Opini

Konsep dan Praktik Literasi Hijau: Sebuah Sajian Sederhana

Oleh: Alvin Qodri Lazuardy, M.Pd/ Ka. SMP AT TIN UMP Islamic Green School

Di tengah gemuruh peradaban yang terus melaju, sering kali kita lupa akan kehadiran alam yang diam namun penuh dengan kehidupan. Di sinilah, literasi hijau hadir sebagai pelita, membimbing manusia untuk kembali memahami, menghargai, dan bertindak selaras dengan alam. Tapi, apa sebenarnya literasi itu?

Apa Itu Literasi?

Kata “literasi” berakar dari bahasa Latin “litteratus,” yang merujuk pada seseorang yang terpelajar atau memiliki pengetahuan luas, terutama dalam sastra dan ilmu pengetahuan. Secara umum, literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, dan memahami teks dalam berbagai bentuk dan media, termasuk teks cetak, digital, audio, dan visual. Literasi tidak sekadar tentang membaca dan menulis; ia juga mencakup kemampuan untuk memahami, menafsirkan, dan menggunakan informasi dalam teks dan konteks tertentu.

Kenapa Menjadi Literasi Hijau? Apa Maknanya?

Literasi hijau membawa kita melangkah lebih jauh. Ia merujuk pada kemampuan seseorang untuk memahami, menghargai, dan bertindak berdasarkan prinsip-prinsip keberlanjutan dan pelestarian lingkungan. Literasi hijau mengajarkan kita untuk membaca tanda-tanda alam, menulis cerita keberlanjutan, dan mempraktikkan tindakan yang ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. Ia mencakup pemahaman tentang isu-isu lingkungan, tanggung jawab individu terhadap alam, dan kemampuan untuk mengambil tindakan yang berkelanjutan.

Baca juga :  Islam itu bukan Irasional, melainkan Supra-Rasional

Langkah Gerakan Literasi Hijau

Gerakan literasi hijau bukanlah sekadar slogan. Ia adalah serangkaian langkah nyata yang dimulai dari membaca, menulis, praktik pendidikan lingkungan, inovasi, hingga evaluasi. Proses ini kemudian kembali ke awal lagi dalam sebuah siklus yang terus menerus, memastikan bahwa setiap tindakan diiringi dengan refleksi dan peningkatan berkelanjutan.

Langkah pertama adalah Membaca. Ini melibatkan penyerap informasi tentang lingkungan dari berbagai sumber. Dengan membaca, kita bisa memahami isu-isu lingkungan secara mendalam, baik dari sudut pandang ilmiah, sosial, maupun praktis.

Setelah itu, datanglah tahap kedua, yaituMenulis. Di sini, kita mendokumentasikan pemahaman dan ide-ide kita untuk dibagikan dengan orang lain. Menulis bukan hanya tentang menyebarkan informasi, tetapi juga tentang menyusun pemikiran kita sendiri dan memperkuat komitmen terhadap pelestarian lingkungan.

Selanjutnya, kita masuk ketiga Praktik Pendidikan Lingkungan. Ini adalah tahap di mana pengetahuan yang telah kita peroleh dan dokumentasikan diterapkan dan disebarkan. Melalui praktik pendidikan lingkungan, kita mengajarkan dan mendorong orang lain untuk juga peduli dan bertindak demi kelestarian alam.

Baca juga :  Menebar Kebaikan di Era Disrupsi

Tahap keempat adalah Inovasi. Di sini, kita menciptakan solusi baru yang berkelanjutan. Inovasi adalah tentang mencari cara-cara kreatif dan efektif untuk mengatasi tantangan lingkungan, baik melalui teknologi, metode baru, atau pendekatan yang lebih efisien.

Tahap terakhir adalah Evaluasi. Ini melibatkan penilaian efektivitas tindakan yang telah kita ambil dan memperbaiki kekurangan. Evaluasi memastikan bahwa langkah-langkah yang kita lakukan benar-benar berdampak positif dan memberi kesempatan untuk melakukan penyesuaian yang diperlukan.

Siklus ini berputar tanpa henti, seiring dengan bertambahnya pengetahuan dan meningkatnya kesadaran kita akan pentingnya menjaga bumi. Dengan mengikuti langkah-langkah ini, kita dapat terus berkembang dan berkontribusi secara nyata terhadap pelestarian lingkungan.

Sebuah Renungan

Jika ada tulisan, maka ada penulis.
Jika ada penulis, maka ada ide.
Jika ada ide, maka ada manusia.
Jika ada manusia, maka ada Allah.

Sebuah renungan sederhana ini mengingatkan kita akan tanggung jawab besar yang kita pikul sebagai penghuni bumi.

Baca juga :  BPIP Harus Dibubarkan

Allah menciptakan manusia untuk menjadi penjaga bumi dan beribadah kepada-Nya. Bumi diciptakan untuk manusia agar bisa menikmati keindahan dan kelimpahannya. Namun, ironisnya, manusia jugalah yang sering kali merusak alam ini.

 “Sungguh Tidak Masuk Akal”

 Bagaimana mungkin kita yang diberi akal dan hati oleh Sang Pencipta justru menjadi perusak tempat tinggal kita sendiri? Alam memberikan segalanya dengan cuma-cuma: udara segar, air bersih, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tapi sering kali kita membalasnya dengan pencemaran, penebangan liar, dan perusakan ekosistem.

Penutup

Literasi hijau mengajak kita untuk merenung dan bertindak. Ia mengingatkan kita bahwa menjadi manusia bukan sekadar tentang mengejar kemajuan teknologi dan ekonomi, tetapi juga tentang menjaga keseimbangan dengan alam. Mari kita tingkatkan literasi hijau kita, memahami dan merawat bumi dengan penuh kasih sayang, agar generasi mendatang bisa menikmati keindahan alam yang sama, atau bahkan lebih baik, dari yang kita miliki saat ini. Sebab, pada akhirnya, bumi adalah satu-satunya rumah kita. Mari kita jaga dengan sebaik-baiknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *