Oleh : H. Nunu Anugrah Perdana, S.Pd.,S.T.,M.Pd.I.*
Dalam beberapa razia telepon genggam oleh beberapa sekolah, ternyata di dalam telepon genggam itu banyak siswa/i yang menyimpan video atau gambar yang tidak senonoh. Hal ini memperkuat dorongan beberapa fihak, yang mendukung langkah salah satu pemerintah daerah yang akan memberlakukan larangan siswa/i membawa telepon genggam ke sekolah dengan beberapa catatan.
Terlepas dari penyalahgunaan penggunaan telepon genggam, bahwa saat ini telepon genggam sudah menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Tidak mungkin siswa/i dilarang 100% membawa telepon genggam ke sekolah. Yang lebih penting adalah orang tua, guru di sekolah sebagai pendidik, dan masyarakat lainnya memberikan penyadaran tentang pendidikan pornografi secara proporsional.
Siswa/i harus dibekali pemahaman tentang pornografi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pornografi adalah penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan atau tulisan untuk membangkitkan nafsu birahi; atau bahan bacaan yang dengan sengaja dan semata-mata dirancang untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks. Sementara dalam rancangan Undang-Undang Pornografi dalam pasal 1 dijelaskan bahwa pornografi adalah materi seksualitas yang dibuat oleh manusia dalam bentuk gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, gerak tubuh, atau bentuk pesan komunikasi lain melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang dapat membangkitkan hasrat seksual dan/atau melanggar nilai-nilai kesusilaan dalam masyarakat.
Dari definisi di atas jelaslah bahwa telepon genggam dapat digunakan sebagai media untuk menunjukan adegan yang bersifat pornografi, sehingga perlu kiranya para siswa dibekali tentang dampak negatif pornografi.
Dr. Victor Cline dari University of Utah menguraikan bahwa ada 5 efek dan tahap penyakit pornografi: 1) Shock (terkejut atau jijik) 2) Adiksi (kecanduan) 3) Eskalasi (peningkatan). Seseorang akan lebih memerlukan materi pornografi yang lebih mendalam. 4) Desentifisasi (penumpukan kepekaan). Materi pornografi akan menjadi sesuatu yang biasa untuk dilihat. 5) Act-out (berbuat).
Sementara itu Dr. Mark B. Kastlemaan Kepala Edukasi and Training Officer for Candeo USA, memberi argumen bahwa kecanduan pornografi ternyata lebih berbahaya dari narkoba. 1) Pengaruh kokain bisa dihilangkan, sedangkan pengaruh pornografi tidak 2) Pornografi dapat merusak saraf otak lebih banyak dibandingkan narkoba 3) Pecandu pornografi lebih sulit dideteksi daripada pecandu narkoba 4) Pornografi berpotensi menurunkan kecerdasan.
Semakin banyak materi pornografi yang masuk ke otak bagian belakang, bagian otak lainnya menjadi kurang aktif, terutama otak bagian depan. Padahal, bagian otak yang mempengaruhi kecerdasan seseorang adalah ketebalan koteks yang ada di bagian otak depan. Pemhaman agama yang baik juga diperlukan oleh siswa/i untuk menangkal banyak nya siswa/i yang mengkonsumsi materi pornografi yang secara agama hal itu dilarang dan termasuk perbuatan dosa. Imam Syafi’i mengatakan ilmu itu ibarat cahaya yang akan menerangi gelas yang bening. Manusia yang tidak banyak melakukan dosa seperti gelas bening yang akan mudah mempelajari berbagai ilmu.
Jadi jelaslah bahwa pornografi itu penyakit otak, sehingga sudah menjadi kewajibann orang tua dan guru di sekolah untuk mengawasi penggunaan telepon genggam, agar siswa/i tidak mengkonsumsi materi pornografi. Salah satu caranya adalah melakukan check and recheck terhadap telepon genggam siswa/i baik disekolah maupun di rumah.
(*Penulis, Ketua PCM Pabuaran & Guru MTs Negeri 9 Cirebon)