Oleh M. Hasan Syamsudin, M.I.P.
Aktivis Muhammadiyah
Sebagaimana dipahami oleh mayoritas warga Muhammadiyah dalam berbagai level khususnya di level akar rumput, Muhammadiyah seringkali dipahami sebagai sebuah organisasi sosial keagamaan yang sama sekali tidak memiliki sangkut paut dengan dunia politik. Dalam pemahaman yang paling ekstrim, warga Muhammadiyah seringkali jatuh pada pemahaman Muhammadiyah anti politik terlebih politik elektoral atau politik kepartaian. Pemahaman ini menjadi sangat lumrah mengingat spirit didirikannya Muhammadiyah bukanlah untuk tujuan politik kekuasaan dan memang bukan organisasi partai politik, meskipun pengalaman empirik menunjukkan baik secara institusional maupun personal Muhammadiyah selalu aktif dalam merespon persoalan politik yang dinamis dari waktu ke waktu bahkan sejak organisasi ini didirikan di tahun 1912.
Respon politik secara institusional tersebut setidaknya dapat dilacak dalam berbagai dokumen resmi Muhammadiyah meliputi dokumen Mukaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah, Matan Kepribadian Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Khittah Perjuangan Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, hingga Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Adapun respon politik secara personal dapat dilacak dari keterlibatan kader-kader Muhammadiyah dalam dunia politik sejak Muhammadiyah didirikan seperti keterlibatan murid K.H Ahmad Dahlan, H. Fachrudin dalam Sarekat Islam (SI) yang kemudian berubah menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) tahun 1923, Keterlibatan Mas Mansur dalam pendirian Partai Islam Indonesia (PII) tahun 1938, keterlibatan segenap tokoh-tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Abdul Kahhar Muzakkir, K.H. Faqih Usman, Mr. Kasman Sigodimedjo, H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA), dan H.A. Malik Ahmad dalam pendirian Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) tahun 1945, hingga keterlibatan Djarnawi Hadikusumo dalam pendirian Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) tahun 1968.
Rentetan respon politik institusional maupun personal di atas menunjukkan bahwa Muhammadiyah bukanlah organisasi yang anti bahkan buta terhadap dinamika politik yang berkembang sejak Muhammadiyah didirikan tahun 1912. Apabila di era-era sebelum tahun 1971 Muhammadiyah belum memiliki posisi dan panduan yang cukup jelas menyangkut hubungan Muhammadiyah dan politik, dimana hubungannya lebih dipengaruhi oleh sikap politik personal tokoh-tokoh Muhammadiyah, maka semenjak tahun 1971 melalui Muktamar Ujung Pandang yang menghasilkan Khittah Perjuangan Muhammadiyah, Muhammadiyah mulai berani menegaskan hubungannya dengan politik. Melalui Khittah tersebut, Muhammadiyah menegaskan “tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari suatu partai politik atau organisasi apapun”. Meskipun demikian, terdapat catatan bahwa “setiap anggota Muhammadiyah, sesuai dengan hak asasinya, dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah”. Catatan di atas setidaknya memberi sinyalemen bahwa Muhammadiyah memberikan cukup ruang bagi para kadernya untuk berdakwah melalui jalur politik elektoral atau politik kepartaian sejauh tidak bertentangan dengan AD/ART dan ketentuan Persyarikatan.
Adanya sinyalemen pemberian ruang bagi aktivitas politik juga dicerminkan dalam Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah tahun 2000. Sinyalemen tersebut semakin menguat dengan adanya himbauan secara eksplisit bagi warga Muhammadiyah yang berpolitik atau politisi Muhammadiyah untuk berpolitik dengan menjunjung tinggi kesalehan, sikap positif, guna terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Politisi Muhammadiyah tentu tidak sekedar menjadikan aktivitas politik sebagai mata pencahariannya semata, namun menjadikan politik sebagai media dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah. Tidak hanya ditujukan kepada kader politisi Muhammadiyah semata, warga Muhammadiyah pada umumnya juga tetap diberikan kebebasan untuk menggunakan hak pilihnya dengan mempertimbangkan misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar Muhammadiyah. Pertimbangan pilihan politik yang dilandasi oleh pertimbangan misi dakwah Muhammadiyah di atas mencerminkan bahwa warga Muhammadiyah adalah warga yang taat pada azas Persyarikatan.
Selain dua dokumen di atas, kelonggaran sekaligus pengakuan atas pentingnya dakwah dalam dunia politik ditunjukkan melaui Khittah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Khittah Denpasar) hasil Sidang Tanwir Muhammadiyah Denpasar Tahun 2000. Dalam khittah tersebut Muhammadiyah tidak dapat mengingkari betapa pentingnya dakwah melalui politik, namun sekali lagi secara kelembagaan Muhammadiyah mengganggap perjuangan Muhammadiyah sebagai organisasi sosial keagamaan dinilai lebih tepat. Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa bagi individu kader Muhammadiyah yang telah terjun dalam dunia politik hendaknya “benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggungjawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah). Aktifitas politik tersebut harus sejalan dengan upaya memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan dakwah amar makruf nahi munkar.
Uraian di atas setidaknya membantu memperjelas hubungan antara Muhammadiyah dengan politik baik secara kelembangaan maupun personal yang selama ini dianggap tabu. Secara kelembagaan, Muhammadiyah tidak akan pernah memutuskan satu dukungan politik atau mengikatkan dirinya terhadap partai politik tertentu bahkan berubah menjadi partai politik, namun demikian sebagai bagian dari individu atau kader, para kader Muhammadiyah diberikan kelonggaran untuk berdakwah melalui jalur politik dengan segenap persyaratan filosofis-ideologis dan administratif yang menyertainya. Berpolitik bagi kader Muhammadiyah sekali bukan untuk mengejar kekuasaan semata melainkan harus sejalan dengan misi dakwah Muhammadiyah. Pertanyaannya kemudian, apabila kader Muhammadiyah terjun dalam politik praktis, apakah lantas Muhammadiyah tidak memikirkan sama sekali nasib masa depan kader-kader politiknya?. Tentu tidak, sejauh kader dapat memposisikan diri dan taat pada azas organisasi, maka butuh kebijaksanaan sekaligus kreativitas dari para pimpinan Muhammadiyah khususnya di level daerah untuk turut memikirkan para kader-kadernya yang berdakwah melalui lapangan politik. Mengakhiri tulisan ini, Pemilu serentak tahun 2024 pada dasarnya merupakan momentum besar bagi Muhammadiyah terlebih Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) untuk bisa memanfaatkan momen tersebut dengan baik setidaknya agar akses politik bagi Muhammadiyah tetap terbangun sehingga misi dakwah amar ma’ruf nahi munkar dapat terus berlangsung. Melewatkan kesempatan tersebut secara tidak langsung menempatkan Muhammadiyah hanya sebagai penonton yang hanya berdiri di luar pagar stadion pertandingan olahraga terbesar lima tahunan. Wallahualam bish-shawab