Opini

Lari

Lari

Oleh : Wildan Sule Man*

Hal ini terjadi antara pukul enam hingga jam tujuh setiap pagi tiba, di depan rumah saya yang kebetulan berada dipinggir jalan raya. Pagi itu seperti biasanya jalanan terlihat ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor, tampak juga anak sekolah berjalan kaki dengan langkah langkah mantapnya, orang orang bergegas dan berupaya “on time” sampai ke tempat kerjanya dengan kuda besi mereka. Dan rupanya sejak pesatnya alat transportasi, jalan raya semakin menemukan jatidirinya sebagai penampung putaran roda kendaraan yang berlari mengejar waktu, namun mesti dicermati pula, disana ada trotoar yang tak kalah pentingnya sebagai penyangga langkah langkah kaki manusia dalam menyemarakkan hari baru kehidupan.

Diantara wajah wajah yang bergegas itu, saya mendapatkan pemandangan yang unik, sekelompok siswa madrasah yang kebetulan lewat depan rumah saya menuju kampus mereka, terlihat menyunggingkan kegembiraan, dengan senyuman senyuman khasnya, meski dalam situasi tergesa para siswa putri masih sempat membenarkan posisi kerudungnya yang tanpa malu malu “ngaca” lewat kaca jendela rumah penduduk, Siswa lelaki tak mau ketinggalan, merekapun berkaca dengan merapikan gaya rambut masakininya. Syukurlah masih ada sedikit rasa rilek yang dimiliki para pelajar diantara hiruk pikuk kesibukan demi kesibukan pagi itu.

Lari sepertinya sudah menjadi budaya jaman ini, sebab ia cepat maka banyak orang menyukainya supaya semua lekas sampai dan selesai. Namun Ternyata lari bukan hanya sebagai aktivitas manusia belaka, lari juga berlaku untuk waktu, hari, bulan bahkan tahun. Saat ini kita merasakan waktu berlari begitu cepat, kemarin baru hari ahad tak terasa sudah bertemu hari ahad lagi, kemudian keesokan harinya kita berjumpa hari senin, seketika kesibukan demi kesibukan kita mulai lagi di hari itu, begitu seterusnya, lari dan lari lagi.

Baca juga :  RAKERNAS OLIGARKI, RAKERNAS PARPOL dan RAKYAT Bisa Apa?

Ya. mereka semua berlari, Para guru berlari dengan mengejar materi ajarnya sekaligus administerasi-administerasinya, yang pebisnis lari dengan mengejar target untungnya, yang pak lurah berlari supaya dana pembangunannya tepat sasaran, yang mahasiswa lari cepat agar wisudanya bisa tepat waktu, yang pabrik juga sama, lari supaya produksinya meningkat dan meningkat, bahkan dikerjakan oleh karyawannya siang malam. Sangking cepatnya berlari seakan akan waktu sudah tak ada lagi, waktu cepat habis walau sejatinya waktu itu panjang dan bisa dinikmati oleh siapapun. Melihat kondisi semacam itu, sang penyairpun bertanya dalam sisi sisi baitnya. “mengapa? semua berkejaran dalam bising. Mengapa oh mengapa? sejuta wajah dilibatkan dalam himpitan kegelisahan”. Kenapa ada Kegelisahan? sebab mereka akhirnya merasa lelah usai berlari.

Lantas apa yang harus kita lakukan?. Jawabannya adalah aplikasikan Jeda Kehidupan. Tidak ada yang melarang kita “berlari” menuju tempat menjemput rejeki sebagai usaha menyambung penghidupan, tak ada yang menilai buruk jika ikut serta dalam arena “lari” di panggung dunia ini, hanya jangan sampai lalai, bahwa jeda untuk bernafas sekaligus memulihkan tenaga juga perlu kita lakukan. Maka istirahatlah sejenak mengatur ritme nafas jasmani, supaya badan segar dan bersiap untuk berlari kembali. Dan ingat petuah para kyai kita, agar bergegas untuk mengambil air segar dan berwudhu, lalu langkahkan kaki menuju ke masjid bila seketika terdengar undangan kehormatan “hayya ala sholaah”, barangkali disana akan ditemukan jeda kehidupan yang mujarab bagi jiwa dan batin kita dijaman yang sarat dengan hingar bingar yang melenakan sekaligus melelahkan ini. Dengan laku rukuk dan sujudnya, iktidal dan takhiatnya, takbir dan salamnya, jiwa kita akan bernafas dengan segar, hingga bersiap untuk berlari lagi dengan bekal kurikulum ilahi tentunya, berlari untuk lillah bukan lelah.

Baca juga :  Bambu

Wal Akhiran muncul pertanyaan kepada saya. Wahai “mas penulis”, sudahkah anda menggunakan fasilitas “jeda kehidupan” berupa lima waktu ibadah itu?. atau malah sering telat lantas berlari lari menuju masjid?. terus terang saya malu menjawabnya. Wallahu A’lam bishowab.

*Penulis Amatir.

Related posts
Opini

Rekening Abadi

Oleh: Joko Intarto Tidak banyak orang yang seperti dia: Panjang usianya, sejahtera pada masa…
Read more
Opini

Idulfitri

Oleh : Wildan Sule Man Tulisan ini saya hadirkan sebab sebentar lagi Ramadhan 1445 H akan segera…
Read more
Opini

Ber-Idul Fitri (Bukan) Hanya Saling Memaafkan

Oleh : Syahirul Alem – Pustakawan SMP Muhammadiyah 1 Kudus Idul Fitri merupakan hari raya…
Read more
Newsletter
Become a Trendsetter
Sign up for Davenport’s Daily Digest and get the best of Davenport, tailored for you.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *