Opini

Meraih Kemenangan di Bulan Ramadan: Perempuan Cerdas Spiritual dan Sosial

Oleh Irzum Farihah

Ramadan sebagai bulan pengampunan, penuh berkah, dan banyak sekali peristiwa monumental terjadi di bulan ini, diantaranya turunnya al-Qur’an sebagai pedoman umat Islam dalam menjalankan tatanan kehidupan. Ramadan juga menjadi ruang komunikasi yang “mesra” antara hamba dengan Tuhan (Allah) agar dapat menyeimbangkan dimensi keimanan, ritual, dan effect (kebermanfaatan terhadap sesama).

Penghujung Ramadan juga menjadi momen yang dinantikan umat Islam. Sebagian meningkatkan ibadah dengan melaksanakan i’tikaf di masjid dan amal kebaikan kepada sesama untuk meraih lailatul qadar. Sebagian yang lain menyibukkan diri dengan persiapan mudik ke kampung halaman untuk bersilaturahim kepada sanak saudara, khususnya yang masih memiliki orang tua sebagai salah satu bentuk “bakti” seorang anak. Setiap orang yang beriman tentunya ingin menjadi hamba yang terpilih mendapatkan Lailatul Qadar sebelum merayakan Hari Raya Idul Fitri.

Untuk menuju ke titik tersebut tentunya banyak hal yang harus disiapkan, khususnya Perempuan. Perempuan menjadi makhluk Allah yang dalam konstruk sosial tidak terlepas dari urusan dapur, terlebih pada Bulan Ramadan ini. Namun bukan berarti mereka tidak berhak meningkatkan pengetahuan keagamaan maupun mengambil bagian dalam kegiatan kemanusiaan seperti halnya laki-laki. Justru makhluk yang dinamakan perempuan ini banyak berperan dalam ruang-ruang ritual keagamaan, sosial, dan peningkatan ekonomi keluarga. Islam sendiri membuka lebar untuk beribadah tanpa melihat jenis kelamin. Misalnya menuntut ilmu yang menjadi kewajiban bagi laki-laki maupun perempuan.

Baca juga :  Starting Eleven

Sebagaimana para perempuan di zaman Rasulullah, pernah memohon kepada Nabi Muhammad SAW untuk diberi kesempatan menyisihkan waktu dalam menuntut ilmu pengetahuan, dan permohonan ini dikabulkan oleh Nabi SAW., Al-Qur’an sendiri memberikan pujian kepada ulul albab, dan hal ini berlaku bagi laki-laki maupun perempuan karena Allah tidak membedakan amalan dari keduanya.

Sebagaimana dalam QS. Ali Imran ayat 195: “Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan berfirman: “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan…..”. Dalam ayat lain juga disinggung (QS. At-Taubah ayat 71): “Orang-orang mukmin, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) makruf dan mencegah (berbuat) mungkar, menegakkan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. Dan masih banyak ayat lain membincang kedudukan perempuan dan laki-laki itu sama dihadapan Allah.

Baca juga :  Menebar Kebaikan di Era Disrupsi

Oleh karena itu sudah menjadi hal yang wajar jika perempuan berperan dalam berbagai ruang-ruang keagamaan dan sosial, khususnya di Bulan Ramadan. Majelis Tabligh dan Ketarjihan (MTK) Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kabupaten Kudus, mengajak serta seluruh perempuan untuk meningkatkan pengetahuan mereka melalui kajian setiap Hari Jum’at pagi ba’da Shubuh. Ramadan kali ini, MTK mengambil tema “Fikih Wanita” yang membahas seputar Haid, Nifas, dan Istihadhah. Tema ini dikaji secara mendalam selama empat Jum’at (4 kali pertemuan).

Meski permasalahan ini sudah dialamai para perempuan sejak aqil baligh, namun tidak semua mengetahui secara detail. Selain itu, menyiapkan perempuan cerdas, MTK juga menyediakan ruang berbagi dalam rangka mengasah kepekaan sosial dengan mengajak para perempuan menyisihkan sebagian hartanya untuk para dhuafa dari berbagai komunitas di Kabupaten Kudus. Sebagian lagi dialokasikan kepada para mu’allaf yang tetap harus dikuatkan keimanannya, sebagaimana dijelaskan dalam QS. At-Taubah ayat 60.

Baca juga :  Liburan Akhir Tahun, Ikon Wisata Literasi & Literasi Wisata

Santunan kepada para mu’allaf menjadi penutup acara kajian Fikih Wanita Jumat pagi di Bulan Ramadan ini. Kegiatan ini ditujukan untuk memotivasi perempuan memiliki penguatan pengetahuan spiritual dan kepekaan sosial dalam pelaksanaan tugas sebagai khalifah. Mandat kekhalifahan manusia di muka bumi adalah konsekuensi logis ajaran tauhid dari dimensi spiritual dan sosial. Tauhid membawa manusia pada tindakan etis, di mana segala sesuatu ditentukan melalui keberhasilan pencapaian subjek moral di tengah berbagai tantangan sosial kemasyarakatan.

Hal ini harus menghapus sekat jenis kelamin yang mendiskriminasi satu dengan yang lain. Sebagaimana yang disampaikan oleh Nyai Siti Munjiyah bahwa perempuan dan lelaki Islam itu masing-masing berhak berkemajuan dan berkesempurnaan, sehingga perempuan dapat mengambil bagian ber-“fastabiqul khairat” bersama laki-laki dalam meraih kemenangan di bulan yang penuh berkah ini.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *