Oleh Rizka Himawan*
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945 tidak langsung diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, bahkan di Pulau Jawa. Di Kudus, berita ini menyebar sekitar dua atau tiga hari sesudah atas nama Bangsa Indonesia, dwitunggal Soekarno – Hatta membacakan naskah proklamasi pada hari Jum’at, 17 Agustus 1945.
Kisah ini tentu saja tidak saya alami sendiri, tetapi dari orang lain. Namanya Mbah Jam’an, usianya kini 85 tahun. Beliau adalah adik dari Kakek saya, asli desa Pasuruhan Lor Kudus namun sekarang tinggal di Bogor.
Sebagai warga senior, Mbah Jam’an mengalami pasang surutnya perjalanan Republik Indonesia, termasuk bagaimana euforia kemerdekaan dirasakan warga Kudus, termasuk dirinya yang saat itu duduk di bangku Sekolah Rakyat.
Hingga kini Mbah Jam’an masih sehat, segar bugar dan ingatannya sangat kuat. Meskipun sudah senior, namun beliau juga adaptif dengan perkembangan zaman bahkan bisa menggunakan gadget. Kisah ini pun dibagikannya kepada saya melalui teknologi komunikaksi terkini: whats app. Karena itu kisah ini akan saya ceritakan kepada pembaca dengan sudut pandang Mbah Jam’an sebagai orang pertama.
Saat itu saya sudah sekolah kelas 1 SD (dulu Sekolah Rakyat) di kampung saya. Pagi itu, seperti biasa, jam 7 kami semua berbaris di halaman sekolah. Biasanya murid-murid berbaris di halaman sekolah, menghadap ke arah timur dimana kota Tokyo, Jepang berada. Semuanya menghadap ke timur untuk mengikuti upacara menghormati Tenno Haika atau Kaisar Jepang.
Tapi anehnya pagi itu, kami semua justru dibagikan bendera merah putih dari kertas dan upacara menghormati Kaisar Jepang ditiadakan.
Tak sempat bertanya lebih jauh, kemudian kami semua mendengarkan pidato Kepala Sekolah. Beliau dengan berapi-api menceritakan bahwa Indonesia sudah merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 kemarin.
“Sekarang kita semua sudah merdeka dan tidak lagi dijajah bangsa lain! Kita akan menentukan nasib dan masa depan kita sendiri. Merdeka! Merdeka!” Pekik Kepala Sekolah.
Menyambut seruan Kepala Sekolah, maka seluruh murid, termasuk saya sendiri, berteriak sekencangnya. Merdekaaa!! Merdekaa!! Berkali-kali hingga suara ini hampir habis.
Hari itu dari kelurahan juga mengirimkan kue ke sekolah untuk dibagikan kepada murid sebagai rasa syukur bahwa Indonesia telah merdeka.
Setelah dibacakan doa oleh pak Modin/ pejabat agama kelurahan, kami semua berbaris rapi berkeliling kampung sambil meneriakkan pekik Merdeka dengan mengibarkan bendera merah putih yang sebelumnya telah dibagikan. Kami berkeliling kampung dengan nyeker, tanpa alas kaki. Jangankan sepatu, sandal pun tidak punya.
Setelah berkeliling kampung, kami semua kembali ke sekolah baru dibagikan kue dari Pak Lurah dan disantap rame-rame.
MERDEKA, MERDEKA, MERDEKA!
*Anggota PDM Kudus