IslamKabar MuriaOpiniPopuler Pati

Mengenang Buya

Nia Perdhani*

Beberapa waktu lalu ketika mendengar kabar Buya sakit (lagi), dalam hati saya membatin “Buya sudah sepuh sekali, tapi tentu Buya akan kembali sehat, bukan. Seperti yang sudah-sudah.”

Kabar sakitnya Buya sudah sering kita dengar. Tapi selalu setelahnya disusul dengan kabar sembuhnya. Lalu ucapan syukur dan foto Buya yang baru dengan aktivitas kesehariannya, yang selalu tampak begituu bersahaja, akan muncul lagi menyejukkan beranda.

Buya… kemarin hingga detik ini saya hanya mengenal Buya dari cerita teman-teman juga dari tulisan-tulisan Buya sendiri. Rasanya tak ada tokoh yang tulisannya saya baca sebanyak Buya. Saya pikir, seharusnya tak akan ada bedanya kemarin ketika Buya masih ada atau sekarang setelah Buya pergi karena toh sama saja saya selalu hanya sampai sebatas membaca Buya.

Tapi nyatanya tetap saja berkali-kali air mata mengalir setiap membaca orbituari Buya yang ditulis oleh banyak orang.

Ah, Buya. Sungguh kami-kami yang mendaku pengagummu, muridmu, kawan sepersyarikatanmu tapi nyatanya terlalu bebal untuk mampu mengikuti laku hidupmu. Berkata terinspirasi tapi hanya di bibir saja.

Baca juga :  Jelang Tahun Politik, Aisyiyah Perempuan Berkemajuan Perlu Cermati Issu Stategis Hasil Muktamar ke 48

Di mana kami yang selalu memujamu ini berdiri ketika engkau mengkritik keras pemerintah karena kebijakan-kebijakan yang gagal mengarusutamakan rakyat kecil. Kapan kami yang selalu berkata mengagumimu ini sanggup mengikuti laku hidup bersahajamu.

Saat pikiran Buya selalu memikirkan tentang ilmu, tentang umat, kepala kami hanya sibuk memikirkan bagaimana mencari uang dan menambah tabungan.

Di mana kami yang selalu bilang betapa menginspirasinya engkau, tapi selalu gagal mempertahankan integritas karena takut jadi miskin dan ketinggalan gegap gempita panggung kehidupan dunia.

Buya, mengenangmu adalah mengenang kepahitan dan kesulitan hidup di waktu muda. Kisah Buya membuat kami sejenak lupa mencemburui kisah sukses muda-mudi jaman sekarang yang gilang gemilang penuh juta dan milyar.

Mengenangmu Buya, adalah mengenang perjuangan jutaan rakyat negeri ini melawan kemiskinan dengan memegang tinggi moral serta integritas.

Buya adalah monumen perjuangan hidup seorang pecinta ilmu. Ahli ibadah yang sungguh panjang sabar. Lahir di pelosok terpencil Sumatra, bersekolah di sekolah dasar dan menengah yang biasa, terseok-seok kuliah di universitas tak ternama, seperti cerita jutaan kita. Masa rumah tangga muda yang tak pernah punya uang cukup sampai harus kehilangan putra karena saking miskinnya. Tapi di tengah semua keadaan sulit itu, Buya tak pernah berhenti belajar dan berpikir. Juga mengajar. Komitmen Buya sebagai guru lalu sebagai dosen pun tak ada tandingannya.

Baca juga :  Peringati 100 Hari Wafatnya Buya Syafi'i, Maarif Institute Luncurkan Buku

Mengenang Buya adalah mengingat Muhammadiyah. Organisasi yang dicintainya hingga sendi-sendi tubuhnya. Organisasi yang selalu dipikirkan kemajuan dan kebaikannya. Dan ironisnya juga adalah organisasi yang belakangan ini paling banyak melahirkan manusia-manusia bodoh pembencinya.

Apalah kami ini yang hanya bermulut besar saja, Buya. Mengaku warga persyarikatan tapi selalu lari ketika persyarikatan membutuhkan.

Buya, setelah kepergianmu entah kemana kami bisa memperoleh teladan zuhud sepertimu. Kemana lagi kami bisa menemukan seorang tokoh nasional yang tak sedikitpun ingin memanfaatkan namanya untuk sekedar memotong antrian ruang tunggu rumah sakit, atau memperoleh seat vvip ketika bepergian. Pernah miskin tak membuatmu lalu serakah ketika kesempatan terbentang luas. Segala kepahitan hidup tak membuatmu ingin membalas dendam pada kehidupan dengan memanfaatkan situasi demi keuntungan pribadi. Tak hanya dirimu, engkau didik keluargamu kuat menjalani laku hidup sejalan denganmu. Kemana lagi kami harus mencari semua teladan itu.

Baca juga :  Indonesia Abad ke-20 : Perjuangan dan Perkembangan Di Era Kemerdekaan

Ah Buya, mungkin kami yang terlalu bebal dan tidak tau diri. Usiamu sudah 86 tahun. Tak terhitung teladan dan ajaran yang sudah kau contohkan untuk kami ikuti. Saat Buya sudah lelah, kami masih saja mengharapmu terus tegak dan hadir menopang kami, menjadi suluh dan penerang bagi kami. Padahal kami yang bebal ini tak segera bertambah pandai karena malas belajar dan menempa diri. Betapa bodoh dan meruginya kami, Buya.

Selamat jalan, Buya Syafii Maarif. Insyaallah lapang jalan Buya. Inna insyaallahu bikum lahiqun. Allahumaghfirlahu…

*Warga Persyarikatan Pengagum Buya, tinggal di Pati

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *