Oleh : Achmad Hilal Madjdi
(Ketua PDM Kudus)
Cerita tentang bagaimana sulit dan bahkan alotnya pamanda nabi Muhammad SAW mengucapkan dua kalimat syahadat di pangkal akhir hayatnya begitu fenomenal sehingga hampir setiap muslimin yang pernah mendengar cerita ini tak bisa melupakannya. Ada dan mungkin banyak yang bertanya- tanya, mengapa beliau tidak bisa dan tidak mau bersyahadat, padahal keponakan beliau dan Allah sudah mencatat kontribusi dakwah sang paman dengan tinta emas. Dengan bersyahadat ketika sebelum menutup nafas, semua kaum mukmin yakin pamanda Abu Tholib akan masuk surga.
Cerita di atas kemudian menjadi semakin luar biasa maknanya bagi spiritualitas Al Islam ketika disandingkan dengan persyahadatan Umar bin Khotob. Masuk Islamnya sang Al Faruq ini tidak sekedar “menghibur” perasaan para pembaca tarikh, tapi juga menarasikan suatu pembelajaran yang juga sangat fenomenal, bahwa hati manusia memang bisa berubah, dari sangat keras menjadi sangat lunak dan sebaliknya.
Makna dan Arti
Semua ahli bahasa sepakat, bahwa makna suatu tuturan, baik secara lesan maupun tertulis, tidak sekedar disusun atau diciptakan dari kata atau kalimat yang merangkainya. Ada konteks waktu, konteks tempat dan konteks situasi yang sangat mempengaruhi makna suatu tuturan. Dalam ilmu tafsir, seorang mufassir tidak hanya harus menguasai “lughot” bahasa Arab dengan segala cabang ilmunya (nahwu-sorof, mantik, dll), tapi juga harus memahami secara komprehensif “asbabul nuzul” suatu ayat. Itupun belum cukup karena diperlukan juga ilmu- ilmu lain sebagai pendamping (sebagaimana dilakukan oleh Buya Hamka ketika menyusun tafsir Al Azhar).
Sementara arti suatu kata atau kalimat dari suatu bahasa bisa kita temukan dengan sekedar memperoleh teks yang sama untuk mengekspresikan hal yang sama. Misal ekspresi selamat pagi yang secara mudah diartikan sama dengan “good morning” dalam bahasa Inggris atau “shobahal khoir” dalam bahasa Arab, dan seterusnya.
Jika kerangka berpikir di atas dipakai untuk menelaah mengapa paman Abu Tholib tidak mau bersyahadat, maka salah satu jawabnya adalah karena beliau sebagai orang Arab sangat memahami makna dua kalimat syahadat dengan segala konsekwensi yang menyertainya, dan bukan sekedar tahu “arti” dua kalimat syahadat sebagaimana (mungkin) sebagian besar dari kita selama ini.
Sebagai analogi sederhana untuk memahami kerangka berpikir di atas, saya contohkan ujaran “alah padune” dalam bahasa Jawa yang diucapkan oleh seorang istri kepada suaminya ketika sang suami memuji sang istri dengan kata-kata ” dek, kamu cantik malam ini”.
Hampir semua orang jawa dewasa paham makna ujaran “alah padune”. Tapi akan kesulitan jika ditanya apa arti kata tersebut. Dengan mengucapkan “alah padune”, sang istri paham apa maksud dan tujuan sang suami memuji dirinya serta apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi makna tersebut sulit dicerna bagi orang non Jawa yang hanya sekedar bisa berbicara dengan bahasa Jawa.
Konsekuensi Syahadatain
Begitu juga yang berkecamuk di hati dan pikiran paman Abu Tholib ketika diminta mengucapkan dua kalimat syahadat. Beliau paham betul makna syahadatain sebagai orang Arab yang memahami makna itu dengan “sense” sebagai orang Arab sebagaimana orang Jawa dewasa memahami makna “alah padune” dengan “sense” sebagai orang Jawa.
Beberapa ahli tarikh Islam sepakat bahwa paman Abu Tholib sangat paham makna syahadatain dengan segala konsekwensinya, di mana siapapun yang melafalkan syahadatain harus menisbikan semuanya dan siapapun saja termasuk dirinya sendiri sampai ke titik minus nadir. Hal itulah yang belum terterima dalam hati dan pikiran sang paman.
Cerita sebaliknya kita dengar betapa dahsyatnya prosesi syahadatain para sahabat saat itu termasuk Umar bin Khotob dan lain- lainnya yang sampai bergetar hebat tubuhnya dengan keringat bagai terkuraskan dari tubuh ketika mereka melafalkan syahadatain. Sekali lagi, hal itu terjadi karena makna syahadatain yang terpahami dan terhayati secara komprehensif dengan “sense” mereka sebagai orang Arab.
Bagaimana dengan Kita?
Ada juga banyak cerita tentang dahsyatnya pengalaman pelafalan syahadatain yang dilakukan oleh para Mualaf. Mereka tidak hanya menangis bahagia, tapi juga terguncang dan bercucuran keringat tubuhnya. Pengalaman semacam itu rasa-rasanya belum pernah kita (saya) rasakan karena selama ini yang terpahami hanyalah arti syahadatain dan belum makna syahadat.
Idealnya, jika kita minimal mengucapkan syahadatain sepuluh kali sehari, maka di dalam hati, pikiran, persepsi,.perasaan dan bahkan tindakan kita merupakan.cermin dari bukan sekedar nisbinya selain Allah, tapi benar tiada dan tidak ada apa-apanya.
Idealnya, syahadatain yang kita ucapkan mampu meniadakan orang, harta benda, pangkat derajat dan apapun selain Allah. Maka sesungguhnya kegaduhan apapun tidak perlu terjadi. Dalam kehidupan penutur syahadatain, tak ada pujian yang melambungkan angan-angan, tak ada pula cacian atau bahkan fitnah yang merisaukan. Kemajuan teknologi digital sangat mendukung penataan qolbu penutur syahadatain, sebab hampir semua ujaran di era modern ini akan meninggalkan rekam jejak digital yang bisa digunakan untuk proses-proses hukum jika diperlukan.
Namun, jika ingin belajar lebih baik menjadi penutur syahadatain yang prima, mari kita belajar sebanyak mungkin memaafkan orang lain dan membuang semua pujian. Bahkan diri kitapun tidak penting adanya (ini yang membuat para sahabat Rasulullah selalu siap terjun ke medan perang bersama beliau).
Above all, jika kemudian hanya sekedar dicaci, dihujat, dituduh-tuduh, diftnah bahkan diancam akan dibunuh atau dibunuh sekalipun (sebagaimana dulu para sahabat Rasul mengalami) maka itu semua tidak penting bagi penutur syahadatain, karena benar -benar yakin akan eksistensi mutlak Allah yang akan memperhitungkan dan mengadili semuanya.