Oleh Mu’arif
Tanya jawab agama yang berlangsung di majalah Suara Muhammadiyah (SM) ini menarik untuk dicermati. Pertanyaan dari Saija, seorang pembaca setia majalah SM dan sekaligus warga Muhammadiyah di Prembun. Pertanyaan dijawab langsung oleh Pemimpin Redaksi SM (Hoofdredacteur SM) yang sekaligus menjadi ketua di jajaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah (Hoofdbestuur Muhammadiyah). Ada empat poin pertanyaan dan saya lebih tertarik untuk menukil satu pertanyaan yang unik ini, yaitu tentang hukum merokok (Mohon dibaca sampai tuntas agar tidak salah paham!)
Hukum Rokok: Makruh
“Dari sebab sjak hati saja kepada hal terseboet di bawah ini, sedang kediaman saja djaoeh dari Oelamaaoerosjidin, terpaksalah saja mintak soeloeh kepada T. Hoofd Red. S. M. agar soepaja benderanglah penglihatan saja, sebeloem dan sesoedahnja saja mengoetjap seriboe banjak terima kasih, beserta memoedji Alhamdoelillaahi Robbil ‘aalamien, jazaakallohu bilchoir. Adapoen hal jang mendjadikan sjak dalam hati saja jakni: “Bagaimanakah hoekoemnja orang merokok? Maka pada pemandangan saja hampir semoea orang soeka merokok, sedang tembakaoe itoe ada padanja nicotine, jang dapat memboeat melarat pada badan, meskipoen hanja sedikit. Pada hal Djoendjoengan kita Kandjeng Nabi Moehammad saw telah bersabda: Maa aksara katsiroehoe fakoliloehoe haromoen. Artinja: djika barang banjak dapat memboeat maboek, meskipoen sedikit djoega haram; boekan?”
Pertanyaan tersebut langsung dijawab demikian: “Adapoen hoekoemnja orang merokok, itoe makroeh. Tentang makna hadis Nabi Moehammad saw terseboet itoe, artinja: mabok jang menghilangkan akal, seperti minoem ajer kata-kata. Adapoen maboek merokok itoe boekan maboek seperti maboek karena minoem ajer kata-kata (oetama djika dapat menghentikan).”
Demikian jawaban tegas dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah lewat salah satu media official-nya ketika merespon pertanyaan tentang status hukum rokok. Dijawab tegas: hukumnya makruh! Tapi tunggu dulu, peristiwa ini terjadi sekitar seabad silam, tepatnya pada akhir tahun 1923. Pada waktu itu, seseorang bernama Saija, seorang masnganten dari Prembun yang kebetulan adalah pelanggan setia majalah Suara Muhammadiyah (ejaan dulu: Soewara Moeahammadijah) melayangkan pertanyaan tertulis tentang empat hal: (1) hukum rokok, (2) air musta’mal, (3) hukum gaji pegawai bank, (4) tentang hadats besar (Soewara Moehammadijah No 11/th ke-4/1923).
Kebetulan nama rubrik di majalah Soewara Moehammadijah pada tahun 1923 mirip dengan nama rubrik di majalah SM saat ini, yaitu Tanya Jawab (Agama). Dulu, pengasuh rubrik ini langsung di bawah kendali Pemimpin Redaksi (Hoofdredacteur) yang pada waktu itu dipegang oleh Hadji Fachrodin (berbeda dengan sekarang yang diasuh langsung oleh tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah) yang juga menjabat sebagai vice voorzitter (wakil ketua) HB Muhammadiyah. Jawaban resmi HB Muhammadiyah pada waktu itu telah membolehkan rokok meskipun dengan status hukum: makruh. Berbanding terbalik dengan fatwa tentang status hukum rokok yang dikeluarkan Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah saat ini yang telah mengharamkan rokok.
Nah, sampai di sini, semoga anda yang baca artikel ini tidak terkecoh dengan judul di atas. Barulah kita mengernyitkan dahi mengkaji sebuah perspektif sejarah tentang kebangkitan nasional yang agak ‘kemebul’ (berasap).
Rokok, Kebangkitan Nasional, dan Muhammadiyah Kudus
Sebuah perspektif tentang kebangkitan nasional yang melibatkan peran pengusaha rokok/kretek perlu mendapat tempat dalam hal ini. Deliar Noer hanya menyebut komoditas batik yang membarengi momentum kebangkitan nasional dari kalangan saudagar muslim lewat organisasi Rekso Roemekso (Deliar Noer, 1996: 115 (catatan kaki no. 2). Tetapi beberapa peneliti asing justru menempatkan komoditas tembakau—selain batik—dalam proses terbentuknya kesadaran nasional, seperti van der Reijden (1935), Amen Budiman (1987), Karl J. Pelzer (1985), Sugijato Padmo (1999), dan Ali Marsaban, X.S.M. Ondang Nazar, Sagir Prawira Dirdja (1974).
