Oleh: Joko Intarto
Mimpi saya akhirnya terwujud. Di Kabupaten Grobogan berdiri sebuah perguruan tinggi. Swasta. Namanya ITB MG: Institut Teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan.
Saya mampir ke kampusnya yang sederhana, pekan lalu. Kampus itu menempati bangunan SMK Muhammadiyah Grobogan. Berdampingan dengan bangunan pondok pesantren yang megah. Di sebelah barat Simpang Lima.
Kebetulan ada Pak Jati. Rektor ITB MG. Ngobrollah kami selama hampir dua jam. Gayeng.
Pak Jati tampak sumringah menyambut kedatangan saya. Apalagi tidak janjian sebelumnya. Seusai rapat koordinasi persiapan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Yogyakarta, saya mampir ke Grobogan. Menginap di rumah ibu. Sambil menunggu jadwal kereta api dari Stasiun Pasar Turi Surabaya menuju Stasiun Senen Jakarta. Saya naik dari Stasiun Ngrombo. Dua kilometer dari rumah ibu.
Ketika saya tiba di kampus itu, serombongan guru bidang studi matematika baru selesai mengadakan pertemuan rutin. ‘’Selain rapat, mereka ingin mendapat penjelasan program studi sains data yang dibuka di ITB MG,’’ papar Pak Jati.
Sains data memang istilah yang belum begitu akrab. Bahkan di kalangan guru matematika. Saya pun hanya bisa menebak-nebak. Sepertinya berkaitan dengan ilmu pengelolaan data dan pemanfaatannya dalam dunia modern.
Saya coba searching dengan mesin pencari Google. Dapat. Dari website itera: Sains data merupakan ilmu terapan yang secara khusus mempelajari dan menganalisis data. Fungsi ilmu Sains Data dalam era digital dan big data saat ini cukup penting karena begitu melimpahnya data yang tersedia. Data menyediakan informasi yang dapat menentukan keputusan penting dalam berbagai sektor industri.
Wow! Ternyata program studi ini sungguh keren. Bahasa gaulnya: ‘’keren parah’’. Dalam era digital, lulusan program studi sains data saat ini laris bukan main. Kebutuhannya tinggi, suplai SDM tidak seimbang. Keahlian mereka diperlukan lembaga pemerintah maupun dunia usaha.
Yang lebih membuat saya kagum: Mengapa sains data dibuka di ITB MG yang berlolasi di kota kecil Grobogan? Apa tidak kesulitan menyediakan dosen?
Ternyata saya salah. Selepas Isya, datang lima orang dosen ITB MG ke rumah ibu saya. Mereka masih muda-muda. Dua cowok. Tiga cewek. Semua lulusan perguruan tinggi negeri ternama: ITS Surabaya, UGM Yogyakarta dan UPI Bandung.
Mereka anak-anak muda ‘’produk kota besar’’. Kok mau-maunya bekerja di perguruan tinggi baru milik Muhammadiyah? Di Grobogan pula.
Lagi-lagi saya salah. Menurut cara pandang mereka, pemikiran saya sudah kuno. Tidak cocok lagi dengan zaman modern.
Menurut anak-anak muda itu, digitalisasi membuat wilayah teritorial tidak penting. Sepanjang infrastruktur digitalnya baik, kota kecil bisa bersaing dengan kota besar dalam penyelenggaraan jasa pendidikan.
Dengan pemikiran itu, program studi menjadi lebih penting dibanding nama kota dan nama perguruan tinggi. Kualitas lulusan lembaga pendidikan baru di kota kecil belum tentu kalah dibanding lulusan perguruan top di kota besar.
Saya sungguh salut dengan cara berpikir anak-anak muda yang menjadi dosen ITB MG. Pola pikir itulah yang membuat kader-kader muda Muhammadiyah tangguh di segala medan. ITB MG benar-benar menjadi kado terindah dari warga Muhammadiyah Grobogan untuk persyarikatan yang akan menyelenggarakan Muktamar ke-48 pada 18 – 20 November 2022 di Solo.(jto)