A. Hilal Madjdi (Ketua PDM Kudus periode Mukatamar 47)
Salah satu isu strategis dalam menyambut Musyawarah Daerah Muhammadiyah Kudus periode Muktamar 48 adalah Pimpinan Daerah Muhamadiyah itu sendiri (baca: 11 anggota pleno pimpinan). Narasi harapan, idealisme figur pimpinan sampai “framework” kinerja pimpinan ke depan mulai mendinamisasi para aktivis persyarikatan.
Performa para figur dengan berbagai kapasitas, daya jangkau dan garis edar mulai terpetakan. Tentu saja ini merupakan suatu hal yang menggembirakan karena memang sesungguhnya bermuhammadiyah adalah untuk menggembirakan dan mensejahterakan ummat.
Tanpa bermaksud menambah referensi, ada beberapa pemikiran yang kiranya perlu untuk saya tuturkan, atas dasar penghayatan dan pengalaman berkiprah dalam kepemimpinan Daerah.
Dikotomi Gender
Best practice selama ini menuturkan kepada kita bahwa ada kesan batasan ruang dan dimensi bagi aktivis Muhammadiyah berbasis gender. Tentu saja tulisan ini tidak bermaksud menyalahkan gerakan berbasis gender. Namun terakomodasinya gerakan kaum wanita dalam IPMAWATI, IMMAWATI, NA dan Aisyiyah dalam kenyataannya memunculkan garis yang melintas antara Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah meskipun sangat samar.
Dalam konteks garis samar itu, kader IPMAWATI, IMMAWATI, NA dan ‘Aisyiyah adalah tetap kader Muhammadiyah, sama halnya dengan kader IPM dan Pemuda Muhammadiyah. Rumah besar tetap Muhammadiyah. Dalam best practice penatakelolaan organisasi, gerakan adik-adik IMM lebih menggambarkan penatakelolaan rumah besar Muhammadiyah, di mana Ketua IMM bisa saja dari kaum hawa, meskipun mereka juga memiliki terminologi Immawan dan Immawati.
Lalu, bisakah kaum hawa Muhammadiyah menjadi bagian dari 11 pleno pimpinan Muhammadiyah? Belajar dari adek-adek IMM, peluang itu tentu ada. Namun semuanya berpulang pada musyawirin.
Kolegialitas dan Kolektivitas
Salah satu energi positif yang sangat dijaga dan dikembangkan oleh Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus periode Muktamar 48 adalah kepemimpinan berazas kolegialitas dan kolektivitas. Makna sederhananya adalah tidak ada “single dominasi” dan keunggulan pribadi dalam roda kepemimpinan periode 47. Produk-produk persyarikatan adalah produk bersama, bahkan sampai ke Majlis dan Lembaga.
Kerangka kerja kolegialitas dan kolektivitas sangat jauh dari rasa dan perasaan paling pinter dan paling bener. Sebab sejatinya semua pimpinan Muhammadiyah tetaplah manusia yang selalu dilingkupi salah dan khilaf.
Energi ini sangat penting mengingat percaturan dunia ke depan, baik secara lokal, nasional dan global sangatlah komplikated dan krusial. Kehidupan tidak akan pernah dilaksanakan secara individual dan individualiatis.
Oleh karena itu menjadi sangat penting kiranya bagi setiap aktivitis yang nantinya terpilih menjadi bagian dari pleno PDM untuk mengambil posisi yang jelas dan bertanggung jawab sebagai bagian dari kolegialisme dan kolektivisme pekerjaan besar menata dan mensejahterakan ummat.
Performa Pejuang Tangguh
Tagline besar Muhammadiyah “mensejahterakan ummat, menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, kembali pada Alqur’an dan Sunnah” membutuhkan manusia beraroma malaikat. Hati, pikiran dan perasaannya tak boleh didominasi oleh sifat-sifat keji semacam hasad, iri, dengki dan sebangsanya yang tentu akan mengganggu kolegialitas dan kolektivitas.
Dalam kontestasi sosial dengan ormas yang lain (baca “terutama NU”), performa pimpinan Muhammadiyah ke depan diharapkan mampu mengangkat marwah persyarikatan ini menjadi lebih “rahmatan lil ‘alamin”. Secara kasat mata pimpinan Muhammadiyah ke depan bisa berdiri sama tegak dan duduk sama rendah dengan berbagai pihak.
Perilaku rahmatan lil alamin berlaku juga dalam mengasuh AUM dan Ortom. Sebab di sanalah sumber daya dan sumber energi persyarikatan. Di sana pula gerakan berkemajuan dipertaruhkan. Apalagi ide internasionalisasi Muhammadiyah dan AUM juga mengemuka dalam Musywil di Tegal. Tak ada kata untuk tidak bermuhammadiyah karena bermuhammadiyah itu sendiri memiliki makna kontekstual menjalani hidup dan kehidupan sesuai dengan sunnatullah.
Kudus, 0703023