Oleh: Muhammad Yunus, S.Ag – Ketua PCPM Undaan, Anggota Bidang Hikmah dan Advokasi Kebijakan Publik PDPM Kudus
Ketika KH. Ahmad Dahlan mendirikan persyarikatan, diperuntukan untuk umat dan memajukan Islam melalui Pendidikan, Kesehatan dan juga Sosial sebagaimana semangat yang digelorakan melalui teologi Al-Ma’un. Selain dari itu, dalam menuju masyarakat Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana tujuan dari Muhammadiyah. Organisasi ini tidak berdasarkan kepemilikan personal, segala permufakatan serta kepemimpinan dilaksanakan dengan kolektif kolegial. Tak satupun Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) dimiliki oleh perseorang ataupun keluarga tertentu, semuanya di bawah Muhammadiyah dari tingkatan Ranting hingga Pusat.
Segala aktifitas termasuk administrasi dikelola secara profesional, sebagaimana kuantitas dan kualitas. Maka, tak seorang pun berhak mengklaim paling dan berhak memiliki Muhammadiyah, dari organisasi hingga AUM yang ada. Kita semuanya tau, Muhammadiyah memiliki aset Triliyunan dari dalam hingga luar negeri. Bahkan, sekolah Muhammadiyah di Australia menjadi aset pertama dari Indonesia yang berada di Negeri Kanguru tersebut. Belum lagi di Malaysia, Turki dan negara-negara lainnya.
Tentunya kesemuanya adalah milik warga Persyarikatan, milik Muhammadiyah. Bukan milik Bapak A, B, atau C. Meski memang ada beberapa orang yang menjadi pelopor dalam pergerakan Muhammadiyah di berbagai wilayah, atau semisal ditingkatan Ranting. Baik pelopor secara organisasinya atau amal usahanya. Namun, kepeloporan itu bukan berarti menjadikan seseorang atau kelompok bahkan mungkin sebuah keluarga menjadi pemilik dari AUM atau Persyarikatan. Sama halnya dengan Muhammadiyah sendiri, tidak pernah anak cucu ataupun cicit dari Muhammad Darwis mengklaim memiliki atau pemilik daripada AUM.
Maka, ketika masih ada orang atau segelintir keluarga yang merasa memiliki AUM atau organisasi, akan sangat miris karena menandakan masih ada kejumudan dalam hatinya. Masih terdapat ketidakikhlasan dalam memperjuangkan Persyarikatan di tempatnya. Apakah masih ada pemikiran seperti itu? Mungkin saja ada. Ketokohannya ingin diakui, jasanya masih minta dihargai. Kita adalah orang-orang yang tak lepas dari sejarah, sebagaimana kata tokoh Muhammadiyah dan tokoh bangsa, Ir. Soekarno, “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannya,” sebagaimana di Muhammadiyah. Namun dari jasa yang pernah diperjuangkan di masa lalu, lantas bukan berarti seseorang atau keluarga menjadi ‘pemilik’ dari Persyarikatan atau AUM. Itu kesalahan yang fatal dan amat lekat kedunguan di dalam pikirannya. Mungkin beliaunya kurang terbuka mata dan hatinya, sehingga tidak dapat melihat Muhammadiyah adalah milik semua.
Padahal, KH. Ahmad Dahlan, founding father’s Muhammadiyah sendiri, tak pernah anak cucu cicitnya mengklaim kalau Muhammadiyah ini miliknya atau keluarganya. Ini menandakan bahwa Muhammadiyah merupakan legacy besar Kyai Dahlan untuk bangsa, dan juga dunia. Kultur egaliter Muhammadiyah yang menjadi sebuah penegasan, bahwa Muhammadiyah milik semua. Pimpinan hanya sebagai leader, namun segalanya dilakukan secara together. Maka akan sangat aneh ketika ada disklaimer tentang Muhammadiyah, baik yang merasa paling, atau malah yang merasa memiliki aset (AUM). Persyarikatan yang konon menjadi organisasi Islam terkaya di dunia ini, memang sangat menggiurkan ketika melihat aset-aset yang dimiliki. Maka tidak heran saat ada orang yang berjasa sedikit, dan keikhlasannya kurang. Sudah merasa ingin menguasai atau minimal mengendalikan AUM, atau juga ia yang turut serta mendirikan lalu hilang rasa perjuangan.
Hingga terlihat mentang-mentang dan seakan menjadi ‘tuan’ dirumah Persyarikatan, miris. Akankah ini hanya tuduhan atau dugaan? Mungkin saja, tapi tidak menutup kemungkinan ada yang seperti itu dilingkungan AUM. Selain itu, Muhammadiyah yang memiliki 7 organisasi otonom (ortom) ini di ortomnya juga banyak hal sebagaimana di AUM seperti di atas. Apalagi menduduki posisi yang strategis, sehingga sangat menarik ketika peralihan atau pergantian kepemimpinan melalui Muktamar, Musyawarah Ranting, Cabang, Daerah, sampai Wilayah terdapat berbagai dinamika.
Wajar ketika berada di dalam sebuah perkumpulan, namun menjadi tidak wajar ketika ada yang mempertahankan mati-matian kedudukan dalam Pimpinan. Sampai melakukan sesuatu yang tidak dibenarkan dan bertentangan dengan kepribadian Muhammadiyah. Apalagi sampai menggunakan kekuatan uang, akan menjadi hal yang miris dan memprihatinkan, ketika status kekaderan namun mudah digoyahkan oleh sifat-sifat pragmatis. Maka, Muhammadiyah sebagai sebuah perkumpulan yang sudah sangat matang dan dewasa, tak mudah menjadi pijakan orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri.
Prof. Din Syamsuddin pernag menyampaikan, “Yang tak ikhlas berjuang di Muhammadiyah akan terpelanting”. Hal itu benar adanya dan mungkin sering terjadi. Jadi apabila ada orang yang merasa memiliki aset atau AUM bahkan merasa paling berjasa, pasti akan terpelanting dengan sendirinya. Termasuk dalam hal politik (praktis), hampir disetiap WhatsApp Group Muhammadiyah pembahasannya banyak mengenai politik daripada tentang Muhammadiyah itu sendiri. Entah karena ‘melek’ politik, atau hanya soal like and dislike.
Meski Muhammadiyah milik semua, bukan berarti semua menghalalkan cara untuk meraih keinginan melalui Muhammadiyah, termasuk politik. Tidak lantas memanfaatkan jamaah untuk meraup suara dengan dalih kader atau tokohnya, apalagi ketika jadi lupa dengan Muhammadiyah. Ngasih link bantuan saja masih di-persenkan, padahal ia jadi sedikit banyak ada andil dari warga Persyarikatan. Namun, karena Muhammadiyah milik semua, maka ada berbagai macam pula isi didalamnya. Meski sejatinya hanya ada satu ideologi di sana, yakni Dahlaniyah. Mengadopsi dari gerakan-gerakan serta pemikiran KH. Ahmad Dahlan dengan patokan Al-Qur’an dan sunah.
Andai saja kita teguh dalam ideologi tersebut, mungkin aliran atau ideologi lain tidak mudah masuk, mau salafi, wahabi, bahkan ideologi apapun. Tetapi, karena Muhammadiyah organisasi yang terbuka bagi siapa saja, Muhammadiyah itu milik kita semua. Maka kita selalu welcome dengan siapapun, tinggal kita mampu tidak memperkuat pondasi agar tak terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran diluar konteks Kemuhammadiyahan.
Oleh karena itu, pada momentum Muktamar ke-48 Muhammadiyah bahkan hingga Musywil, Musyda, Musycab, sampai Musyran itu tidak hanya membutuhkan sosok ulama sebagaimana yang disampaikan beberapa tokoh dan kader. Namun Muhammadiyah juga butuh pimpinan yang memegang teguh prinsip Kemuhammadiyahan.
Menjaga marwah persyarikatan dari sikap politik praktis, berpegang pada Kepribadian dan Khittah Persyarikatan. Sehingga Muhammadiyah menjadi milik semua tetapi tetap pada koridor organisasi yang elegan, egaliter, kolektif kolegial. Serta fokus pada garis besar haluan pergerakan, tidak silau akan jabatan dan kedudukan. Bahkan syukur-syukur bisa me-Muhammadiyah-kan mereka yang belum menjadi bagian dari kita, akan tetapi memiliki kontribusi terhadap kita.
Muhammadiyah itu milik semua, bukan hanya milikku, milikmu, tetapi milik kita bersama. Karena bangsa ini pula lahir tak lepas dari peran Muhammadiyah, peran para tokoh yang berjuang ikhlas tanpa mengharap apapun. Andai saja Muhammad Darwisy tidak ikhlas mendirikan organisasi ini, maka tidak mungkin dapat berjalan hingga seabad dan besar seperti sekarang. Maka patutlah kita meneladaninya, mencontoh pemikirannya, yang kita sebut sebagai ideologi Dahlaniyah.