OpiniSekolah

Mengenang Masa Sekolah di SD ‘Aisyiyah II Kudus

Oleh Achmad Hilal Madjdi

Setiap kali lewat perempatan jember ke utara, angan dan pikirnan saya langsung melayang ke masa – masa sekolah di SD dan SMP karena dua jenjang Pendidikan yang saya lalui itu semuanya berlokasi di situ. Angan yang menyeruak  terkadang sampai pada kerinduan membaca papan nama SD Aisyiyah tempat saya belajar, yang sekarang ini sudah tak terpampang lagi.

Masa- masa sekolah pada tingkat dasar saya awali dari TK Aisyiyah II Kudus, SD Aisyiyah II Kudus (sekarang MI Muhammadiyah II Kudus) dan SMP Muhammadiyah I Kudus.       Tradisi bersekolah di keluarga kami memang bagai SOP (Standar Operasional Prosedur) yang telah dibakukan. Perjenjangan itu sudah jelas dan tidak ada alternatif lain karena memang itulah yang kami yakini sebagai jenjang berkelanjutan yang baik. Namun karena kepentingan praktis dan ekonomis, jenjang lanjutan setelah SMP tak lagi harus di sekolah Muhammadiyah apabila Muhammadiyah tidak memiliki jenjang lanjutan yang diinginkan. Saya misalnya, terpaksa harus melanjutkan ke sekolah Negeri (Sekolah Pendidikan Guru/ SPG) karena pada waktu itu Muhammadiyah Kudus tidak memiliki SPG. Orang tua mengarahkan saya melanjutkan ke SPG karena berharap setelah tamat dari SPG bisa langsung menjadi Guru, dan memang demikianlah kenyataannya.

Catatan berkesan pada masa taman kanak- kanak adalah bermain, bernyanyi dan mengaji yang secara integratif disajikan dengan menarik sehingga menumbuhkan keceriaan tunas- tunas melati. Keceriaan para tunas melati ini terasa benar-benar alami dan mengalir perlahan tapi pasti, bergerak menuju hilir yang mereka sendiri juga tidak tahu akan sampai pada titik mana. Karena itulah interaksi yang ceria itu begitu polos, tidak dibuat- buat dan sudah barang tentu sangat jauh dari ide- ide pencitraan.

Baca juga :  Haji "Dulu" dan Haji "Sekarang"

Bermain, bernyanyi, city tour dan siaran radio merupakan dunia baru yang benar- benar menghebohkan dunia anak- anak pada alam pikiran dan perasaan saya dan teman- teman saat itu. Siaran radio memberikan pengalaman belajar yang terasa sangat mewah karena radio merupakan sarana hiburan dan komunikasi yang dimiliki masyarakat saat itu. Siaran televisi (TVRI) dan pesawat televisi memang sudah ada dan lebih mewah lagi. Namun tidak setiap keluarga memiiki pesawat televisi. Bisa jadi dalam satu desa hanya ada satu atau dua televisi yang membuat pemiliknya melakukan “open house” setiap sore dan malam agar tetangganya bisa ikut menikmati menyaksikan kotak ajaib yang sangat mewah saat itu. Anehnya, dunia anak- anak tetaplah dunia yang penuh keceriaan dan kegembiraan meskipun harus berjalan agak jauh pada malam hari ke rumah tetangga yang “berpunya” jika ingin menyaksikan siaran televisi TVRI.

Maka aliran kegembiraan itupun akhirnya sampai ke kanal lanjutan, yaitu Sekolah Dasar. Di kanal ini, orientasi studi sedikit berbeda dengan sebelumnya. Keceriaan dalam suasana bermain yang penuh dengan persahabatan tetaplah menjadi warna utama. Tetapi orientasi studi yang bergerak menuju suatu atmosfir akademik secara perlahan membawa para siswa SD yang baru saja “mentas” dari TK ini mulai menata diri, mengubah ritme dan agenda bermain dan belajar. Persentuhan- persentuhan dengan dunia akademik, yang meskipub masih bersifat dasar, ternyata juga  mengubah kebiasaan dan perilaku yang lambat laun menumbuhkan rasa tanggung jawab, mandiri, percaya diri, semangat untuk maju dan berkembang dan lain- lain. Apalagi pada waktu saya bersekolah di SD Aisyiyah II Kudus ada jadwal- jadwal khusus yang memang didisain untuk mempertemukan siswa-siswi dengan alam dan dengan Sang Khaliq.

