persoalan diatas, tetapi mungkin masih asa hal lainnya. Agar Persyarikatan tercinta ini tidak seperti lilin yang menyinari, tapi seakan membakar diri sendiri. Tapi juga kuat dari dalam dirinya sendiri, agar Muhammadiyah tidak hanya memajukan Indonesia dan mencerahkan semesta. Tetapi juga Muhammadiyah itu sendiri.
*Kader Muda Muhammadiyah