Oleh Gus Zuhron
Mengawali pembicaraan ustadz Jam’an menukil surat Ali Imran ayat yang ke 26. “Katakanlah (Muhammad), “Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki”. Mendengar lantunan kalimat itu tiba-tiba hati ini bergerimis, entah kenapa, seperti ada getaran luar biasa yang masuk ke dalam sanubari. Kata-kata yang mengalir begitu runtut, indah, sistemik, sederhana namun mendalam menjadi nasihat penyempurna pembicaraan malam ini. Penjelasan Kiyai Jam’an tentang ayat Tuhan di atas seolah-olah baru saya dengar. Rasanya seperti saat pertama kali Nabi menerima wahyu di Gua Hira, padahal sejatinya ayat itu sudah sering dibaca dan diperdengarkan. Mungkin karena disampaikan diwaktu yang tepat dan oleh orang yang tepat, sehingga memiliki cita rasa yang berbeda.
Pesan Kiyai Jam’an itu jika dirumuskan setidaknya ada dua substansi. Pertama, kekuasaan yang dipegang seseorang itu ada batasnya dan tidak lepas dari ketetapan Tuhan. Sehebat apapun orang ingin mendapatkan kekuasaan, jika Allah tidak berkehendak maka tidak akan tercapai. Begitu juga mereka yang berusaha mempertahankan kekuasaan dengan segala energi dan kekuatan yang dimiliki. jika memang sudah saatnya turun maka pasti akan turun. Diberi kekuasaan atau dicabutnya kekuasaan adalah bagian dari sekenario semesta yang oleh Allah telah diatur dengan begitu dinamis. Dalam perjalanan sejarah bukankah kita sudah banyak menyaksikan betapa orang-orang yang berusaha abadi dalam tahta dan kuasanya pada akhirnya harus tersungkur. Ada yang lengser karena politik, turun tahta karena moralitas, dikudeta oleh militer, termakan usia, terbunuh, atau turun wajar karena memang telah mencapai batas waktunya.
Kiyai Jam’an seperti mengingatkan kita bahwa jangan pernah menggengam kekuasaan itu hingga masuk ke dalam hati, cukuplah berada ditangan, sebab jika pada akhirnya kekuasaan itu harus hilang tidak perlu terasa sampai ke hati, ringan untuk melepaskan dan nyaman untuk ditinggalkan. Tidak perlu berdarah-darah meratapi kenapa kuasa itu begitu cepat berlalu, tidak usah bangga menceritakan prestasi yang pernah diraihnya. Biarlah sejarah yang akan menceritakan kiprah dan perjalanan seseorang dengan segala dinamikanya, biarlah waktu yang akan berbicara apakah para pelaku gerakan itu pantas diapresiasi atau sebaliknya.
Kedua, sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Menjadi bagian dari persyarikatan itu tidak harus selalu berada dalam jalur struktural. Ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk tetap berada dalam garis perjuangan yang sama. Muhammadiyah itu adalah wasilah dalam rangka menegakkan Islam yang sebenar-benarnya. Untuk menjaga keberlangsungan Muhammadiyah maka dibutuhkan regenerasi, karena dengan jalan regenerasi estafeta kepemimpinan dalam organisasi akan terjadi. Sebelum patah telah tumbuh sebelum hilang telah berganti. Itulah prinsip kaderisasi yang dipegang kuat oleh orang-orang yang sadar bahwa kebadian itu tidak mungkin terjadi. Ini senada dengan yang disampaikan Mbah Abu “ nek aku isih dadi pengurus PDM trus gunane sik enom-enom koyo kono kui opo”.
Mbah Abu dan Kiyai Jam’an mengajarkan sesuatu yang begitu berharga. Orang harus tahu kapan saatnya berhenti, bukan untuk pensiun tanpa berbuat apa-apa, tetapi menempuh sisi lain dari perjuangan yang mungkin diabaikan oleh bannyak orang. Para begawan Muhammadiyah ini telah meletakkan fondasi perjuangan yang kokoh dan monumental. Cara mereka memandang dan memperlakukan Muhammadiyah bisa jadi tidak akan tergantikan. Namun setiap zaman ada manusianya dan setiap manusia memiliki zamannya. Yang harus dilakukan hari ini adalah mengambil spirit perjuangannya dan dikontektualisasikan sesuai dengan masanya. BISMILLAH…