Industri rokok kretek tumbuh sumbur sebagai ekses dari kebijakan politik tanam paksa (pertanian) dan kebijakan politik etis di bidang pengairan (pertanian) pada awal abad ke-20 sehingga perusahaan-perusahaan perkebunan tembakau tumbuh di mana-mana. Di luar pulau Jawa, perusahaan perkebunan tembakau yang sukses adalah Deli Maatschappij. Di pulau Jawa sendiri, perusahaan perkebunan tembakau yang cukup besar berada di wilayah vorstenlanden (wilayah kekuasaan Yogyakarta dan Surakarta), meliputi daerah Besuki, Blitar, Jember, Temanggung, dan Bondowoso (Margana, 2014: 40-43).
Dengan merebaknya lahan pertanian tembakau, ditambah lagi dengan meningkatnya nilai jual komoditas ini, para pengusaha bumiputra tumbuh sebagai aktor-aktor penguasa pasar domestik maupun nasional, menggeser peran para pengusaha kolonial. Apalagi, penemuan jenis rokok kretek berasal dari kalangan umat Islam yang pada mulanya diinisiasi sebagai sebuah formula obat sesak nafas (penyakit asma). Penemuan rokok kretek tidak bisa lepas dari kisah Haji Jamhari dari Kudus yang konon mengidap penyakit asma. Jamhari kemudian bereksperimen meracik obat sendiri menggunakan bahan baku tembakau yang harganya mahal pada waktu itu.
Dengan cara menggulung daun tembakau yang dicampur racikan cengkih, Jamhari menghisap rokok yang kemudian dikenal dengan sebutan kretek. Konon, setelah beberapa waktu mengkonsumsi kretek racikannya sendiri, Jamhari merasa sakit sesak di dadanya semakin reda.
Di sinilah kita perlu menggarisbawahi bahwa pertama kali rokok kretek dibuat bertujuan untuk mengobati penyakit nafas. Artinya, rokok kretek pada mulanya dinilai sebagai obat. Tetapi kini makna rokok kretek sudah bergeser. Kalau ada orang zaman sekarang yang bilang bahwa rokok kretek adalah obat, maka pasti akan ditertawakan orang. Tetapi memang begitulah fakta historis rokok kretek hasil racikan Haji Jamhari. Setelah Jamhari merasa yakin bahwa sakit asmanya reda karena mengkonsumsi rokok kretek, maka ia pun mulai memproduksi rokok kretek dalam jumlah yang banyak untuk dipasarkan di toko-toko obat di Kudus (S. Margana, 2014: 49).
Produk rokok kretek adalah hasil kreasi kaum bumiputra, khususnya dari kalangan umat Islam. Karena keyakinan bahwa rokok kretek dapat menjadi obat sakit asma, maka tidak sedikit tokoh-tokoh lokal maupun nasional yang terjun sebagai pengusaha rokok kretek. Sumber Margana mencatat beberapa tokoh nasional penting yang berprofesi sebagai pengusaha rokok kretek. Sampai memasuki akhir tahun 1930-an, menggunakan sumber laporan perjalanan Parada Harahap, Margana menjelaskan kehadiran pengusaha-pengusaha rokok kretek dari kalangan bumiputra, terutama dari kalangan umat Islam, telah merajai pasar nasional.
Beberapa pengusaha nasional yang dikenal dengan julukan “Raja Kretek” seperti Niti Semito, H.M. Muslich, H.Md. Noorchamid, M. Nadirun, H. Ashadie, dan H. Asikin. Tokoh yang terakhir disebut, menurut sumber Margana, adalah salah seorang aktivis Muhammadiyah Kudus yang berstatus sebagai pengusaha rokok kretek nasional. Selain pengusaha-pengusaha rokok kretek nasional, pengusaha-pengusaha lokal yang turut menggerakkan perekonomian lewat komoditas tembakau hasil racikan karya Haji Jamhari ini berhasil menopang gerakan-gerakan nasional. Mengutip sumber Lance Castles (1982), Margana (2014: 49) menyebut beberapa tokoh perintis gerakan keagamaan yang berlatarbelakang pengusaha rokok kretek. Seperti H.M. Abdul Kadir, pengusaha rokok kretek di Kudus, adalah salah satu pendiri Muhammadiyah setempat. K.H. Asnawie, salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama, adalah pengusaha rokok kretek. Begitu juga Haji Djoevri, pemimpin Sarekat Islam lokal adalah pengusaha rokok kretek.
Nah, inilah perspektif lain kajian kebangkitan nasional yang selama ini memang selalu dipinggirkan. Padahal, tidak hanya produk batik saja yang membarengi kebangkitan nasional kaum bumiputra. Produk tembakau yang pada awal abad 20 sangat populer juga turut mendongkrak perekonomian bangsa dan menjadi alat perlawanan industry kapitalis kolonial.
Sebelum kita akhiri artikel ini, mumpung masih ingat, ternyata sosok Hadji Fachrodin yang pernah menjabat sebagai Hoofdredacteur Soewara Moehammadijah dan vice voorzitter HB Muhammadiyah juga seorang pengusaha rokok kretek di kampung Kauman, Yogyakarta. Malahan beliau punya pabrik rokok kretek dengan merek terkenal: Tjap Merak! Saya kira, latar belakang praktik ekonomi tokoh yang satu ini turut mempengaruhi pikirannya ketika mengeluarkan fatwa bahwa rokok itu makruh.
*Pengkaji sejarah Muhammadiyah-‘Aisyiyah