Oleh : Syahirul Alem, Sekretaris Majelis Tabligh PCM Kota & Pustakawan SMP Muhammadiyah 1 Kudus
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah, sangat membutuhkan peran dan partisipasi para kadernya untuk menjadi kader dakwah yang akan membesarkan dan menyebarluaskan visi dan misi dakwah Muhammadiyah. Berangkat dari tradisi Muhammadiyah sebagai gerakan modern yang selalu mengedepankan tantangan zaman dan dinamikanya, maka proses pengkaderan dalam tubuh Muhammadiyah lebih ditekankan dalam bentuk amal usaha pengkaderan seperti pendidikan tarjih ulama Muhammadiyah dan juga model pondok pesantren kesiswaan maupun mahasiswa sehingga boleh dikatakan mereka adalah santri-santri yang melekat secara kurikulum baik Al-Islam maupun kemuhammadiyahan dan bisa dikatakan sebagai calon ulama yang memiliki basis keilmuan yang terprogram secara sistematis.
Persoalanya kini secara horizontal Muhammadiyah di akar rumput selalu berhadapan dengan beragam Masyarakat baik pro maupun kontra terhadap gerakan dakwah Muhammadiyah. Dibutuhkan kader-kader dakwah yang mampu menyelami kondisi masyarakat di akar rumput. Agar dinamika Muhammadiyah dari atas ke bawah bisa seirama harus ada persepsi yang sama tentang dakwah Muhammadiyah terhadap berbagai persoalan masyarakat, Hendaknya jangan ada Dikotomi kader mubaligh alumni pesantren Muhammadiyah dan kader simpatisan yang penguasaan keagamaannya bersumber dari luar pesantren Muhammadiyah padahal para mubaligh tersebut fakih dalam keagamaan.
Namun ada satu hal yang perlu kita ingat tentang sejarah KH.Ahmad Dahlan, beliau pertama kali mendapat pengajaran agama secara model sorogan, Sorogan di sini artinnya belajar secara individu di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru sehingga terjadi interaksi Antara keduannya dalam Nur Unbiyati Ilmu Pendidikan Islam (Bandung, Pustaka Setia, 1998). Pada masa itu KH Ahmad Dahlan belajar mengaji Al-Qur’an dan dasar-dasar ilmu Agama Islam dari KH Abu Bakar. Kemudian KH. Ahmad Dahlan belajar pada KH Muhammad Shalih selaku kakak iparnya tentang ilmu fiqih. Kepada KH Muhsin, beliau belajar nahwu selain itu juga beliau belajar ilmu falak pada KH. Abdul Hamid menantu kiai Saleh Darat Semarang (sumber: Suara Muhammadiyah) semuannya beliau lakukan sebelum pergi ke Makkah.
Komitmen pada nilai-nilai perjuangan Muhammadiyah merupakan komitmen bagi santri sebagai kader Muhammadiyah dalam memperjuangkan gerakan Muhammadiyah itu sendiri. Termasuk gerakan dakwah, keberadaan santri berbasis kurikulum merupakan santri Muhammadiyah yang di didik di lembaga pendidikan Muhammadiyah maupun ponpes Muhammadiyah yang biasanya masih satu lingkungan dengan lembaga pendidikan Muhammadiyah. Kelebihan santri berbasis kurikulum adalah sebagai kader dakwah yang akan memperjuangkan brand Muhammadiyah pada segenap lapisan masyarakat.
Sedangkan santri sorogan merupakan santri yang belajar agama melalui model tatap muka langsung dengan sang guru persis seperti gambaran KH Ahmad Dahlan dulu atau mungkin dalam bentuk clasikal, keberadaan santri sorogan seperti ini sangat langka ditemui dalam kader persyarikatan tapi bukan berarti tidak ada sama sekali. Boleh dikatakan santri sorogan belajar di pesantren-pesantren yang di asuh oleh para ulama-ulama yang ingin menularkan keilmuannya dengan mendirikan podok pesantren yang secara structural bukan di bawah koordinasi pesantren Muhammadiyah. Nilai lebih dari santri sorogan tersebut adalah punya basis keilmuan yang baik terutama ilmu-ilmu klasik seperti nahwu,shorof, ushul fiqih dan balaghoh. Sehingga dari santri sorogan terbentuk kader-kader Muhammadiyah yang mapan secara keilmuan dan lewat kader seperti itu Muhammadiyah sangat dihargai ketokohannya terutama ke ulamaannya.
Sudah saatnya dalam seabad Muhammadiyah, Muhammadiyah harus mulai berhitung terhadap kuantitas dan kualitas kader dakwah. Secara kuantitas jelas bagi Muhammadiyah keberadaan kader-kader santri sebagai agen dan ujung tombak Muhammadiyah dalam berdakwah di ranting-ranting, secara kualitas barangkali keberadaan kader santri berbasis kurikulum dan sorogan terdapat model pendekatan permasalahan tingkat bawah yang berbeda. Santri kurikulum biasanya lebih menguasai metodologi HPT, sedangkan santri sorogan cenderung mengkaji secara langsung kitab salaf dan juga himpunan putusan tarjih dalam menyikapi persoalan keagamaan dalam ranah privasi atau kaitannya dalam budaya lokal.
Aset Pengkaderan
Keberadaan kader-kader dakwah bagi ormas Muhammadiyah adalah aset berharga yang senantiasa dijaga dan dipelihara bagi gerakan dakwah Muhammadiyah. Pesan-pesan dakwah yang disampaikan para santri sebagai kader mubalig Muhammadiyah harus dicermati sebagai khasanah dan wacana dalam mencapai kemaslahatan ummat. Belajar dari sisi permasalahan segala hal akibat perbedaan dalam menyikapi umat adalah bagian dari dinamika dakwah internal Muhammadiyah. Garis pengertiaan antara santri berbasis kurikulum dan santri sorogan adalah santri berbasis kurikulum lebih disimbolkan sebagai santri kitab putih sedangkan santri sorogan lebih disimbolkan sebagai santri kitab kuning.
Sebuah tantangan bagi persyarikatan Muhammadiyah sendiri untuk terus membina para kader-kadernya terutama kader-kader yang terbina dalam pesantren berbasis sorogan yang notobene merupakan soko guru bagi masyarakat baik lokal maupun urban di ranting-ranting Muhammadiyah. Keberadaan pesantren sorogan yang diharapkan mewarisi tradisi klasik khasanal keilmuan Islam seperti ilmu nahwu, shorof, ushul fiqih maupun balagoh merupakan tradisi keilmuan yang masih relevan bagi pengembangan umat pada masa yang akan datang. Apalagi ahli-ahli Muhammadiyah menyangkut ke ilmuan tersebut masih sangat langka barangkali kita mengenal Almarhum Prof. Asjmuni Abdurrahman sebagai pakar ilmu Ushul, tapi bagaimanapun organisasi sebesar itu haruslah mempunyai ahli ilmu-ilmu klasik dari cabang sampai pusat dan biasannya yang telaten akan keberadaan ilmu tersebut adalah santri berbasis sorogan.
Oleh sebab itu hendaknya pimpinan Muhammadiyah segera merespon keberadaan kader-kader dakwah Muhammadiyah baik berbasis kader dakwah yang berbasis kurikulum maupun berbasis sorogan menjadi bagian dari khasanah kader Muhammadiyah dalam dinamika dakwah dan keilmuan untuk kepentingan umat.
Perbedaan metode pembelajaran bukan menjadi bagian untuk memperpanjang selisih paham pendekatan dakwah atau dalam bahasa lain sebagai subtitusi dakwah tapi sudah seharusnya sebagai komplemen dakwah atau saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Alangkah ironis Muhammadiyah sebagai organisasi yang sudah lebih dari satu abad kurang bisa menjaga keseimbangan karena saling berebut pengaruh dakwah antara kader berbasis kurikulum dan sorogan. Hal-hal tersebut hendaknya perlu dihindari demi kebaikan bersama sebagai satu wadah perjuangan.
Dinamika Kultural Umat
Keberadaan Muhammadiyah di tengah masyarakat dengan beragam latarbelakang baik pendidikan maupun lingkungan sosial membuat Muhammadiyah harus senantiasa cermat dalam memahami dinamika maupun isu baik lokal, nasional maupun internasional. Salah satu kekurangan Muhammadiyah selama ini kurang intensnya kader-kader Muhammadiyah dalam menggarap basis masyarakat kalangan bawah. Sekarang tinggal mengatur bagaimana peran dakwah Muhammadiyah terhadap masyarakat lapisan bawah agar Muhammadiyah bisa diterima.
Kondisi masyarakat bawah sebagai kaum lemah secara ekonomi dan sosial mungkin perlu pembelaan-pembelaan baik dari sisi materi maupun moral spiritual, dari sisi moral spiritual barangkali merupakan tolak ukur bagi keberhasilan dakwah Muhammadiyah. Untuk itu kader santri kurikulum maupun sorogan harus senantiasa bersinergi dalam membangun wawasan dakwah Muhammadiyah kedepan. Keduanya merupakan aset vital bagi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri harus terbuka dengan keberadaan santri-santri sorogan yang terkadang di luar mainstream Muhammadiyah. Padahal lewat santri-santri sorogan Muhammadiyah bisa dikenal dan membumi pada masyarakat lokal seperti yang terjadi di daerah pantura seperti Kudus tempat penulis tinggal dan aktif dalam Muhammadiyah. Keberadaan Muhammdiyah disana, dikenal sampai kalangan bawah dan pedesaan adalah berkat perjuangan santri-santri sorogan yang berawal dari titik temunya dengan Muhammadiyah lewat pemahaman aqidah yang socheh dan sochihah. Barangkali matan kepribadian Muhammadiyah merupakan wahana yang tepat bagi penataan kader santri Muhammadiyah baik kurikulum maupun sorogan karena menyangkut identitas Muhammadiyah dalam pergaulan antar sesama dan juga dalam menyikapi dinamika umat dan bangsa.
Untuk itu kepemimpinan Muhammadiyah baik pusat sampai ranting harus senantiasa akomodatif terhadap keberadaan santri-santri Muhammadiyah yang menjadi bagian dari khasanah organisasi. Apalagi program Muhammadiyah sudah jelas akan melakukan revitalisasi di segala bidang yaitu revitalisasi cabang dan ranting, kader dan anggota Muhammadiyah termasuk revitalisasi pendidikan. Maka hendaknya pengaturan kader santri Muhammadiyah yang menjadi ujung tombak dakwah Muhammadiyah merupakan momen yang sangat urgen terutama bagi santri berbasis kurikulum dan sorogan keduanya agar tidak saling klaim sebagai agen perubahan dakwah Muhammadiyah. Diharapkan Muhammadiyah kedepan makin memahami akan aspirasi umat baik dari bawah sampai atas, karena keberadaan Muhammadiyah di muka bumi ini bagian dari garis pewaris risalah yang dibawa nabi Muhammad S.A.W yang harus disertai kearifan dalam menyikapi setiap perubahan zaman, agar umat senantiasa terpelihara dengan baik.