Penulis: Arif Nur Kholis, Sekretaris MDMC
Muhammadiyah melalui berbagai elemen yg dikoordinasikan Pos Koordinasi PDM Cianjur mulai mengawal berdirinya hunian yg disebut sebagai Hunian Darurat berbasis keluarga. Dimulai dari relawan jawa tengah dan berbagai relawan daerah lainnya yg melalui rembug warga telah menyepakati jumlah dan lokasi Hunian Darurat berbasis keluarga ini. Hunian ini didesain berbentuk hunian sederhana dengan atap dan dinding terpal, dengan kerangka rumah menggunakan bambu. Inisiasi menyegerakan pembangunan hunian darurat berbasis keluarga ini salah satunya untuk mempercepat pengakhiran hunian darurat yang bersifat komunal.
Hunian darurat komunal ini merupakan langkah taktis untuk menyediakan hunian bagi penyintas bencana yang penyediaannya bisa lebih cepat. Satu tenda besar digunakan 20-15 kepala keluarga, misalnya. Namun hunian darurat komunal ini sebaiknya tidak terlalu lama. Sebaiknya paling lama seminggu atau sepuluh hari, karena berkumpulnya banyak keluarga dalam satu tenda besar bila terlalu lama tidak baik untuk berbagai kepentingan. Termasuk dukungan psikososial bagi anak, perempuan dan kelompok rentan yang memerlukan privasi, bagian dari martabat seseorang dan keluarga.
Belum lagi untuk penyintas yang memiliki alasan keagamaan seperti penerapan konsep aurat, juga penerapan konsep kesucian badan, perangkat dan tempat ibadah. Agama memberi kelonggaran, namun psikis seorang penganut agama tentu akan terbantu bila bisa menerapkan tuntunan agama seideal mungkin.
Dalam konteks pencegahan kekerasan seksual, pencegahan eksploitasi anak dan pencegahan berbagai tindak kekerasan lain tentu akan lebih mudah dilakukan bila hunian darurat sudah berbasis keluarga , bukan komunal.
Desain yang dibuat tim Muhammadiyah juga dibuat dengan tinggi seperti rumah tinggal warga, berbeda dengan tenda keluarga yg biasanya tidak bisa untuk berdiri. Tenda keluarga dlm respon awal juga langkah yang sangat baik untuk disebarkan, namun minggu kedua permukiman darurat sebaiknya dicari alternatif yang lebih tinggi untuk menerapkan prinsip “mempromosikan kondisi normal” bagi penyintas.
Lantas tenda komunitas dibuat apa kalau penghuninya sudah pindah ke tenda/hunian keluarga?
Tenda besar bisa digunakan banyak fungsi. Seperti utk kegiatan warga sebagai pengganti balai RT/RW, bisa untuk masjid darurat, bisa untuk pusat kegiatan anak, bisa untuk ruang belajar sekolah darurat yg ramah anak, dan sebagainya.
Demikian sedikit cerita saja sekalian menjawab pertanyaan teman teman mengapa Muhammadiyah semacam “niat banget” segera menginisiasi pembangunan hunian darurat berbasis keluarga. Dan dalam pantauan saya melalui media sosial inisiatif ini juga sudah banyak lembaga yg melakukannya di lapangan.
Hunian Darurat berbasis keluarga ini merupakan pengamalan buku Fikih Kebencanaan Muhammadiyah pada BAB : Hak Hak Korban Bencana. (Saya usulkan edisi revisi utk mengganti kata korban menjadi penyintas).
Hunian Darurat ini ditarget bisa digunakan dalam waktu dua bulan saja, selanjutnya sebaiknya dilanjut dengan Hunian Sementara berupa rumah – rumah semi permanen yang diproyeksikan untuk digunakan dalam satu tahun. Nah idealnya setelah satu tahun tinggal di Hunian Sementara, keluarga penyintas pindah ke Hunian Tetap. Hunian permanen utk penyintas sebagai bagian dari program Rehabilitasi Rekonstruksi yg seharusnya dibiayai negara lengkap dengan jaminan hukum kepemilikan bangunan dan lahan.