Baca juga :  Menakar Orang-Orang Penting Di Muhammadiyah

Diantara sekian mata pelajaran yang saya tempuh pada waktu duduk di SD Aisyiyah II Kudus, yang menjadi catatan tebal sebagai kenangan belajar yang indah adalah Pertanian dan Sholat berjamaah. Setiap pelajaran Pertanian, para siswa dibawa ke lahan kosong sebelah barat gedung sekolah yang memang dijadikan lahan pertanian. Lahan itu dibagi menjadi tiga petak besar, untuk kelas IV, V dan VI. Tapi seingat saya, petak- petak itu selalu ditanami dengan tanaman yang sama. Suatu ketika kacang tanah, lain waktu jagung dan lain sebagainya. Kami juga dijadwal untuk menyirami tanaman sebelum pelajaran dimulai. Ketika tanaman sudah tumbuh, jam pelajaran pertanian dimanfaatkan untuk merawat tanaman, menyiangi rumput yang mengganggu dan sebagainya.

Kini, lahan itu sudah tidak lagi dimanfaatkan untuk pelajaran pertanian karena mungkin pelajaran itu sudah tidak terdaftar lagi di kurikulum. Tapi sepertinya ada alasan yang lebih penting, yaitu untuk menambah bangunan ruang kelas SMA Muhammadiyah yang saat itu tak mampu menampung siswa- siswinya di kelas- kelas yang sudah tersedia.

Pelajaran sholat berjamaah menjadi menarik karena diajarkan secara “integrated” antara teori dan praktek, baik gerakan maupun bacaannya, juga dimulai kelas IV karena praktek sholat selalu dilaksanakan pada waktu sholat dhuhur. Kelas I – III waktu itu sudah pulang sebelum waktu sholat dhuhur. Pelajaran ini juga diintegrasikan dengan pelajaran wudlu yang juga langsung teori dan praktek. Pada waktu itu memang tidak tersedia banyak kran untuk berwudlu sehingga para siswa bergantian dalam berwudlu, sekaligus bisa menyaksikan bagaimana temannya berwudlu. Para siswa juga bergantian mengisi tempat air untuk berwudlu dengan cara menimba dari sumur.

Baca juga :  MAARIF Institute Menyelenggarakan Pelatihan LOVE (Living Our Values Everyday: Penguatan Nilai-nilai Inklusi Sosial-Keagamaan untuk Guru-guru Pendidikan Agama di Manado, Sulawesi Utara

Model pelajaran yang dikembangkan adalah sholat berjamaah, dan semuanya mengeraskan/ menyuarakan bacaan- bacaan sholat.  Imam juga harus membaca bacaannya dengan keras dan ditirukan oleh para makmum. Ada seorang teman bertanya, apakah nanti setelah sampai rumah, perlu mengulang sholat dhuhur? Alasannya adalah bahwa kita tidak boleh membaca bacaan sholat dengan keras, apalagi saat sholat dhuhur. Saya saat itu termasuk anak- anak yang tidak mengulang sholat dhuhur di rumah. Saya menganggap sholat dhuhur di sekolah sah- sah saja. Dasar anak- anak, hahaha.

Yang agak susah waktu itu adalah siapa yang menjadi imam. Pada tahap ini biasanya para siswa pada berebut tidak mau. Masalahnya, selain harus sudah hafal gerakan sholat berikut bacaan- bacaan yang menyertainya, imam harus berani bersuara keras. Tapi pada saat para siswa berebut tidak mau menjadi imam, keputusan terakhir ada pada pak guru. Siapapun yang disebut namanya harus maju ke depan dan menjadi imam. Tapi entah mengapa hampir setiap praktek sholat nama saya selalu dipanggil untuk menjadi imam. Lama- lama menjadi langganan/ kebiasaan, setiap kali praktek sholat saya yang menjadi imam. Kebiasaan itu berlangsung sejak awal praktek sholat di kelas IV sampai kelas VI.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *