Faiqul Riyan Anggara*
Ramadan telah usai, bulan suci yang mana umat muslim memfokuskan diri pada ibadah dan segala usaha meningkatkan amal sholeh telah berlalu. Tetapi suasana Ramadan tahun ini agaknya cukup berat bagi umat islam di Indonesia. Hal tersebut lantaran banyaknya problematika sosial yang hadir di tengah kekhusyukan beribadah selama satu bulan tersebut. Melonjaknya harga bahan pokok terutama minyak goreng, pangan, bahkan BBM. Tak lupa persoalan naiknya PPN yang membuat resah kalangan masyarakat.
Mahasiswa Muhammadiyah yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah atau IMM, merupakan salah satu gerakan di ranah civil society tentu di haruskan memiliki peran lebih dalam menyikapi problematika sosial tersebut.
IMM Menopang Civil Society
Menurut Gramsci, civil society adalah kalangan yang berada di tengah antara penguasa dan kaum menengah ke bawah untuk menjadi weapon of the weak atau kendaraan kaum marjinal dalam berhadapan dengan pemerintah. (Fauzi Fashri, 2008).
Kader IMM diharuskan mampu menampung, memahami, dan menganalisa aspirasi masyarakat untuk kemudian dinarasikan dalam bentuk narasi perlawanan dan kritik kepada pemangku kebijakan agar segera menyelesaikan problematika tersebut.
Sayangnya hari ini autokritik diberikan pada gerakan mahasiswa termasuk IMM yang dinilai belum mampu meleburkan diri pada gerakan masyarakat kelas bawah yang menjadi korban langsung kebijakan pemerintah. Kritik tersebut salah satunya di sampaikan oleh seorang Instruktur Madya IMM Jateng IMMawan Abdul Ghofur melalui media sosialnya.
“Hari ini gerakan dan aksi mahasiswa telah mendikotomi gerakan masyarakat. Kalangan masyarakat sipil tidak lagi dilibatkan dalam setiap usaha konsolidasi aksi mahasiswa. Alasannya takut ditunggangi dan semacamnya. Padahal perlibatan masyarakat dalam menyerap aspirasi sangat penting dalam pengadaan tuntutan yang murni dan konkret dalam mewakili masyarakat terdampak.”
Fakta di lapangan pun senada dengan kritik tersebut. Banyak aksi demonstrasi mahasiswa yang tidak melibatkan masyarakat sipil dengan alasan takut aksi akan di tunggangi. Alhasil masyarakat sipil seperti serikat buruh, pedagang, dan lainnya tidak turun kejalan bersama mahasiswa.
Senada dengan hal tersebut, Ujang Komarudin selaku pengamat Politik Universitas Al-Azhar Jakarta melalui laman media CNN Indonesia pada 12 April 2022 mengatakan mahasiswa dalam menggalang kekuatan untuk melawan kekuasaan akan lebih kuat jika beraliansi dengan masyarakat sipil secara langsung.
Gagapnya mahasiswa terhadap masyarakat sipil kurang lebihnya karena budaya parlente dan hedonisme yang menyelimuti mahasiswa saat ini.
“Mereka lebih senang mengurung diri di kampus, cafe, dan tempat semacamnya tetapi jarang untuk berbincang di pasar, bertemu petani, ataupun jalanan” sambung IMMawan Ghofur.
Yang di khawatirkan dari kondisi tersebut adalah aksi mahasiswa tidak bisa sepenuhnya menampung aspirasi dan keresahan yang sejatinya masyarakat rasakan. Hal tersebut lantaran tidak adanya usaha dialog langsung dengan masyarakat sipil.
Jika di rasa Mahasiswa masih belum siap mental untuk terjun ke pasar dan sebagainya untuk berdiskusi langsung, sebenarnya ada alternatif lain yang dapat di coba oleh mahasiswa terkhusus IMM yaitu masjid.
Masjid Sebagai Alternatif Serap Aspirasi Masyarakat
Masjid umumnya dikenal sebagai tempat beribadah umat muslim untuk berhubungan kepada Allah. Mulai dari salat, dzikir, i’tikaf, membaca Al-Qur’an dan lain sebagainya. (Syamsul Kurniawan, 2014).
Selain itu masjid juga di anggap sebagai tempat untuk memelihara taqwa. Yaitu untuk menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi pula larangannya demi menjaga diri dari siksaan. (Ahmad Umar Hasyim, 2007).
Tapi lebih daripada itu, sejatinya dahulu masjid juga dapat difungsikan sebagai sarana kegiatan sosial seperti pendidikan, pengajian, dan memiliki peran politis seperti pusat pemerintahan, administrasi negara, dan juga permusyawaratan politik. (Ensiklopedia Hukum Islam, 2000).
Jadi akan sangat wajar jika masjid kita fungsikan sebagai sarana diskusi kultural terkait sosial dan politik. Termasuk problematika sosial yang telah di singgung di atas, kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat dapat dijadikan sebagai diskusi kritis politik di lingkungan masjid.
Mungkin akan muncul pertanyaan apakah baik jika memasukan urusan politik di dalam masjid?
Pada masa keemasan Islam hal-hal terkait bidang politik di anggap telah menyatu dengan masjid. Justru saat urusan politik di jauhkan dari masjid, kondisi tersebut terjadi di saat kemunduran islam mulai berlangsung. (Yusuf Qardlawi, 2002).
Penulis sendiri menjumpai cukup seringnya diskusi masjid baik pengajian, kultum tarawih maupun berbuka puasa selama bulan ramadan, membahas problematika naiknya harga bahan pokok, BBM, dan seterusnya.
Tak sampai di situ, beberapa jamaah juga asik berdialog dengan jamaah lain yang mana mereka juga memahami hal-hal baik terkait politik, kebijakan, harga pasar, dan lainnya. Kondisi tersebut dirasa wajar karena di masjid semua orang dengan berbagai macam latar belakang akan berkumpul.
Dari sinilah mahasiswa harusnya dapat turut memakmurkan masjid serta menjadi jalan alternatif demi memahami segala keresahan dan pendapat masyarakat terkait berbagai hal terutama problematika sosial.
“Dahulu, masjid tidak hanya dijadikan sebagai tempat ibadah. Namun menjadi pusat peradaban baik terkait keilmuan, diskusi problematika sosial, bahkan sampai perencanaan strategi perang. Hari ini mahasiswa bisa menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat serap aspirasi tetapi juga ladang kaderisasi dalam usaha melakukan perubahan sosial” jelas IMMawan Ghofur.
*Sekbid Kader PC IMM Kudus