Oleh Achmad Hilal Madjdi
Gerakan dan perputaran kehidupan manusia saat ini hampir saja melibas dan memindahkan poros gerakan dari manusia sebagai sang pemimpin menjadi budak yang bahkan tidak jelas siapa tuannya. Pergeseran ekstrim itu terjadi lantaran kerangka kehidupan yang manusiawi telah berubah menjadi ladang kompetisi yang tak selalu dibingkai dengan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri. Lihat saja bagaimana Bangsa ini ramai dan riuh rendah dengan beragam jenis “perebutan”, tidak saja untuk meraih posisi penting dalam suatu system ketatanegaraan, tapi juga sekedar untuk ngurusi hal-hal yang remeh temeh.
Dalam sejarah kehidupan manusia, kompetisi adalah suatu fitrah yang melekat pada entitas manusia itu sejak dari proses penciptaannya. Ketika kedua orang tua kita menjalankan ritual suci untuk meneruskan keturunan dalam bingkai penghambaan (baca ibadah) kepada Sang Khaliq, kompetisi itupun sebenarnya sudah dimulai. Yang pertama, dengan berdoa seperti yang dituntunkan Rasulullah, mereka telah memenangkan kompetisi melawan syetan yang ingin berpartisipasi dalam ritual suci itu.
Selanjutnya, dalam proses ovulasi, jutaan sel berkompetisi secara adil dan terbuka untuk menempati tahta terhormat dalam ovum. Namun kompetisi ini berakhir begitu sebuah sel telah mencapai tahta itu. Tak ada komplain karena memang tak pernah ada pelanggaran kode etik atau pelanggaran lainnya meski jumlah peserta kompetisi mencapai jutaan dan bergerak dalam track yang sama. Tak ada rekayasa tata ruang, material dan waktu karena proses itu berjalan dalam suatu ritme yang sangat alamiah, teratur dan terukur. Semuanya berakhir dengan manis dan berlanjut dengan proses penataan, pengembangan dan pembinaan yang sangat komprehensif, sinergis dan suci.
Pada fase berikutnya, kelanjutan dari kompetisi suci itu adalah ditiupkannnya ruh kehidupan yang kemudian memberikan persaksian tentang eksistensi Sang Khaliq. Inilah persaksian yang membenarkan fitrah kemanusiaan, yang jika diingkari oleh manusia setelah manusia itu turun ke bumi, pasti akan menimbulkan permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang pada akhirnya merugikan manusia dan alam semesta. Dengan demikian, kerusakan di muka bumi, apapun bentuknya, adalah akibat dari polah tingkah sang mahluk.
Karenanya, jika kita ingin belajar berkompetisi secara jujur, adil dan bermartabat, tentu kita tak perlu bertanya kepada petinggi FIFA di Swiss. Tak perlu gegap gempita membuat Pansus, Panja atau hak Angket yang performasinya tidak pernah jelas. Kita tak perlu pula menengok bagaimana Amerika Serikat membangun demokrasi, karena proses demokratisasi di Amerika sangat Panjang dan bahkan harus melalui perang saudara pula. Yang kita perlukan sebenarnya adalah belajar dari proses penciptaan diri sendiri yang begitu adil, suci, terhormat dan bermartabat.
Catatan akhir dari proses penciptaan manusia adalah lahirnya seorang anak manusia. Ia hakekatnya adalah “seorang sel” pemenang, yang mengalahkan jutaan sel lainnya, yang tak lain dan tak bukan sebenarnya adalah sel pemenang itu sendiri, karena jutaan sel yang tersingkir itu adalah bagian yang tak pernah bisa dipisahkan dari diri sel pemenang. Mungkin, lantaran itu, ia tak pernah lahir sambil tertawa lebar layaknya seorang pemenang. Tampaknya ia sadar betul bahwa yang dikalahkannya bukanlah orang lain. Ia lahir dengan jeritan tangis yang hanya dia sendiri yang tahu maknanya. Manusia di sekelilingnyalah yang justru tersenyum dan tertawa menyambut kelahirannya.
Dengan demikian, pada dasarnya, setiap manusia adalah sang pemenang terhormat. Ia sama sekali tidak pantas memiliki karakter pecundang yang menciderai martabat kemanusiaannya seperti mudah putus asa, menyerah sebelum berusaha, serakah, munafik, tidak jujur dan lain- lain karakter negative seperti yang sekarang secara jelas menghiasi perilaku manusia.
Karakter- karakter negative itulah yang disebut Rasulullah sebagai hawa nafsu, yang harus diperangi. Perang ini sesungguhnya menghadirkan lawan yang sangat “destruktif”, tapi tampak sangat bersahabat. Sebab nafsu senantiasa beraura keindahan, kelezatan dan kenyamanan hidup. Ironisnya, manusia dituntut untuk selalu menang melawan itu semua. Seusai perang badar, Rasulullah SAW mengatakan kepada para sahabat, bahwa akan ada perang yang lebih dahsyat daripada perang yang baru saja diajalani. Dan ketika para sahabat bertanya, beliau menjawab singkat, perang melawan diri sendiri, melawan hawa nafsu yang selalu bersemayam di dalam dada, darah, urat dan nadi kita.
Perang melawan hawa nafsu dalam konteks situasi dan kondisi yang akan selalu kita jalani sehari-hari sebaiknya tidak saja dimaknai sebagai konteks di mana rutinitas kehidupan dijalankan kembali, tetapi sebagai konteks di mana perang dahsyat melawan hawa nafsu harus dapat dikelola secara baik. Harapannya setiap hari akan akan lahir manusia-manusia pemenang yang benar- benar suci lahir dan bathinnya. Dengan kata lain, jika ingin tetap menjadi pemenang, manusia tak harus berpikir untuk mengalahkan orang lain. Sebab pemenang sejati, seperti “sel pemenang” dalam proses ovulasi, adalah yang bisa mengalahkan dirinya sendiri. Jutaan kompetitor sebenarnya, justru berada di dalam dan selalu menyertai dirinya, kemanapun kaki melangkah, bagaimanapun hati merasai, apapun mata melihat, dan apapun mulut berkata-kata.
Jika semua itu dikaitkan dengaan dinamika komunikasi dan interaksi dengan sesama manusia, maka sesungguhnya sang pemenang adalah sang pemimpin- “kholifah fil ardl” yang mempunyai hak, wewenang dan tanggung jawab terhadap diri sendiri dan sesama. Di sini berlaku hukum baku “khoirunnaas ‘anfa’uhum linnas”. Sang pemenang yang sekaligus sebagai sang pemimpin tentu akan beraktivitas dengan bingkai rahmatan lil ‘alamiin, di mana semua yang negative akan dilihat dengan kaca mata positif, dan semua yang memandang dirinya negativepun kemudian diterima dengan sikap tawadlu’ dan tawakkal kepada Sang kholik.