Opini

Merdeka Bermuhammadiyah

Oleh : Nuruz Zaman

Bulan Agustus menjadi bulan yang Istimewa bagi rakyat Indonesia. Seberat apapun kondisi yang sedang dihadapi, rakyat di seluruh penjuru Indonesia selalu meluapkan kegembiraan. Beragam acara dari yang serius hingga lomba lucu-lucuan digelar untuk merayakan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Semua bersuka cita mensyukuri Indonesia Merdeka. Namun sesungguhnya apa makna dari kata Merdeka itu sendiri?

Berdasarkan KBBI merdeka memiliki 3 makna. Pertama, merdeka memiliki makna bebas dari belenggu ataupun penjajahan. Makna kedua adalah tidak terkena, atau lepas dari berbagai tuntutan. Dan makna ketiga dari merdeka ialah tidak terikat, tidak bergantung pada pihak atau orang tertentu, dan leluasa.

Dalam bahasa Inggris, kata merdeka dapat secara harfiah dialihbahasakan dengan kata ‘independent’, atau bisa juga ‘free (lebih mendekati konteks kata bebas)’ serta ‘sovereign (lebih mendekati konteks kata berdaulat)’. Sehingga merdeka juga dapat kita asosiasikan dengan kebebasan berekspresi, menyampaikan pikiran dan pendapat tanpa takut mendapatkan tekanan dari pihak tertentu.

Baca juga :  Bebas dan Terkurung

Muhammadiyah, baru-baru ini mengalami turbulensi yang cukup kuat setelah Pimpinan Pusat memutuskan menerima “tawaran Pemerintah” berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya alam khususnya tambang batubara. Di internal Muhammadiyah sendiri terjadi pro dan kontra. Masing-masing memiliki argumentasi masing-masing yang (Insya Allah) dilandasi kecintaan kepada Muhammadiyah.

Meskipun sempat terjadi demonstrasi saat Konsolidasi Nasional di Yogyakarta akhir Juli lalu, tidak ada tindakan represif yang memberangus suara yang berbeda dengan keputusan PP Muhammadiyah. Proses pengambilan keputusan pun tidak dilakukan serta merta, namun melalui pengkajian intensif selama hampir dua bulan. Semua masukan didengarkan dengan seksama, hingga akhirnya Pimpinan Pusat memutuskan untuk mengambil peluang tersebut dengan segala konsekuensinya. Sampai-sampai Ketua Umum PP Muhammadiyah menulis agak panjang di kolom Resonansi Harian Republika tanggal 3 Agustus 2024 dengan judul Ihsan di Dunia Ironi.

Turbulensi yang hampir serupa juga pernah terjadi saat Muhammadiyah memutuskan menerima Pancasila sebagai asas tunggal pada tahun 1980-an. Bahkan saat itu Muktamar sampai ditunda beberapa lama dari jadwal semestinya karena tarik ulur soal asas tunggal ini. Akhirnya, permasalahan selesai dengan analogi Pancasila sebagai jalur helm oleh Pak AR.

Baca juga :  Anggota UPP Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kudus, Selamat Bekerja!

Kisah lainnya terjadi pada tahun 1960-an, ketika tokoh Muhammadiyah Moeljadi Djojomartono ditunjuk sebagai Menteri Sosial oleh Presiden Soekarno, padahal saat itu Presiden Soekarno baru saja membubarkan Masyumi. Hal ini menjadi perdebatan bahkan pro-kontra di internal Muhammadiyah.

Tak sedikit yang menolak masuknya Moeljadi ke dalam kabinet. Mereka menilai, Muhammadiyah terkesan bertekuk lutut di bawah rezim Bung Karno karena seorang unsur PP Muhammadiyah masuk di dalam pemerintahan. Namun, ada pula yang secara terbuka mendukung Moeljadi menjadi Menteri Sosial. Buya Hamka berada di kubu yang menolak dan Farid Ma’ruf di kubu yang mendukung. Bahkan Buya Hamka sampai menulis di Harian Abadi dengan judul “Maka Pecahlah Muhammadiyah.”

Akibat tulisan tersebut terjadi pro kontra luar biasa di kalangan akar rumput, sampai-sampai persoalan tersebut dibawa ke forum Sidang Tanwir Muhammadiyah. Di sana, khalayak menanti bagaimana klimaks “perseteruan” antara dua kader pilih tanding Muhammadiyah ini.

Baca juga :  Muhammadiyah & Revitalisasi Kader Mubaligh

Namun apa yang terjadi? Bukannya saling menyerang dan beradu argumen panjang lebar, keduanya justru berpelukan dan islah di forum tanwir tersebut. Buya Hamka menulis di Harian Abadi dengan dasar kecintaan kepada Muhammadiyah, demikian juga Farid Ma’ruf menyampaikan bahwa Moeljadi merenung lama sebelum menerima tawaran tersebut, demi maslahat yang lebih besar untuk kemajuan dakwah Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia.

Inilah eloknya Muhammadiyah, ada kemerdekaan dalam berekspresi dan menyuarakan pemikiran, perbedaan pendapat bukan dianggap sebagai bentuk pembangkangan, tapi tetap diberikan ruang sebagai bagian dari dialektika.

Proses pengambilan keputusan dilakukan secara kolektif kolegial, semua suara dan masukan didengarkan sebelum mengambil keputusan. Boleh jadi perdebatan sengit dan adu argumentasi ada disana. Namun, jika keputusan telah diambil maka semua kader sami’na wa atha’na kepada pimpinan.

Barangkali inilah salah satu resep Muhammadiyah panjang umur hingga melewati satu abad tanpa konflik berarti. Merdeka, merdeka, merdeka!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *