Oleh Hilal Madjdi (Ketua PDM Kudus)
Di masa lalu, ketika kita ingin makan pecel di siang hari, kita nunggu si mbok bakul pecel lewat rumah kita sambil teriak “pecel-rujak cungor,.. “. Kita lantas berlarian keluar rumah sambil teriak, “mbok…., pecel… “
Juga ketika kita ingin membeli sate, bakso dan apapun. Kita menunggu bakul yang jualan lewat atau pergi ke warung penjual. Semuanya kita proses dalam sebuah transaksi fisik, “head to head” atau “mouth to mouth”.
Fenomena seperti itu saat ini sudah mulai terkikis secara perlahan. Di beberapa negara maju seperti USA, terkikisnya “physical transaction” sudah mulai nampak sebelum 19 covid pandemy. Beberapa Mart besar yang pernah saya pakai untuk kongkow-kongkow weekend sewaktu saya dapat beasiswa di sana sekarang tinggal nama.
Mart- mart besar tergulung oleh dahsyatnya jaringan maya yang mampu meluluh lantakkan pernak-pernik aktivitas fisik manusia. Dan ironisnya, kita semua tahu bahwa dunia kapitalistik itu bertekuk lutut pada segenggam produk teknologi yang di Imdonesia bahkan juga menjadi mainan harian anak- anak.
Mengubah Mindset
Perubahan yang bagai serangan badai taifun ini mau tidak mau perlu segera disikapi dengan mengubah mindset, bahwa dunia dengan segala dinamikanya tidak lagi tersekat oleh batasan-batasan fisik, ruang dan waktu. Begitu juga perlu dipahami bahwa sekat -sekat non fisikal dan non dimensional itu juga dibuka dengan kunci-kunci yang tidak kasat mata pula.
Sebagai contoh sederhana, seorang mahasiswa saya tak kunjung menyelesaikan skripsnya dan mengatakan bekerja selama satu semester. Perolehamya puluhan juta tanpa ada “usaha” fisikal dengan demensi yang jelas. Ia hanya memanfaatkan gagdetnya dan melakukan akomodasi dan kolaborasi dengan dunia maya.
Mahasiswa yang satunya lagi mengaku berbisnis pakaian, menghasilkan “cuan” puluhan juta juga tanpa pernah bertemu secara fisik dengan para pelanggannya. Ia tak punya ruang (baca toko) untuk memajangkan barang dagangannya. Ia hanya menitipkan gambar dan video pada aplikasi tiktok yang ngetrend pada peradaban manusia modern.
Maka tak ada pilihan lain kecuali move on. Yang harus dipikirkan awal dalam memulai bisnis bukan lagi tempat dalam konteks ruang, tapi justru letrampilan untuk berkolaborasi dengan dunia yang tak bisa disentuh atau diraba secara fisik.
Menjelajah Dunia Maya
Konsiderasi yang sebaiknya segera dipertimbangkan adalah bagaimana ke depan Pimpinan Persyarikatan memberdayakan jamaahnya agar berjaya dalam berbisnis melalui dunia maya. Pemikiran paling sederhana untuk memberi alasan atas ide ini adalah semakin menyempit dan mahalnya demensi ruang dan waktu secara fisik semakin menyempit. Sementara dunia maya semakin melebar dan mengembang tanpa batas.
Ketakterbatasannya dunia maya tentu saja akibat dari digitalisasi kehidupan yang begitu pesatnya sampai ke poin 5.0. Bukan tidak mungkin pula poin itu akan bermigrasi ke poin-poin di atasnya lagi.
Oleh karena itu, pemberdayaan jamaah memang perlu segera dimulai dari pentingnya teknologi di era 5.0 ini.
Tentu pelatihan dan penguatan gerakan terhadap penguasaan teknologi 5.0 perlu menjadi sekala prioritas. Sebab ke depan kita tak lagi akan bangga dengan term-term semacam “tokomu” atau MuMart yang berdimensi ruang secara fisik material.
Ke depan kita akan bangga dengan narasi “berkemajuan” dalam makna yang sebemarnya. Sebab Muhammadiyah yang berkemajuan pada hakekatnya tidak disekat dengan batasan-batasan fisik. Bermuhammadiyah yang berkemajuan adalah berselancar secara luas dalam dinamika kehidupan yang secara performasi modern diindikasikan salah satunya oleh ketrampilan jamaahnya dalam merespon digitalisasi kehidupan itu sendiri.