Oleh Ahmad Rofiq
Muhammadiyah sebagai persyarikatan yang lahir pada 18 November 1912 di Yogyakarta, telah menapaki usia lebih dari satu abad dan satu decade. Sistem dan budaya organisasinya yang relative stabil, karena memiliki tradisi yang sudah settle dan tata kelola yang terukur. Regerenasi dan pemilihan atau pergantian pengurus, nyaris tidak terdengar gesekan, karena sudah tersistem dengan baik.
Persyarikatan yang mengidentifikasi diri sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengusung term berkemajuan, telah memiliki Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang berada di setiap Kabupaten/Kota bahkan hingga pada wilayah kecamatan dan bahkan di luar negeri terkelola dengan baik dan modern. Perguruan Tinggi dan rumah sakit yang banyak dan menggunakan brand yang sama, Muhammadiyah. Kedua Lembaga amal usaha ini tentu memiliki potensi bisnis yang sangat signifikan.
Persoalan brand dari amal usaha Muhammadiyah yang memiliki nilai ekonomi besar inilah, yang berimplikasi adanya disharmoni atau boleh jadi semacam “jealousy” antara para pengurus persyarikatan yang meskipun mungkin sudah mendarmabhaktikan diri, fikiran, dan waktu, namun masih berada di bawah para pejabat yang diamanatkan mengelola berbagai macam amal usaha Muhammdiyah. Inilah tampaknya, yang mengusik dan mengungkit “kegalauan akademik” saudara Dr. H. AM. Jumai, untuk menggali, meneliti, dan menganalisis dalam karya disertasi, yang kemudian dipublikasikan dalam buku yang ada di hadapan pembaca.
Ungkapan kegalauan dan “kenakalan”nya yang dikemas dalam karya akademik, tentu patut menjadi bahan pembuat kebijakan para pimpinan dan pengelola persyarikatan dan amal usahanya, guna melahirkan keadilan yang proporsional yang dikemas dalam perspektif keadilan religious. Kegalauan akademik Mas Jumai ini, mengingatkan saya suatu proposisi yang diformulasikan para Ulama dalam ungkapan “li kulli ni’matin mahsud” artinya “bagi segala sesuatu kenikmatan (wajar) dijadikan keirian”.
Saya yang diamanati mengawal, mendampingi, dan teman diskusi Doktor H. AM. Jumai, yang bahasa formalnya sebagai promotor, tentu banyak sekali hal-hal yang harus saya sampaikan sebagai bahan untuk memperkaya khazanah akademiknya. Apalagi menilik keberanian Mas Jumai ini, hijrah dari basik ilmu ekonomi ke ilmu hukum, dan karena itu, ia harus merelakan dirinya untuk harus banyak belajar ilmu hukum.
Data-data tentang produk hukum dari persyarikatan terutama yang berkaitan dengan bagaimana regulasi tentang AUM-nya, ini memantik dan boleh jadi menyentak para pemimpin persyarikatan di satu sisi, dan sekaligus memberi pekerjaan rumah baru bagi pengelola AUM yang makin hari terlihat makin menjanjikan. Perspektif keadilan religious, yang adil itu didefinisikan dalam dua makna, pertama, wadl’u sy-syai’ fi mahallihi artinya menempatkan sesuatu pada tempatnya, dan kedua, I’tha’u kulla dzi haqqin haqqahu atau memberi setiap yang berhak akan hak-haknya, maka apa yang menjadi jawaban atas kegalauan akademik saudara Dr. Jumai ini, dapat tersaji dengan cukup baik dalam buku ini.
Selamat dan sukses Mas Doktor Jumai, atas diterbitkannya buku ini. Bahwa di dalamnya terkandung kemungkinan ada yang tersisa dan mengundang kontroversi, tentu sebagai karya akademik, merupakan hal yang lumrah saja terjadi. Kata-kata bijak menegaskan, “kekeliruan yang timbul karena berbuat baik, lebih mulia katimbang, tidak pernah salah, akibat dari tidak berbuat sama sekali. “Ijtihad” atau setidaknya ungkapan kegalauan akademik dengan segala keberaniannya, dengan kerendahhatian dan kesadaran akan munculnya kekeliruan, dijanjikan sebuah satu pahala, dan apabila “ijtihadnya” benar, maka baginya dua pahala. Setidaknya pahala dari persyarikatan. Semoga keberkahan menyelimuti buku yang ada di hadapan pembaca ini.
Allah a’lam bi sh-shawab.