Oleh : Sam Elqudsy*
Muktamar Muhammadiyah – Aisyiyah ke 48 tidak lagi menghitung hari, namun tinggal menghitung jam. Serangkaian agenda dan materi muktamar sudah dibagikan kepada peserta dan sebagian diantaranya telah dibahas. Namun ada satu yang masih menjadi misteri: siapa calon pimpinan pusat Muhammadiyah yang akan menjadi punggawa persyarikatan berikutnya? Pertanyaan ini mengemuka karena sampai saat ini calon pimpinan yang akan dipilih belum juga diketahui nama-namanya. Setiap orang hanya menebak dan menduga hingga waktu tanwir tiba.
Sistem pemilihan pimpinan di Muhammadiyah memang sangat ketat dan sulit diintervensi siapapun dari luar Muhammadiyah. Kenapa demikian? Pertama, calon tidak mengusulkan diri, namun diusulkan oleh orang lain. Kedua, forum tanwir memilih 39 nama untuk diusulkan menjadi calon pimpinan pusat di forum muktamar. Kemudian muktamirin memilih 13 nama sebagai Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Selanjutnya ke-13 nama bermusyawarah untuk memilih Ketua Umum dan menetapkan Sekretaris Umum serta melengkapi struktur lainnya di kemudian hari. Penyaringan untuk menjadi Pimpinan Pusat Muhammadiyah lebih mirip saringan kopi daripada saringan tahu. Menetes sedikit demi sedikit hingga tercipta kopi dengan citarasa terbaik.
Dengan sistem seperti ini, maka jangankan menyebut nama, untuk meraba saja kita mengalami kendala. Siapa saja pimpinan pusat Muhammadiyah berikutnya sulit kita terka. Bisa saja nama-nama yang digadang menjadi Pimpinan Pusat ternyata tidak diusulkan atau tidak terpilih dalam forum tanwir dan muktamar. Siapa yang tahu? Karena itu, kita hanya bisa bicara kriteria sesuai kondisi Muhammadiyah saat ini dan tantangan ke depan yang akan dihadapi.
Sebagai Muhammadiyin, saya ingin urun rembug bagaimana kriteria Pimpinan Pusat Muhammadiyah ke depan, syukur-syukur tulisan ini dibaca oleh Muktamirin dan menjadi rujukan saat memilih pimpinan. Tapi ya apa mungkin? Hehehe.
Muhammadiyah Saat Ini
Selama tujuh tahun kepemimpinan Prof Haedar sebagai Ketum dan Prof Mu’ti sebagai Sekum bersama Pimpinan Pusat Muhammadiyah lainnya, banyak sekali kemajuan yang diperoleh, khsusnya pengembangan Amal Usaha Muhammadiyah. Tiada hari tanpa peresmian atau groundbreaking pembangunan amal usaha baru. Berdasarkan data terbaru yang dilansir (per tanggal 09 November 2022), jumlah Rumah Sakit/ Klinik 355 unit, Perguruan Tinggi 171 unit, TK/ KB/PAUD 20.233 unit, SD/ MI 2.817 unit, SMP/ MTS 1.826 unit, SMA/ MA/ SMK 1.364 unit, Panti Asuhan 562 unit dan Pondok Pesantren 440 unit.
Internasionalisasi Muhammadiyah semakin menguat. Tercatat ada 28 Cabang Istimewa Muhammadiyah di luar negeri. Di Australia, Malaysia, Mesir, Lebanon juga telah berdiri Amal Usaha Muhammadiyah. Terbaru, PW Muhammadiyah Jawa Timur juga berencana membeli sebuah gereja di Spanyol untuk dijadikan pusat dakwah Muhammadiyah di Eropa.
Di masa pandemi, ketika semuanya mengalami kesulitan, Muhammadiyah tampil di garda terdepan mengatasi pandemi. Tidak terhitung biaya yang dikeluarkan, baik dari kantong jamaah maupun kas persyarikatan dan amal usaha yang digunakan untuk turut mengatasi pandemi.
Namun dibalik semua kemajuan dan kegembiraan itu, ada kekhawatiran bahwa ujung tombak Muhammadiyah di cabang dan ranting semakin melemah. Masjid Muhammadiyah kian sepi jamaah, bahkan kader dan pendakwah di beberapa daerah juga harus mengimpor dari luar Muhammadiyah. Yang tentu saja belum tentu sefaham dan sejalan dengan alam pikiran Muhammadiyah.
Usia Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Azaki Khorudin, salah satu influencer muda Muhammadiyah dalam tulisannya bertajuk Muktamar dan Momentum Regenerasi Pimpinan Muhammadiyah di pwmu.co beberapa waktu lalu menyebutkan saat ini jumlah Anggota PP Muhammadiyah sebanyak 14 orang. Yaitu: Prof. Dr. Haedar Nashir M.Si. (64 tahun); Drs. A. Dahlan Rais M.Hum. (71 tahun); Dr. M. Busyro Muqoddas M.H. (70 tahun); Dr. Anwar Abbas M.M., M.Ag. (67 tahun); Prof. Dr. Muhadjir Effendy M.AP. (66); Prof. Dr. H. Syafiq A Mughni (68 tahun).
Lalu Prof. Dr. Dadang Kahmad M.Si. (70 tahun); Drs. HM Goodwill Zubir (60 tahun); Drs. Hajriyanto Y. Thohari M.A. (62 tahun); Dr. Noordjannah Djohantini M.M.,MSi (64 tahun); Prof. Dr. H. Abdul Mu’ti M.Ed. (54 tahun); Dr. H. Agung Danarto M.Ag. (54 tahun); dr. Agus Taufiqurrohman M.Kes. Sp.S; dan Drs. H. Marpuji Ali M.Si. (71 tahun).
WHO pernah membagi kategori usia di negara berkembang menjadi empat tahapan, yaitu usia pertengahan (45-59 tahun), lanjut usia (60-74 tahun), lanjut usia tua (75-90 tahun) dan usia sangat tua (>90 tahun). Mengikuti kategori tersebut, maka sebanyak 11 dari 14 Pimpinan Pusat Muhammadiyah masuk kelompok lanjut usia (78,5%) dan hanya 3 orang atau 22,5% yang masih dalam kategori usia pertengahan yaitu Prof Mu’ti, Dr. Agung Danarto dan dr Agus Taufiqurrohman.
Muhammadiyah Ke depan, Perlukah Nahkoda Baru?
Prof Din Syamsuddin, Ketua Umum PP Muhammadiyah selama 2 periode (2005-2015) menegaskan perlunya penyegaran Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Dalam bahasa beliau, Muhammadiyah membutuhkan darah segar. Darah segar ini penting untuk menjamin kesinambungan program persyarikatan dan memberdayakan majelis/ lembaga di bawahnya.
Meskipun Prof Mu’ti menyebut bahwa Muhammadiyah berjalan dengan SISTEM, bukan bergantung pada SINTEN dan PINTEN, tetap saja Muhammadiyah adalah organisasi massa yang anggota dan pimpinanya adalah manusia. Makhluk yang iman dan semangatnya bisa naik turun. Jika tidak dimanajemen dengan tepat, iman dan semangat ber-Muhammadiyah ini bisa melemah yang pada akhirnya bisa menyurutkan dakwah peran Muhammadiyah.
Sesuai dengan tema Muktamar Memajukan Indonesia, Mencerahkan Semesta Muhammadiyah ke depan perlu memperkuat peran kebangsaan dan internasional, dan tentu saja senantiasa hadir di akar rumput Muhammadiyah.
Harus diakui, dalam peran kebangsaan Muhammadiyah sejauh ini hanya menjadi peniup peluit, belum menjadi pemain yang aktif bergerak dan turut menentukan kebijakan secara praksis. Sangat sedikit kader persyarikatan di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Padahal tanpa kehadiran di tiga lembaga itu, Muhammadiyah tidak pernah benar-benar bisa menentukan arah perjalanan bangsa. Dulu, Muhammadiyah bisa merumuskan cetak biru bangsa ini karena kadernya duduk di BPUPKI dan berada di garda depan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.
Di sisi lain, sosok ulama juga sangat dibutuhkan untuk hadir di akar rumput. Muhammadiyah membutuhkan pimpinan, khususnya Ketua Umum yang sering turun ke bawah serta dekat dengan jamaah. Warga Muhammadiyah di ranting-ranting dan cabang merindukan sosok KH AR Fakhruddin. Pak AR adalah sosok yang dapat diterima semua kalangan, baik di dalam maupun di luar Muhammadiyah. Pak AR begitu dicintai karena beliau adalah ulama yang intelektual. Beliau bisa menghadapi jamaah pelosok desa maupun akademisi kampus dengan sama baiknya.
Pak AR juga dikenal cukup dekat dengan Pak Harto, namun tidak lantas terkooptasi dan menjadi kepanjangan tangan. Tak jarang Pak AR mengkritik kebijakan pemerintah. Namun Pak Harto tidak merasa sakit hari karena Pak AR menyampaikan kritiknya dengan santun, tidak ceplas ceplos dan asal bunyi.
Muhammadiyah ke depan sangat membutuhkan sosok Pak AR jaman now. Sosok Ketua Umum yang memiliki ilmu (ulama, intelektual), adab (santun, rendah hati) dan mampu berkomunikasi dengan semua kalangan: internal dan eksternal Muhammadiyah di level nasional maupun internasional. Selamat bermuktamar, semoga Muhammadiyah senantiasa menjadi organisasi yang diberkati.
*Redaktur muriamu.id